Nasional

Yang Perlu Dipertimbangkan dari RUU KIA soal Cuti Melahirkan 6 Bulan

Jum, 17 Juni 2022 | 02:00 WIB

Yang Perlu Dipertimbangkan dari RUU KIA soal Cuti Melahirkan 6 Bulan

Iim Fahima Jachja. (Foto: MI)

Jakarta, NU Online

Isu soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA), sejak kemarin banyak direspons publik. Pada Pasal 5 Ayat 2 RUU KIA tertuang bahwa setiap ibu bekerja berhak untuk mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 bulan serta adanya masa istirahat bagi ibu yang mengalami keguguran.


Pertimbangan memperpanjang cuti hingga 6 bulan bagi ibu adalah agar anak bisa mendapatkan ASI secara eksklusif dengan lancar, serta pengasuhan berkualitas langsung dari ibu. Banyak yang menyambut positif rencana tersebut, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa kebijakan tersebut perlu dikaji ulang. 


Aktivis perempuan Iim Fahima Jachja berpendapat, penerapan cuti 6 bulan bagi ibu melahirkan bisa saja membuat perusahaan cenderung mengurangi porsi karyawan wanita. Dampaknya kesempatan kerja bagi perempuan menjadi rendah.


“Memperpanjang cuti ibu melahirkan jadi 6 bulan, kalau tidak hati-hati, justru mempertebal pesan bahwa tanggung jawab pengasuhan anak hanya ada pada ibu,” saat dihubungi NU Online, Kamis (16/6/22).


Ia tidak menampik bahwa kebijakan tersebut bertujuan memberikan kesejahteraan bagi perempuan, namun efek jangka panjangnya juga perlu dipertimbangkan secara matang.


“Tujuannya baik, tapi banyak pilihan lain yang lebih strategis dan membawa dampak perbaikan jangka panjang,” lanjut perempuan yang masuk dalam 25 pengusaha muda terbaik Asia itu.


Sebaiknya, lanjut dia, jika RUU KIA bertujuan untuk membantu para ibu maka yang perlu diutamakan salah satunya konsep kerja yang fleksibel namun tetap dalam konteks menyelesaikan pekerjaan (target kinerja).


“Kalau membantu perempuan, yang sebaiknya diutamakan, di antaranya, pertama, Flexible working arrangement. Kedua, UU ruang laktasi di kantor agar dipantau pelaksanaannya. UU-nya sudah ada, tapi banyak perusahaan yang tidak menjalankan. Ketiga, Transportasi publik aman dan bebas macet,” imbuh Iim.


Di samping itu, Iim juga mengapresiasi kebijakan pada Pasal 5 ayat (2) huruf a yang berbunyi suami berhak mendapatkan hak cuti pendampingan melahirkan paling lama 40 (empat puluh) hari. Baginya, itu merupakan langkah awal yang patut diacungi jempol.


“Bagi saya kebijakan cuti 40 hari untuk ayah itu udah bagus banget. Untuk terobosan pertama, itu bagus, perlu diapresiasi,” ucap dia.


Sebelumnya, kebijakan pemberian cuti melahirkan bagi pekerja laki-laki diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 93 ayat (4) huruf e diatur bahwa pekerja laki-laki di Indonesia memperoleh hak cuti mendampingi istri melahirkan hanya selama 2 (dua) hari.


Hal itulah yang menurutnya membuat kebijakan dalam RUU KIA Pasal 5 ayat (2) huruf a lebih istimewa. “Orang sebelumnya cuti cuma 2-3 hari aja kan. Ya, jelas ini terobosan bagus,” jelas Iim.


Seperti diketahui, perubahan aturan cuti melahirkan tersebut tampaknya masih menuai pro dan kontra. Sebab, pasal yang terkait hak cuti melahirkan itu terindikasi akan memiliki singgungan dengan aturan-aturan yang telah ada. 


Penetapan masa cuti melahirkan sebelumnya diatur pada Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan durasi waktu sebatas tiga bulan saja. Lewat RUU KIA, cuti hamil berubah menjadi 6 bulan dan masa waktu istirahat 1,5 bulan untuk ibu bekerja yang mengalami keguguran. 


RUU KIA juga mengatur penetapan upah bagi ibu yang sedang cuti melahirkan. Untuk 3 bulan pertama masa cuti, ibu bekerja mendapat gaji penuh dan mulai bulan keempat upah dibayarkan sebanyak 70 persen. 


Pewarta: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad