Nasional

Suluk Maleman: Cara Menjadi Manusia

Ahad, 16 Juli 2023 | 20:00 WIB

Suluk Maleman: Cara Menjadi Manusia

Penggagas Suluk Maleman Ani Sholeh Ba'asyin Rumah Adab Indonesia Mulia, Pati, Jawa Tengah, Sabtu (15/7/2023). (Foto: istimewa)

Pati, NU Online

Suluk Maleman kembali digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia, Pati, Jawa Tengah pada Sabtu (15/7/2023). Dalam edisi ke-139 itu, Suluk Maleman mengangkat diskusi dengan tema “Sujud NgAllah”. Ratusan orang tampak menyaksikan secara langsung maupun melalui kanal media sosial Suluk Maleman.


Anis Sholeh Ba’asyin, budayawan penggagas Suluk Maleman mengatakan, sujud menuju Allah memiliki banyak makna. Tak hanya sisi batin berupa hubungan dengan Allah, tapi juga sisi sosial dan kultural, yakni terbangunnya pola interaksi yang baik dan benar dalam interaksinya dengan segenap makhluk Allah.


“Ibadah atau penghambaan adalah metode paling efektif untuk menemukan kesejatian diri kita. Tapi kalau ibadah lebih ditekankan pada sisi yang mahdlah atau wajib saja, tentu manusia tak perlu diturunkan ke bumi. Cukup di surga saja,” ujar Anis Sholeh Ba’asyin mengawali pengajian malam itu.


Dalam Islam beribadah berbeda dan memang bukan pemujaan seperti terlihat di banyak peradaban. Karena dalam Islam prinsipnya jelas, Allah tidak butuh dipuja.


Menurut Anis, dalam Islam beribadah memang dirancang agar manusia menemukan kesadaran tentang statusnya sebagai hamba yang difungsikan dan diberi amanah sebagai khalifah. Kesadaran itulah yang seharusnya menuntun manusia dalam mengelola bumi.


“Semua tindakan manusia pada dasarnya adalah bentuk ibadah. Itu prinsip dasarnya, karena memang demikianlah tugas manusia sebagai khalifah,” demikian jelasnya.


Anis lantas memberi contoh tentang konsep kerja dalam kebudayaan. Apa saja yang dikerjakan manusia pada dasarnya adalah memenuhi kebutuhan pihak lain, bukan dirinya. Nah, memenuhi atau menyediakan kebutuhan atau jasa ke pihak lain itu adalah perbuatan mulia dan merupakan salah satu bentuk silaturrahim.


Meski kemudian ada klasifikasi berdasar tingkat kebutuhannya; seperti antara yang menyediakan kebutuhan primer, sekunder dan seterusnya; tapi pada dasarnya semua sama-sama mulia. Soal hasil atau kalau dalam bahasa kebudayaan manusia disebut keuntungan, pada dasarnya hanyalah buah atau bonus; dan bukan tujuan utama.


“Tapi pada kenyataannya manusia dan peradabannya sering dzolim, menggelapkan dirinya sendiri. Salah satunya dengan mengubah bonus menjadi tujuan. Bekerja bukan lagi memenuhi kebutuhan pihak lain, tapi lebih berorientasi ke mencari keuntungan. Lebih jauh, bukan hanya mencari keuntungan, tapi keuntungan sebanyak-banyaknya. Sehingga akhirnya banyak peradaban dikendalikan oleh keserakahan.”


Belum lagi, demikian tambah Anis, apabila hubungan tersebut lantas malah disalah-gunakan untuk saling mendukung dan memenuhi kebutuhan yang buruk dan jahat.


“Nah, Islam mengajari kita untuk mengembalikan itu semua pada jalurnya yang benar, pada sunnatullah; yakni dengan menghubungkan semua tindakan kita dengan Allah. Dan karena terhubung dengan Allah, maka tak mungkin itu berbentuk keburukan atau malah kejahatan. Itulah yang lantas kita sebut sebagai ibadah.”


Itu yang disebut Anis sebagai ngAllah, menuju Allah, menghubungkan dengan Allah atau mengembalikan kepada Allah. Itu juga penerapan makna ilaihi rojiun dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, Anis menegaskan bahwa ngAllah sendiri maknanya adalah hubungan dengan semua mahluk yang dilandasi karena Allah. “Sehingga yang kemudian perlu dikembangkan adalah bagaimana menjernihkan hati supaya tidak digelapkan oleh yang di jasad.”


Terkait hal tersebut, Anis menyebut menyebut bahwa ruh merupakan satu kesatuan dari empat unsur. Saat ruh kuat, maka hati yang akan menjadi penunjuk jalan di kegelapan, akal yang menerjemahkan dan nafsu yang menjadi tenaga untuk mengaplikasikannya.


Anis lantas menjelaskan bahwa faktanya sebelum manusia secara sadar memutuskan sesuatu, keputusan tersebut sudah lebih dahulu muncul di jaringan otaknya. Persoalannya, siapa pengendalinya?


“Itulah yang menurut Imam Al Ghazali disebut khuluq, bentuk tunggal dari akhlaq; atau dalam bahasa Jawa disebut wadag alus. Lawannya adalah kholaq, atau wadag kasar. Kalau kholaq adalah sesuatu yang sudah jadi, maka khuluq adalah sesuatu yang harus kita bentuk dalam hidup kita. Ia merupakan hasil dialektika terus menerus antara yang ruh dengan yang jasad.”


Salah satu cara melatihnya adalah dengan meningkatkan ibadah mahdhoh, dan selalu mengaitkan diri dengan Allah dalam muamalahnya. Dengan terbiasa melakukan hal-hal yang baik, maka akan terbentuk khuluq yang baik; dan itulah yang akan selalu menuntun kita untuk melakukan kebaikan dalam segala situasi.


“Khuluq yang baik ini ditandai kejernihan qulb atau hati sebagai unsur terdepan yang menangkap pancaran cahaya ruh. Petunjuk kita ada pada apa yang disebut mata hati.  Sehingga apa pun keputusan mau pun apa yang kita lakukan pada dasarnya berdasarkan mata hati,” imbuhnya.


“Tapi kalau sudah terbiasa berorientasi pada yang duniawi, maka khuluq yang terbentuk pun akan mengarah ke sana, dan perlahan-lahan mata hati kita akan terkotori atau bahkan tertutup; sehingga kita akan selalu diarahkan pada keburukan atau bahkan kejahatan dalam setiap kesempatan hidup kita,” imbuhnya.


Jalannya Suluk Maleman malam itu pun kian meriah karena persembahan deretan musik yang ditampilkan Sampak GusUran.