Nasional

Tawuran, Bullying, Kekerasan Seksual Masih Jadi PR Besar Pendidikan

Sen, 1 Januari 2024 | 09:15 WIB

Tawuran, Bullying, Kekerasan Seksual Masih Jadi PR Besar Pendidikan

Ilustrasi (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Jaringan Pemantauan Pendidikan Indonesia (JPPI) berkolaborasi dengan Suara Orang Tua Peduli (SOP) menyelenggarakan Refleksi Akhir Tahun di Jakarta, Ahad (31/12/2023). Sejumlah persoalan atau PR (pekerjaan rumah) besar di dunia pendidikan Indonesia dibahas, salah satunya soal kekerasan yang melibatkan pelajar, namun belum ada satgas PPK dan TPPK. 


Aktivis SOP, Rahmi Yunita mengungkapkan keprihatinan terhadap fenomena kekerasan di sekolah terkait dengan geng-geng pelajar. Ia menyoroti pola kekerasan dan intimidasi yang seringkali berulang, menciptakan ketidaksetaraan dalam relasi kuasa di kalangan pelajar. Kebrutalan yang terkait dengan identitas geng, seringkali menjadikan korban yang tidak terlibat dalam geng tersebut menjadi sasaran pemukulan atau serangan bersama.


Meskipun beberapa kasus kekerasan telah mencuat ke permukaan, masih minimnya program di sekolah untuk mengurangi budaya geng. Upaya yang ada terbatas pada kegiatan MPLS atau sosialisasi, sementara kurangnya perhatian terhadap pembangunan kesadaran dan pencegahan kekerasan di sekolah menjadi tantangan serius.


"Saya belum melihat ada sekolah yang punya program untuk mengurangi budaya geng cuma ada MPLS dan sosialisasi. Gimana caranya membuat anak-anak paham tradisi melakukan kekerasan orang lain itu merupakan tindakan kriminal. Saya tidak melihat ada program itu di sekolah kita," kata Yunita.


Yunita mencontohkan kasus kekerasan baru-baru ini, dari kasus di Cilacap dan pemukulan oleh siswa senior kepada siswa junior di Jakarta. Ia menyayangkan belum ada strategi yang kreatif atau efektif untuk menangani kekerasan ini di satuan pendidikan.


"Dinas dan Mendikbud harus diskusi soal ini, masalahnya geng itu tak bisa dianggap persoalan sederhana karena ada sejarah panjang mengapa aturan mengurangi kekerasan berkali-kali gagal. Jangan sampai ada yang terulang baru kemudian kita lebih aware. Sekolah seharusnya lebih demokratis sehingga geng dihapuskan bukan diwariskan," ungkapnya.


Yunita menekankan perlunya strategi kreatif dalam penanganan kekerasan di satuan pendidikan, merujuk pada peraturan baru Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023. 


"Agustus lalu permendikbub baru mengharapkan sekolah lebih aware untuk mencegah mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah. Menurut saya itu cukup memberikan pencerahan. Mekanisme Permendikbud baru ini menarik untuk dieksplor," ucap Yunita.


Senada dengan itu, Koordinator JPPI, Ubaid Matraji mengatakan kekerasan di dunia pendidikan memerlukan perhatian serius dan langkah-langkah konkret. Perlunya sinergi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, dan masyarakat, menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung bagi anak-anak di Indonesia.


"Kami sangat prihatin angka kekerasan pelajar di Indonesia masih sangat tinggi khususnya di DKI Jakarta, kekerasan didominasi tawuran antar pelajar. Di Jakarta tawuran bisa sehari 3 kali. Ini memang masalah sangat serius soal tawuran ini angkanya capai 59 persen," ungkap Ubaid.


Kedua, kekerasan seksual menempati posisi kedua tertinggi yang ini berkontribusi terhadap angka putus sekolah yang dialami oleh pelajar perempuan di Indonesia. Dan menyumbang tinggi angka gender based violence (GBV) di sekolah. 


Namun, ia menyayangkan belum ada satu pun provinsi di DKI Jakarta dan provinsi lain yang memiliki satgas pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah, atau satgas PPK di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan tim pencegahan penanganan kekerasan di satuan pendidikan (TPPK).


"Kita sangat mengapresiasi permendikbud yang baru tapi sayangnya itu masih menjadi semacam kertas sampai Desember 2023 belum ada tindak lanjut. Ini menjadi penting sekali, penting bukan hanya soal dibentuk atau tidak dibentuk tapi bagaimana program satgas, tim pencegahan kekerasan betul-betul menjadi prioritas di daerah," kata Ubaid.


Ubaid berharap tidak hanya komitmen di kebijakan atau aturan perundang-undangan, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang memadai. Ini diperlukan untuk memastikan adanya perlindungan terhadap korban kekerasan, serta untuk memberikan jaminan keselamatan bagi pelapor kekerasan.


"Lebih penting lagi adalah anggaran untuk para satgas supaya ada perlindungan terhadap korban kekerasan karena yang terjadi adalah korban takut melapor karena tidak ada jaminan keselamatan terhadap pelapor. Yang sering terjadi anak ditandai gurunya, kepala sekolahnya,  banyak diancam, diintimidasi," tandasnya.