Opini

Pernikahan Kaya-Miskin dan Penguatan Ekonomi Masyarakat

Kam, 13 Agustus 2020 | 00:00 WIB

Pernikahan Kaya-Miskin dan Penguatan Ekonomi Masyarakat

Perkawinan antartingkat ekonomi tidak perlu diolok-olok atau dihalang-halangi hanya karena perbedaan status sosial-ekonomi mereka, apalagi kedua belah pihak saling mencintai.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Prof Muhadjir Effendy, kembali membuat polemik di masyarakat dengan pernyataannya tentang perkawinan antar sesama orang miskin. Kali ini ia mengatakan jumlah keluarga miskin yang masih tinggi di Indonesia tak terlepas dari pernikahan sesama keluarga miskin. Hal ini disampaikannya dalam pemaparannya di webinar Kowani, (Detik.com, Selasa, 4/8/2020).


"Sesama keluarga miskin besanan kemudian lahirlah keluarga miskin baru sehingga ini perlu ada pemotongan mata rantai keluarga miskin, kenapa? Karena kemiskinan itu pada dasarnya basisnya adalah di dalam keluarga," ucap mantan Mendikbud ini. 


Banyak pihak menanggapi pernyataan itu secara negatif. Misalnya, Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto menganggap pernyataan Muhadjir menyinggung perasaan masyarakat yang kurang beruntung dari sisi ekonomi. 


"Jangan mengambinghitamkan orang miskin nikah sama orang miskin," kata Yandri kepada CNNIndonesia.com, Rabu (5/8/2020).


Jika kita mau berpikir secara jernih apa yang dikatakan Muhadjir itu memang benar bahwa basis kemiskinan pada dasarnya ada di dalam keluarga dan itu bisa dimulai dari proses pembentukannnya. Jika kemiskinan bisa diibaratkan sebagai penyakit, maka orang miskin adalah orang sakit secara ekonomi. Bagaimana orang sakit akan menolong pasangannya yang sama-sama sakit dengan penyakit yang sama? 


Tentunya hal itu sulit karena mereka tidak bersinergi untuk saling menguatkan agar sembuh. Mereka justru saling melemahkan secara sosial ekonomi karena hubungan mereka tidak komplementer. Rumus matematika menunjukkan minus ditambah minus sama dengan minus yang semakin besar. Artinya keluarga miskin seringkali terbentuk dari perkawinan orang miskin dengan sesama orang miskin. Pasangan itu kemudian semakin miskin karena terjadi ledakan kebutuhan hidup dengan lahirnya anak-anak. 


Apalagi banyak keluarga miskin justru memiliki anak banyak. Mereka mungkin kurang pengetahuan tentang bagaimana mengendalikan kelahiran, atau pengetahuan mereka tentang hal ini cukup namun tak mampu membeli alat-alat kontrasepsi. Atau, mereka memang enggan mengikuti program KB karena cenderung membebani dan merepotkan perempuan meski layanan ini bisa didapat secara gratis dari pemerintah. 


Dukungan Moral

Jika logika di atas dipahami dengan baik, tidak perlu ada pihak yang keberatan dengan apa yang dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Prof Muhadjir Effendy. Apalagi lontaran itu disampaikan sebenarnya hanya dalam rangka mendorong masyarakat agar memiliki kesadaran kritis bahwa berbesanan antar-sesama orang miskin rentan melahirkan kemiskinan baru tanpa bermaksud menghalang-halanginya secara formal baik dengan peraturan negara maupun fatwa ulama


Jika dikatakan oleh Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto bahwa lontaran Muhadjir menyinggung perasaan orang miskin, hal ini bisa benar bisa tidak. Bagi orang miskin yang hanya mengedepankan emosi, lontaran Muhadjir memang dapat membuatnya tersinggung. Tetapi begitu mereka mau merenunginya dengan baik, mereka akan dapat menerimanya karena menyadari justru lontaran Muhadjir sebetulnya mereka butuhkan sebagai dukungan moral untuk percaya diri mencari besan yang lebih baik kondisi ekonominya. 


Selama ini keluarga miskin merasa tidak percaya diri dan bahkan takut ketika bermaksud mencari besan dari keluarga kaya karena masyarakat memberinya stigma mencari besan karena harta. Atau mereka takut dianggap tidak taat pada aturan fiqih tentang kafaa’ah. Padahal upaya mencarikan jodoh dengan orang kaya bagi anggota keluarga miskin sebetulnya memiliki dasar teologis yang cukup kuat. Rasulullah shallallahi ‘alaihi wa salam telah berpesan sebagaimana penggalan hadits berikut ini yang diriwayatkan dari dari ‘Amir bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu:


إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ 


Artinya: “Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia.” (Muttafaqun alaih). 


Tetapi persoalannya bagaimana mungkin keluarga miskin akan meninggalkan warisan harta yang cukup bagi anak-anaknya demi masa depan mereka sebagaimana pesan dalam penggalan hadits di atas?


Hal itu sangat sulit dan bagi kebanyakan dari mereka tidak mungkin. Oleh karena itu bagi keluarga miskin mencari besan yang kaya adalah salah satu cara yang mungkin mereka lakukan untuk lebih menjamin masa depan anak turunnya agar tidak terus-menerus terkungkung dalam kubangan kemiskinan. Apakah hal ini salah dan jelek? 


Tentu saja tidak jika sedari awal sudah diniati bukan semata-mata mencari harta demi memuaskan hawa nafsunya tetapi demi mengikuti pesan Rasulullah dalam hubungannya dengan masa depan keluarga bagi anak-anak keturunannya. Jadi hadits di atas sebetulnya mendasari perlunya menyiapkan masa depan anak-anak yang lebih baik secara ekonomi berbasis keluarga. 


