Risalah Redaksi

Komitmen NU pada Dunia Islam

Ahad, 22 Desember 2019 | 12:45 WIB

Komitmen NU pada Dunia Islam

Ilustrasi: seorang anak Rohingya memanggul bantuan makanan pokok dari NU di Cox's Bazar, Bangladesh. (NU Online/Muchlishon)

Ukhuwah islamiyah atau persaudaraan sesama umat Islam merupakan salah satu prinsip yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa sesama Muslim ibarat satu tubuh. Jika ada satu bagian tubuh yang sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakan sakit. Malangnya, banyak bagian dunia Muslim yang masih menghadapi pergolakan. Karena itu, pertolongan sangat dibutuhkan. Bantuan dari Muslim dari seluruh dunia akan meringankan beban penderitaan atau jika memungkinkan, mampu menyelesaikan persoalan.

 

Kawasan Timur Tengah merupakan kawasan panas dengan beragam konflik yang timbul tenggelam. Sejauh ini belum ada tanda-tanda segera berakhir dalam waktu dekat. Palestina merupakan persoalan lama yang hingga kini masih menjadi persoalan tingkat dunia yang karena tidak tidak ada penyelesaian yang tuntas, bahkan menimbulkan berbagai persoalan turunan. Sejak persoalan tersebut muncul dengan pendirian negara Israel, NU telah memberikan masukan dan langkah-langkah penyelesaiannya.

 

 

Konflik bersenjata masih terjadi di Yaman, Libya, Suriah, dan Kurdi. Beberapa negara yang tidak berkonflik pun menunjukkan ketidakstabilan politik. Sementara itu, umat Islam yang menjadi minoritas di beberapa negara juga mengalami diskriminasi serta kesulitan memenuhi hak dasarnya. Muslim Rohingnya di Myanmar, Muslim di Kashmir India, dan Muslim Uighur di Tiongkok. Di Asia Tenggara, Muslim di Thailand Selatan atau Mindonao di Philipina Selatan juga belum sepenuhnya bisa hidup dengan damai.

 

 

Ada banyak penyebab atas persoalan yang terjadi. Di Yaman, konflik merupakan perang proxy antara kekuatan regional yang ada di wilayah tersebut yang ingin memperebutkan pengaruh; kelompok ISIS menjadi persoalan di Suriah dan Libya; upaya kemerdekaan terjadi di daerah Kurdi; Muslim Rohingya menghadapi persoalan identitas kewarganegaraan; di Kashmir terkait dengan persoalan klaim perebutan wilayah; di Uighur terkait dengan larangan mengekspresikan ajaran keagamaan secara memadai dan adanya “kamp konsentrasi” untuk mendidik ulang warga setempat yang memang secara budaya lebih dekat dengan Asia tengah dibandingkan dengan suku Han yang merupakan penduduk asli China.

 

Dalam berbagai persoalan tersebut, NU sebagai organisasi masyarakat melakukan diplomasi dengan pendekatan people to people untuk membantu menyelesaikan masalah. Beberapa forum besar dengan mengundang ulama dunia beberapa kali diselenggarakan semenjak tahun 2000-an seperti International Conference of Islamic Scholars (ICIS) dan International Summit Of Moderate Islamic Leaders (Isomil) atau pertemuan-pertemuan dalam skala yang lebih kecil. Pada kesempatan tersebut, para ulama saling berbagai pandangan dalam upaya membantu menyelesaikan masalah yang ada di dunia Islam. NU juga memberikan saran kepada pemerintah Indonesia untuk merumuskan kebijakan dalam pendekatan government to government (G to G) terkait dengan persoalan dunia Islam. Langkah-langkah tersebut merupakan bagian dari upaya menyelesaikan masalah yang dialami oleh negeri-negeri Muslim. Semakin banyak pihak yang memberikan kontribusi untuk penyelesaian masalah, maka persoalan tersebut akan cepat selesai.

