Nasional

Sidang Tragedi Kanjuruhan Vonis Bebas dan Ringan Terdakwa, Pakar Hukum Ungkap 3 Kejanggalan

Kam, 16 Maret 2023 | 19:30 WIB

Sidang Tragedi Kanjuruhan Vonis Bebas dan Ringan Terdakwa, Pakar Hukum Ungkap 3 Kejanggalan

Pakar Hukum dari Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Afandi. (Foto: facebook Fachrizal Afandi)

Jakarta, NU Online

Pakar Hukum dari Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Afandi menyesalkan keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri atau PN Surabaya yang memvonis bebas dan ringan anggota Polri dalam sidang putusan terdakwa Tragedi Kanjuruhan, Kamis (16/3/2023).


Kedua polisi tersebut mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto. Sementara mantan Danki 1 Brimob Polda Jatim, Ajun Komisaris Polisi Hasdarmawan divonis 1 tahun dan 6 bulan penjara.


Menurut Fachrizal vonis bebas terhadap terdakwa juga memperlihatkan polisi tidak serius menangani kasus Kerusuhan Stadion Kanjuruhan.


"Memang sejak awal sidangnya enggak serius jadi ini masih ada PR. Bukan berarti ini tidak salah. Tragedi kanjuruhan menyebabkan 135 orang meninggal, ratusan luka-luka cuma divonis 1 tahun 6 bulan dan bebas," ujar Fachrizal kepada NU Online.


Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama Kota Malang itu membeberkan sejumlah bukti kejanggalan majelis hakim dan polisi dalam persidangan negeri Surabaya.


Pertama, bukti yang dihadirkan sengaja tidak diarahkan untuk mencari hubungan sebab akibat meninggalnya 135 korban, 24 orang luka barat dan 623 orang luka ringan.


"Jadi bukti-bukti persidangan itu tidak mengarah ke sana," ujar Fachrizal.


Kedua, tidak ada satu pun polisi penembak gas air mata di Stadion Kanjuruhan yang ditetapkan sebagai tersangka. Justru yang jadi tersangka dan terdakwa bukan pelaku penembakan.


"Jadi wajar dalam pengadilan hakim membebaskan terdakwa karena bukti-bukti tidak mengarah kepada yang memerintahkan. Seharusnya pelaku penembakan dihadirkan ke persidangan sebagai terdakwa, tapi itu tidak dilakukan," jelas dia.


Ketiga, kata Fachrizal, rekonstruksi di penyidikan berbeda dengan video yang beredar di masyarakat soal gas air mata yang diarahkan ke tribun. 


"Di persidangan tidak ditampilkan video itu, yang ditampilkan gas air mata justru tidak mengarah ke tribun. Sebab itu hakim menyimpulkan gas air mata tidak mengarah ke tribun," bebernya.


Fachrizal menyayangkan keputusan majelis hakim yang tidak mengomparasi temuan TGIPF Komnas HAM dan Kemenko Polhukam Mahfud MD.


"Kenapa dia (hakim) hanya berpacu pada BAP polisi, ini juga sangat disayangkan. Ini kan memperlihatkan ketidakseriusan," kata Fachrizal.


Menyikapi putusan tersebut, pihaknya mendesak Komnas HAM bentuk pelanggaran HAM Berat. Karena peradilan umum biasa, gagal untuk menyingkap pelaku penembakan gas air mata.


"Karena yang melakukan aparat penegak hukum jadi penyelidikan dari Komnas HAM, Jaksa Agung. Dan ini hanya ada di pelanggaran berat," jelas Fachrizal.


Fachrizal menuturkan, keputusan ini akan diperdebatkan karena dalam hukum pidana, hukuman berat tidak ada unsur kesengajaan tapi ada perencanaan. 


"Itu masalahnya," tutur Doktor Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Universiteit Leiden Belanda.


"Dari awal memang kepolisian tidak mengarahkan pasal kesengajaan atau perencanaan menembak padahal yang kita lihat ada pelanggaran HAM berat," tandasnya.


Putusan majelis hakim 

Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Abu Ahmad Siddqi Amsya memvonis bebas Wahyu Setyo Pranoto dan Bambang Sidik Achmadi.


Majelis menilai keduanya tak terbukti bersalah melanggar dakwaan kumulatif penuntut umum Pasal 359, Pasal 360 ayat 1 dan Pasal 360 ayat 2 yang unsur-unsurnya meliputi barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati, luka berat dan luka sedemikian rupa sehingga tak dapat melakukan pekerjaannya.


Sementara itu, AKP Hasdarmawan divonis 1 tahun 6 bulan penjara. Dalam putusannya, hakim menilai Hasdarmawan melanggar Pasal 359 KUHP yang menyebabkan mati atau luka-luka disebabkan kealpaan. 


Kontributor: Suci Amaliyah

Editor: Fathoni Ahmad