Pesan Kesetaraan

Dengan prinsip itu pula, Rasulullah banyak menjodohkan para mantan budak dengan putri-putri bangsawan, seperti Zaid bin Haritsah dijodohkan dengan Zaenab binti Jahsy, Al-Miqdad dengan Dhiba’ah binti Zubair bin Babdul Muthalib, Usamah bin Zaid bin Haritsah dengan Fathimah binti Qais, Juwaibar dengan Zulfa’ binti Ziyad bin Labid, dan sebagainya. 


Melalui perkawinan semacam itu, Rasulullah bermaksud menyatakan pesan bahwa sesama orang mukmin adalah sederajat tanpa dibebani keharusan adanya kesepadanan antara laki-laki dan perempuan dalam hal harta dan dalam hal-hal duniawi lainnya. 


Hal itu sekaligus merupakan petunjuk bahwa untuk mencegah lahirnya keluarga baru yang lemah secara ekonomi, maka perkawinan antartingkat ekonomi menjadi salah satu alternatif untuk memutus mata rantai kemiskinan. Di sinilah relevansi dan urgensinya gagasan Prof Muhadjir bahwa sesama keluarga miskin tidak berbesanan. 


Perkawinan antartingkat ekonomi tidak perlu diolok-olok atau dihalang-halangi hanya karena perbedaan status sosial-ekonomi mereka, apalagi kedua belah pihak saling mencintai. Justru perkawinan seperti ini harus didukung karena Rasulullah pernah bersabda dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan dari Abu Musa al-Asya’ri sebagai berikut: 


وَرَجُلٌ كَانَتْ لَهُ أَمَةٌ فَغَذَّاهَا فَأَحْسَنَ غِذَاءَهَا ثُمَّ أَدَّبَهَا فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبَهَا وَعَلَّمَهَا فَأَحْسَنَ تَعْلِيْمَهَا ثُمَّ أَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا فَلَهُ أَجْرَانِ. 


Artinya: “Seorang laki-laki yang mempunyai budak wanita, lalu ia memberi makanan, pendidikan, dan pelajaran yang baik, kemudian ia membebaskan dan menikahinya, maka ia memperoleh dua pahala” (HR al-Bukhari). 


Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad, Rasullllah bersabda sebagai berikut:


الناس سواسية كأسنان المشط الواحد. لا فضل لعربي على عجمي إلا بالتقوى


Artinya: “Manusia pada hakikatnya adalah sama; sejajar seperti jari-jari sisir, orang Arab tidaklah lebih unggul dari orang ‘Ajam. Keunggulan diantara mereka hanyalah dalam taqwanya.” (HR al-Dailami).


Kedua hadits itu mendasari pemikiran bahwa perbedaan status sosial tidak perlu menjadi penghalang bagi pernikahan antartingkat ekonomi karena pada dasarnya semua manusia sejajar. Satu-satunya hal yang membedakan mereka hanyalah dalam hal ketakwaan masing-masing kepada Allah. 


Pihak yang lebih kuat tingkat sosial ekonominya dalam perkawinan semacam itu akan mendapatkan dua kebaikan sekaligus. Pertama, karena ia menolong pihak yang lemah dengan kesediaannya membelanjakan hartanya untuk (membantu) menafkahi keluarga. Kedua, karena pernikahan itu sendiri yang hukumnya sunnah dan berarti melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


Jadi, lontaran gagasan Prof Muhadjir bahwa sesama orang miskin supaya tidak berbesanan, harus dipahami sebagai usulan yang tidak mengikat namun perlu dipertimbangkan secara suka rela demi mencegah lahirnya keluarga baru yang lemah secara ekonomi. Jadi ia berbicara pada tataran pencegahan lahirnya keluarga miskin baru di tengah-tengah tingginya jumlah keluarga miskin di Indonesia saat ini yang mencapai angka 76 juta (Detik.com, Selasa, 4/8/2020). 


Pertanyaannya, apakah usulan itu efektif untuk dilaksanakan dalam arti akan menggerakkan masyarakat untuk beramai-ramai melakukan pernikahan antartingkat ekonomi di Indonesia? 


Banyak orang tentu pesimistis akan hal itu, tetapi setidaknya usulan itu akan membuka kesadaran baru di masyarakat terutama di kalangan orang tua dan para pemuda sekaligus memberikan dukungan moral kepada mereka bahwa pernikahan antartingkat ekonomi sesungguhnya baik untuk dilaksanakan dilihat dari moralitas agama, sosial, maupun ekonomi. 


Secara agama, pernikahan semacam itu bernilai ibadah tinggi di mana pihak yang kuat menolong pihak yang lemah. Secara sosial-ekonomi, hal ini akan berdampak pemerataan kemakmuran ekonomi melalui basis keluarga sehingga bisa mencegah lahirnya keluarga miskin baru. Dengan kata lain perkawinan antartingkat ekonomi merupakan cara pemerataan kemakmuran ekonomi tidak lewat institusi negara tetapi melalui kekuatan civil society


Saya menyebut teori itu sebagai “sosialisme familial”, yakni sebuah sosialisme yang diterapkan dalam keluarga untuk membentuk masyarakat yang adil dan makmur, tidak melalui jalan kekerasan oleh institusi negara ataupun partai-partai politik, tetapi melalui budaya masyarakat yang berlandaskan cinta dan kasih sayang dalam ikatan perkawinan yang sah.  


Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.