 

Dalam konteks aksi pemberian dukungan secara langsung, NU telah mengirimkan sejumlah bantuan kepada pengungsi di Rohingnya dan penggalangan dana untuk Palestina. NU memberikan beasiswa kepada mahasiswa dari Afghanistan dan Thailand Selatan untuk belajar di perguruan tinggi NU.

 


Keberadaan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) yang tersebar di berbagai belahan dunia menjadi duta NU di negara-negara tersebut. Hal ini memberikan informasi dari tangan pertama terkait dengan situasi yang ada di negeri tersebut serta memberi dukungan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.

 

Dalam konflik-konflik tersebut, ada persoalan kemanusiaan yang mana setiap pihak harus memberikan bantuan, tetapi terdapat pula persoalan yang sifatnya internal seperti terkait sikap politik atau adanya upaya pemisahan diri dari negara yang sudah ada. Persoalan-persoalan tersebut berkelindan sehingga harus hati-hati dalam menyikapinya. Pemerintah setempat selalu berusaha mengklaim bahwa persoalan tersebut adalah persoalan dalam negeri. Dengan demikian, mereka meminta pihak luar tidak ikut campur. Sementara itu pihak lawannya berusaha membangun opini adanya persoalan kemanusiaan yang dilanggar karena itu mereka meminta dukungan masyarakat internasional.

 

Sikap hati-hati ditunjukkan NU juga terkait dengan upaya kekuatan global tertentu menjadikan isu konflik di daerah Muslim sebagai bahan untuk saling menekan. NU tidak mau menjadi bagian dari permainan pihak lain yang seolah-olah memperjuangkan isu yang diglorifikasi atas nama kemanusiaan, nasionalisme, ekonomi, atau yang lainnya tetapi di baliknya tersembunyi agenda lain. Dalam konteks pertarungan wacana, selalu terdapat informasi yang ditonjolkan yang mendukung pandangan yang ingin disuarakan tetapi terdapat informasi yang disembunyikan yang sekiranya dapat merugikan posisi dalam perundingan.

 

Dalam konteks persoalan Uighur, NU mencermati persoalan tersebut dengan serius. NU menerima undangan untuk melihat secara langsung situasi di sana, NU juga mendapat laporan yang disampaikan oleh PCINU Tiongkok. Di sisi lain NU juga menerima kunjungan dari NGO internasional yang memperjuangkan HAM atau duta besar dari negara tertentu yang mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah China dalam soal di Uighur. Semua hal tersebut disintesakan untuk mengambil sikap yang disampaikan kepada publik.

 

Tuduhan bahwa NU disuap dengan beasiswa atau bantuan lainnya agar diam soal Uighur merupakan tuduhan tak berdasar. Beasiswa dari China hanya bagian kecil dari beasiswa yang diterima Nahdlatul Ulama secara keseluruhan. Negara yang pernah memberikan beasiswa di antaranya adalah Mesir, Marokko, Libya, India, Inggris, Amerika, dan lainnya. Kunjungan ke berbagai negara secara rutin dilakukan oleh para pengurus dan aktivis NU termasuk ke Amerika dan Eropa. Semua itu merupakan hal yang normal dalam diplomasi.

 

NU memiliki sikap jelas dalam pembelaan nilai-nilai kemanusiaan karena hal tersebut merupakan bagian dari maqashidus syariah atau tujuan-tujuan prinsipil syariah, yaitu hifdhudin (melindungi agama); hifdhul nafs (melindungi jiwa); hifdhul aql (melindungi pikiran); hifdhul mal (melindungi harta); dan hifdhun nasl (melindungi keturunan). Namun demikian, NU memiliki pertimbangan sendiri dalam mengambil sikap yang didasarkan pada manfaat paling besar atau kerugian paling kecil, terutama bagi Muslim yang perlu dibantu tersebut. (Achmad Mukafi Niam)