Risalah Redaksi

Membangun Komunitas Digital NU

Ahad, 12 Juli 2020 | 11:00 WIB

Membangun Komunitas Digital NU

Mengubah budaya memerlukan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan kemajuan teknologi itu sendiri. (Ilustrasi: NU Online/Mahbib)

Kemajuan teknologi telah mengubah cara hidup. Tanpa terasa kini kita seolah tak bisa lepas dari telepon cerdas atau beragam gawai canggih lainnya. Hanya dalam beberapa bulan selama  pandemi Covid-19  ini, kita semakin akrab dengan pertemuan-pertemuan daring atau webinar. Artificial intelegence, search engine optimizer, algoritma, atau big data merupakan istilah baru yang menjadi pembicaraan sehari-hari terkait dengan teknologi ini. Dalam sepuluh sampai lima belas tahun ke depan, kemajuan ini akan semakin cepat yang mungkin saja belum terbayangkan kondisinya saat ini. Perubahan ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Nahdlatul Ulama. 


Rapat-rapat di lingkungan NU kini juga jamak dilakukan daring sehingga bisa diakses dari mana saja tanpa perlu datang ke kantor sehingga memerlukan biaya transportasi dan sejumlah waktu yang dihabiskan.  Peserta tinggal membuka aplikasi penyedia telekonferensi dari mana saja, bahkan sambil melakukan hal lain ketika mendengarkan presentasi rapat.  Setelah selesai, maka bisa berganti dengan aktivitas lainnya. Dengan demikian, waktu menjadi semakin produktif.  Tren seperti ini akan tetap berjalan sekalipun pandemi berakhir nantinya. 


Namun ada yang hilang, yaitu pertemuan personal yang mampu menghasilkan ikatan emosional. Obrolan-obrolan ringan seringkali menghasilkan ide-ide tertentu yang akhirnya menjadi sebuah program besar. Rapat daring seringkali tidak mampu membangun koneksi di antara para peserta yang sebelumnya tidak saling kenal. 


Komunitas NU menjaga soliditasnya melalui berbagai acara kumpul-kumpul yang akhirnya menumbuhkan ikatan emosional yang terus terjaga. Tahlilan untuk mendoakan keluarga yang meninggal, yasinan setiap malam Jumat, majelis taklim, dan lainnya memungkinkan warga NU saling bertemu, kenal, dan kemudian berinteraksi. Tradisi guyonan yang muncul dalam obrolan-obrolan ringan ini menghasilkan keakraban dan ikatan emosional.


Sebagian dari wujud keakraban tersebut dapat dipindah dalam format media sosial yang memungkinkan mereka yang jarang bertemu atau berinteraksi saling berkomentar di dunia maya. Kebijakan dan keputusan resmi PBNU kini diumumkan secara daring melalui website yang lalu dengan cepat dibagikan ke seluruh jejaring NU di seluruh dunia dalam hitungan detik dalam beragam platform media sosial. Selain kecepatan, hal ini juga mampu mengurangi distorsi karena diputusnya rantai penyampai pesan. 


Di balik manfaat yang sedemikian besar, media sosial telah menjadi ruang menyebaran hoaks dan ujaran kebencian.  Informasi palsu dan fitnah bertebaran dan dibagikan kerena ketidaktahuan atau literasi digital yang rendah. Caci maki dengan kata-kata yang paling tidak beradab bisa dikeluarkan oleh orang yang terlihat santun di kehidupan nyata. Orang yang baru belajar agama dengan entengnya mengomentari kiai senior yang jelas-jelas memiliki otoritas dalam ilmu agama. Semuanya terjadi di ruang media sosial.


Dalam rangka memanfaatkan kemajuan teknologi informasi ini, pada tahun 2003, Nahdlatul Ulama mendirikan NU Online (www.nu.or.id). Pada 11 Juli 2020, website resmi NU ini telah berusia 17 tahun. Situs ini menyajikan informasi yang otoritatif terkait dengan kebijakan, program, dan aktivitas NU. Informasi keislaman yang disajikannya didasarkan pada pendapat-pendapat paling kokoh yang diambil dari kitab sumber rujukan terpercaya karangan para ulama terkemuka. Warga NU menjadikannya sebagai  panduan dalam menjalankan amaliyah Islam di tengah berbagai perbedaan pendapat yang ditemukan di internet. 


Dengan pengalaman selama tujuh belas tahun ini, NU Online berusaha untuk terus meningkatkan pelayanannya kepada warga NU. Satu hal yang kini digagas adalah membangun sebuah aplikasi digital yang nantinya akan menyediakan berbagai kebutuhan digital warga NU, baik konten pembelajaran keislaman, pengembangan potensi warga, atau kebutuhan layanan organisasi.  Selama ini, berbagai informasi dan data terkait NU masih terpisah-pisah dalam berbagai platform. Integrasi data memungkinkan mahadata (big data) diolah dan dianalisis untuk pengembangan lebih lanjut.


Jika pada masa lalu, emas dan minyak merupakan barang berharga, kini data merupakan sebuah aset yang nilainya luar biasa. Berbagai platform media sosial menyediakan layanannya secara gratis, sekalipun untuk mengelola  aplikasi tersebut dibutuhkan biaya yang sangat besar. Namun mereka memanfaatkan data dari orang-orang yang mengunduh layanan media sosial tersebut menjadi sebuah usaha yang pada akhirnya menghasilkan pendapatan. Integrasi data NU memungkinkan gerak dakwah dan pembelaan NU terhadap kelompok mustadlafin dapat dianalisis dan dipetakan dengan mudah untuk menghasilkan kebijakan yang tepat. 


Di masa depan, kebutuhan akan platform digital NU semakin krusial karena warga NU adalah generasi digital native, yaitu anak-anak yang sejak lahir sudah akrab dengan dunia digital. Generasi NU saat ini masih merupakan generasi campuran antara digital native dan digital immigrant atau orang-orang yang bersentuhan dengan teknologi digital ketika usianya sudah besar. Mereka disebut imigran karena asing dengan banyak hal yang ada di dunia digital. Pengelolaan organisasi di masa depan, akan sepenuhnya berbasis digital karena generasi zamannya adalah generasi digital. Karena itu, menjadi sangat penting untuk menyiapkannya dari sekarang.


Proses untuk menyiapkan transformasi ini memerlukan waktu yang panjang. Ada banyak tahapan yang perlu dilakukan untuk menumbuhkan budaya digital. Mengubah budaya memerlukan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan kemajuan teknologi itu sendiri. Banyak orang sulit mengubah kebiasaannya karena merasa nyaman dengan teknologi konvensional. Mereka tidak bersedia mengubah diri karena harus belajar hal-hal baru.


Namun demikian, apa pun kemajuan teknologi yang memberi kemudahan, manusia adalah makhluk sosial. Nilai-nilai keguyuban yang dimiliki oleh warga NU harus tetap terjaga. Teknologi dimanfaatkan dalam konteks kemampuannya melakukan efisiensi dan efektivitas kerja-kerja organisasi, bukan menggantikan posisi manusia yang akhirnya menjadikan manusia sebagai budak teknologi. (Achmad Mukafi Niam)