Risalah Redaksi

Mendorong Santri Berdiaspora ke Seluruh Penjuru Dunia

Ahad, 3 November 2019 | 08:00 WIB

Mendorong Santri Berdiaspora ke Seluruh Penjuru Dunia

Santri punya potensi besar berkontribusi di tingkat dunia dengan wawasan dan pengalaman global.

Dunia kini ibarat sebuah desa global. Apa yang sebelumnya terasa jauh, dengan gampang bisa dijangkau dengan alat transportasi yang canggih. Kejadian-kejadian yang ada di belahan dunia mana pun, kini dengan cepat bisa diakses melalui internet. Sekalipun demikian, setiap bagian dunia tetap memiliki keunikannya sendiri. Masing-masing mempunyai kelebihan yang layak untuk dipelajari dalam rangka mengembangkan kapasitas.

 

Kesempatan untuk mempelajari berbagai ilmu atau bahkan mengabdikan diri di berbagai wilayah di dunia inilah yang harus disampaikan dan didorong kepada para santri. Bahwa mereka dapat memperoleh pengetahuan dan kualitas tertentu dengan belajar di tempat lain, terutama di pusat-pusat ilmu pengetahuan yang akan memperkaya pemahaman mereka akan ragam kehidupan yang ada di dunia ini.

 

Jika kita menengok sejarah perkembangan intelektual Islam, para ulama zaman dahulu menuntut ilmu tidak hanya dari satu tempat, tetapi mendatangi guru-guru dari berbagai tempat yang dianggap mumpuni untuk ditimba samudera ilmunya. Imam Bukhari adalah seorang pengelana. Ia pergi dari Mesir sampai ke Khurasan dan wilayah-wilayah lainnya untuk mengumpulkan hadits. Imam Syafii pun berguru ke Madinah, Irak, Kufah, Persia, Turki, dan Palestina, sampai akhirnya menetap dan wafat di Mesir. Ulama-ulama Nusantara terdahulu juga belajar di banyak tempat seperti yang dilakukan oleh Syekh Nawawi al Bantani, Syekh Yasin al-Fadani, termasuk KH Muhammad Hasyim Asy’ari yang menghabiskan usianya selama bertahun-tahun di Makkah. Ulama kontemporer seperti KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), KH Said Aqil Siroj, Prof Quraish Syihab termasuk di antara yang mendedikasikan diri belajar di luar negeri.

 

Pusat belajar agama yang paling populer bagi para santri yang berasal dari Indonesia adalah Al Azhar Mesir. Setiap tahun, ribuan santri dari berbagai pesantren mendaftar di salah satu universitas terbaik pembelajaran agama Islam ini. Tempat lainnya adalah Makkah, Madinah, Maroko, atau Tunisia. Beberapa negara di Timur Tengah dihindari karena konflik yang membuat keamanan kurang terjamin. Tujuan baru yang kini banyak diminati adalah Malaysia sebagai dengan keunggulan sebagai pusat belajar ekonomi Islam.

 

Di negara-negara tersebut para santri yang berlatar belakang NU membentuk Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU). Hal ini untuk menjaga kebersamaan selama di negeri orang sekaligus mengader agar ketika pulang ke Indonesia mereka bersedia mengabdikan dirinya untuk masyarakat melalui Nahdlatul Ulama. Di tempat itu pula, para mahasiswa dapat memperkenalkan corak Islam Indonesia yang damai dan moderat.

 

Bukan hanya fokus pada bidang-bidang keagamaan, para santri memiliki peluang besar untuk memiliki keahlian tertentu yang dibutuhkan dalam kehidupan. Bidang ekonomi, lingkungan, matematika, manajemen, dan lainnya. Beragam beasiswa baik dari dalam negeri atau luar negeri ditawarkan. Internet dan media sosial memudahkan informasi tersebut diakses. Kesempatan untuk belajar di pusat-pusat pengkajian Islam kini semakin mudah karena tersedianya beragam beasiswa yang diperuntukkan bagi para santri. Terbaru, Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) pada 2018 lalu membuat program LPDP Santri yang diperuntukkan khusus bagi para santri untuk belajar sampai jenjang S2 dan S3 baik dalam bidang pengkajian agama Islam atau bidang keilmuan lainnya untuk mendorong kemajuan pesantren.

 

Kini bagaimana agar para santri mampu berkompetisi dalam beasiswa yang sangat kompetitif tersebut. Artinya, hanya mereka yang terbaik yang akan memenangkan beasiswa tersebut. Untuk itu, memperluas perspektif bahwa santri harus mampu bersaing secara global sudah harus ditanamkan kepada mereka, dan tentu saja mempersiapkan mereka dengan bekal yang dibutuhkan untuk mampu bersaing seperti dalam aspek kemampuan bahasa. Mentalitas juga faktor penting, yaitu mendorong para santri untuk keluar dari zona nyaman berupa perasaan aman dengan hanya belajar di lingkungan yang sudah mereka kenal. Hal ini akan membuat pengalaman mereka terbatas sehingga jangkauan pemikirannya juga terbatas.

 

Salah satu pesantren di lingkungan NU yang sudah mengarahkan penyebaran santri ke seluruh penjuru dunia adalah Pesantren Amanatul Ummah di Pacet Mojokerto. Para santrinya masuk ke perguruan tinggi terbaik di Indonesia dan menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke Rusia yang selama ini kurang populer bagi pelajar di Indonesia. Hal ini tentu tidak datang dengan tiba-tiba, tetapi sejak semula ketika masuk ke pesantren tersebut, santri sudah diarahkan untuk mengembangkan potensi terbaiknya di mana saja di seluruh dunia.

 

Beberapa santri bahkan berkarier di luar negeri seperti Nadirsyah Hosen, rais syuriyah PCINU Australia, yang kini mengajar di Monash University di Melbourne Australia atau Sumanto Al Qurtuby yang mengajar di King Fahd University Saudi Arabia. Tentu masih banyak figur lainnya yang berlatar belakang santri yang turut berkontribusi dalam pengembangan dunia, baik dalam bidang ilmu pengetahuan atau profesi lainnya. Di mana pun mereka berada, kontribusi mereka sebagai bentuk kecintaan terhadap Indonesia tetap terlihat seiring dengan kemudahan komunikasi berkat kemajuan teknologi.

 

Jika Kiai Hasyim Asy’ari, Gus Dur, Gus Mus, Kiai Said, dan para tokoh NU lainnya mampu belajar di pusat-pusat pembelajaran Islam di dunia, yang ketika itu kondisinya masih serba sulit, tentu saat ini sudah seharusnya banyak santri-santri yang mampu. Saatnya mempersiapkan diri meraih mimpi memberi kontribusi di tingkat dunia dengan wawasan dan pengalaman global. (Achmad Mukafi Niam)