Risalah Redaksi

Memerdekakan Diri dari Ketimpangan Ekonomi dan Sosial 

Ahad, 16 Agustus 2020 | 06:00 WIB

Memerdekakan Diri dari Ketimpangan Ekonomi dan Sosial 

Kepemilikan aset masih tetap dalam genggaman kelompok lama yang dari dahulu memiliki hak istimewa. (Ilustrasi: NU Online/Mahbib)

Kemerdekaan Indonesia yang sudah memasuki tahun ke-75 ini ternyata paling banyak dinikmati oleh kelompok tertentu yang sejak era kolonial mereka sudah memiliki posisi istimewa. Dengan demikian, kita belum sepenuhnya merdeka. Bahkan bagi kelompok paling marginal, zaman apa pun penderitaannya tetap sama. Kita dikatakan sepenuhnya merdeka jika sebagian besar rakyat Indonesia sudah sejahtera; merasa aman dan terlindungi.


Kolonialisme panjang yang dialami oleh bangsa Indonesia masih menyisakan sejumlah persoalan yang hingga kini belum dapat diselesaikan. Salah satunya dalam bentuk struktur sosial ekonomi yang melahirkan ketimpangan kepemilikan aset. Pada masa lalu, struktur masyarakat dibagi dalam tiga kelompok yang meliputi kelompok Eropa yang menjadi penguasa, kelompok bumiputra yang menjadi korban eksploitasi, dan kelompok timur asing yang kedudukannya di antara orang Eropa dan bumiputra. 


Elite lokal dari keluarga ningrat serta kelompok timur asing memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki rakyat biasa. Dengan peran dan posisi hukum yang lebih tinggi, sebagian dari mereka terus mengakumulasi kekayaan dan mampu memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya. Dengan modal harta, modal intelektual, dan modal sosial yang dimilikinya, kelompok tersebut terus saja mempertahankan dominasinya setelah Indonesia merdeka.


Para keturunan elite lokal, kini menjadi kekuatan oligarki yang menguasai jabatan-jabatan politik. Para bupati, gubernur, menteri atau pemangku jabatan strategis negeri ini memiliki jejak sebagai keturunan orang-orang yang sejak dahulu memiliki posisi istimewa. Tentu terdapat orang biasa yang mampu mendobrak lingkaran kekuasaan ini, namun jumlah mereka tidaklah seberapa. Demokrasi liberal yang mensyaratkan biaya yang mahal membutuhkan modal finansial dan modal sosial yang besar. Hal ini akhirnya memunculkan oligarki. Ketika seorang bupati lengser, maka yang menggantikannya masih kerabat dekatnya atau dikuasai kelompok oligarki keluarga lain yang menjadi saingannya. Sanak famili menyebar menduduki jabatan politik penting seperti anggota DPR atau DPRD dari tingkat nasional sampai daerah. 


Dalam bidang ekonomi, situasi ketimpangan semakin parah. Ibarat perlombaan lari, kelompok yang dahulu masuk kategori timur asing telah jauh berada di depan. Dengan model ekonomi persaingan bebas yang berlaku, mereka memiliki modal jauh lebih besar serta keahlian berbisnis yang sudah matang ditambah dengan jaringan bisnis yang sudah terbangun dengan baik. Akhirnya, porsi kue ekonomi yang dikuasainya semakin lama semakin besar. 


Harus kita syukuri bersama bahwa proses pembangunan yang berlangsung selama 75 tahun ini telah mengurangi angka kemiskinan. Namun, kepemilikan aset masih tetap dalam genggaman kelompok lama yang dari dahulu memiliki hak istimewa. Ibaratnya, pada zaman dahulu, dari 10 kue, proporsinya dibagi 6-4. Kini kuenya berkembang menjadi 100, namun yang dikuasai kelompok elite menjadi 80 berbanding dengan 20. Sebagian orang sudah puas dengan adanya peningkatan dari 4 menjadi 20 karena mereka tidak sadar, porsi yang didapat kelompok lain jauh lebih besar. Dari 10 orang terkaya di Indonesia tahun 2020 dan tahun-tahun sebelumnya, hanya 1-2 orang yang dapat dikategorikan sebagai keturunan bumiputra. Lainnya masuk kelompok timur asing, jika merujuk pembagian yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda. 


Sebagian kelompok bahkan tetap dalam kondisi miskin karena proses marginalisasi seperti yang dialami oleh petani dan nelayan. Dari dahulu hingga kini, mereka tetap saja miskin. Era tanam paksa pernah menjadi masa kelam bagi para petani. Toh kini pun, kebijakan negara tidak mengarah pada kesejahteraan para petani. Impor pangan mendesak produk dalam negeri, infrastruktur pertanian tak memadai, dan persoalan akut lainnya. 


Bahkan dalam situasi pendemi saat ini pun, tak ada kebijakan khusus yang memperhatikan sektor pertanian dan perikanan. Para pekerja formal yang bergaji sampai dengan 200 juta per tahun mendapatkan potongan pajak pribadi selama 6 bulan. Mereka yang gajinya di bawah 5 juta dan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan mendapatkan bantuan tunai 600 ribu per bulan selama empat bulan. Berbagai industri mendapatkan stimulus agar mereka cepat pulih. Sektor pertanian serta perikanan dengan para pelakunya tetap terseok-seok tak mendapatkan perhatian.


Tak mudah menciptakan pemerataan. Sebagian besar penguasa dan pengambil kebijakan merupakan bagian dari kelompok elite yang berpikir dan berperilaku sebagai bagian dari kelompok tersebut sekalipun mereka dipilih langsung. Mimpi tentang munculnya penguasa yang adil yang disimbolkan dengan satria piningit atau ratu adil menjadi harapan wong cilik memperbaiki nasibnya.

 
 Menyadarkan masyarakat tentang berbagai ketimpangan ini menjadi bagian penting supaya kebijakan lebih pro kepada pemerataan. Demokrasi telah memberi kesempatan kepada rakyat untuk bersuara. Namun, mereka disibukkan dengan berbagai konten hiburan dan hal remeh-temeh di media sosial. Akhirnya mereka lupa memikirkan hal-hal penting dalam kehidupan bersama.

 
Inilah perjuangan panjang untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya. Tak ada jalan pintas karena perubahan dari satu rezim ke rezim lainnya, dengan berbagai macam janjinya, ternyata tak mengubah struktur sosial yang telah terbentuk sejak era kolonial. Kita memulai dengan menyebarkan kesadaran kritis bahwa berbagai ketimpangan ini begitu nyata ada di negeri ini. Bahwa banyak orang nasibnya tak berubah dari era kolonial hingga sekarang. Begitu menjadi kesadaran publik, maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih memperhatikan kepentingan umum.


Indonesia belum menjadi negeri impian yang mana siapa pun boleh bermimpi menjadi apa pun asal dia memiliki potensi dan bersedia berusaha keras untuk mencapai mimpi-mimpi besarnya. Masih terlalu besar dan terlalu banyak hambatan yang harus disingkirkan sampai 75 tahun kemerdekaan. Inilah tugas kita bersama saat ini. (Achmad Mukafi Niam)