Opini

Kasus Kekerasan terhadap Santri, Takzir di Pesantren Acuannya Ta'dib

Kam, 8 September 2022 | 14:45 WIB

Kasus Kekerasan terhadap Santri, Takzir di Pesantren Acuannya Ta'dib

Ilustrasi santri mengaji. (Foto: NU Online)

Problem psikis santri di zaman ini semakin kompleks, padahal sarana dan prasarana dikatakan lebih baik daripada di masa lalu. Beberapa penelitian menyatakan, problem itu berangkat dari usia ideal santri saat mondok di pesantren, dinamika psikologis santri remaja, santri tidak betah di pesantren, aturan pesantren yang super ketat, kemandirian santri, kecerdasan dan potensi yang dimiliki santri, serta pengaruh internet yang mulai menggurita di pesantren. 


Dari beberapa problem klasik itu, saat pengurus pesantren memberikan punishment (takzir, hukuman) pada santri yang bermasalah, terkadang tidak memberikan efek jera, malahan menebar virus pada santri lainnya. Berbeda dengan masa lalu, kiai sepuh dengan mudah menyadarkan santri bermasalah sehingga berhasil dalam mendidik anak bangsa terutama di bidang akhlak.


Menyikapi kasus kekerasan pada santri, pada prinsipnya takzir sebagai sanksi harus mengacu pada sifat mendidik (ta'dib), memperhatikan situasi sosial dan kondisi pelaku (i'tibar ahwal an-nas), dan dilakukan secara bertahap (at-tadrij). (Lihat Zamzami Zabiq, Konseling Pesantren, halaman 54).


Dalam prinsip ta'dib, yang menjadi acuan utama dalam takzir adalah hukuman yang diberikan pada pelaku membuatnya jera dan menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Sebab pada dasarnya takzir yang diberlakukan pesantren condong ke hukuman yang bersifat fisik daripada bersifat material, seperti disuruh mengaji, membaca istighfar, menyiram taman rayon, menata Al-Qur'an di masjid, membersihkan kamar mandi, dan masih banyak lagi contoh yang biasa dilihat oleh masyarakat saat mengirim anaknya ke pesantren.


Secara historis menyatakan, tradisi pesantren yang memberlakukan praktik ta'zir, dilakukan dengan lembah-lembut sebagaimana dicontohkan para Wali Songo saat merintis pesantren. Tak ada satupun dalam sejarah seorang pengurus pesantren memberikan takzir melampaui batas atau keluar dari syariat agama. Jika sampai terjadi, apalagi sampai menghilangkan nyawa seorang santri, itu dinamakan kekerasan terhadap santri. Karena prinsip pokok dalam menerapkan takzir merupakan jalan terakhir yang dilakukan secara terbatas dan tidak menyakiti santri.


Menyikapi kasus kekerasan di pesantren, pengurus semestinya memberikan penanganan pada santri yang bermasalah secara terstruktur (tertata rapi) dan sesuai dengan tata tertib yang berlaku. Maksudnya, hukuman diberikan untuk menyadarkan santri bahwa perbuatan yang ia lakukan dan tidak mengulangi lagi. Bahkan memunculkan rasa percaya diri untuk berubah lebih baik atau berdampak positif bagi santri.


Guna menghindari hilangnya fungsi tubuh dan nyawa seorang santri, banyak pakar psikologis menyarankan agar pengurus pesantren memperhatikan beberapa hal sebelum memberikan takzir pada santri. Pertama, pemberian ta'zir harus tetap dalam jalinan cinta, kasih dan sayang. Kedua, harus didasarkan kepada alasan keharusan. Ketiga, harus menimbulkan kesan di hati santri. Keempat, harus menimbulkan keinsafan dan penyesalan kepada santri. Kelima, diikuti dengan pemberian maaf, harapan dan kepercayaan. (Lihat Zamzami Sabiq, Konseling Pesantren, halaman 56)


Penjelasan di atas itu menegaskan pada khalayak bahwa pengurus pesantren harus menghindari takzir dengan cara kekerasan (violence), karena akan berdampak buruk pada santri. Secara psikis, tindak kekerasan akan membuat santri tidak menghentikan perilakunya. Bahkan menimbulkan trauma yang berkepanjangan yang nantinya berdampak pada kurang baik pada kejiwaannya. Selain itu, santri yang mendapat perlakuan kekerasan dimungkinkan akan melakukan kekerasan, cenderung bersikap agresif, dan sulit mengendalikan emosi. 


Dengan demikian, takzir lebih diarahkan pada pendidikan dan pemahaman atas kesalahan yang sudah dilakukan santri. Karena pesantren menjadi tempat yang ramah terhadap siapapun termasuk pada santri. Untuk mencapai visi-misi pendidikan Islam, pengawasan terhadap segala aktivitas santri perlu dilakukan oleh semua pihak. Baik dari orang tua, pengasuh, pengurus, dan santri senior. 


Kekerasan bisa dikurangi dengan memberikan pemahaman akan pentingnya saling menghargai dan menyayangi antar santri dan seluruh warga pesantren. Pemahaman itu bisa diberikan dalam pembelajaran santri. Jika diperlukan, memasukkan dalam kurikulum pesantren tentang anti perundungan serta ditambah dengan pengawasan yang lebih ketat.


Firdausi, kontributor NU Online tinggal di Sumenep