Risalah Redaksi

Mengembangkan Potensi Ulama Perempuan Indonesia

Ahad, 1 April 2018 | 04:30 WIB

Mengembangkan Potensi Ulama Perempuan Indonesia

Ilustrasi (Foto: Romzi Ahmad)

Kabar gembira datang dari Yordania ketika kontingen Indonesia atas nama Rifdah Farnidah menjadi juara kedua dalam Musabaqah Hifdzil Quran atau lomba menghafal Al-Qur’an dengan bacaan tartil atau murottal. Prestasi santri Pesantren Al-Hikam Mussalafiyyah Kabupaten Sumedang yang kini belajar di Institute Ilmu Qur'an (IIQ) Jakarta ini langsung menjadi viral di dunia maya. Ia menjadi satu-satunya juara yang berasal dari luar Timur Tengah.

Di Semarang, Jawa Tangah, baru-baru ini, para ulama perempuan juga berkumpul untuk mendiskusikan berbagai persoalan keislaman dan kebangsaan. Sebelumnya, untuk pertama kalinya, para ulama perempuan menggelar kongres ulama perempuan di Cirebon, Jawa Barat. Pertemuan itu merumuskan peran ulama perempuan di Indonesia. Dengan membentuk sebuah organisasi, maka gerakan tersebut akan semakin kuat karena menggabungkan potensi dari para individu menjadi kekuatan bersama. 

Perkembangan tentang meningkatnya peran perempuan dalam bidang keagamaan dan keulamaan tentu harus disambut dengan suka cita. Selama ini perempuan diidentikkan dengan urusan domestik. Di tengah meluasnya peningkatan peran perempuan dalam banyak bidang, bahkan dengan mulainya menguatnya peran mereka dalam bidang pendidikan dan kesehatan, peran mereka dalam bidang keulamaan cenderung tertinggal dibandingkan dengan capaian peran-peran mereka dalam bidang lain. 

Selama ini, tafsir-tafsir ajaran Islam yang terkait dengan perempuan, sebagian besar dilakukan oleh para ulama laki-laki. Tentu saja, ada bias atas sudut pandang tersebut. Akibatnya, banyak tafsir yang bernada peyoratif terhadap perempuan pada satu persoalan yang menyangkut dirinya. Hasilnya akan berbeda jika para ulama perempuan terlibat dalam proses tafsir atas ajaran-ajaran Islam, dengan mengedepankan sudut pandang mereka. 

Catatan sejarah memang hanya memunculkan sedikit ulama perempuan. Pada era kenabian pun para perawi hadits juga didominasi laki-laki. Hadits yang banyak terkait dengan perempuan banyak diriwayatkan oleh keluarga Rasulullah yang perempuan. Situasi sosial saat itu memang tidak memungkinkan perempuan sebebas laki-laki dalam bergerak sehingga peran-perannya kurang terdokumentasi oleh sejarah. Revolusi sosial memberi ruang bagi perempuan untuk bergerak sebagaimana laki-laki. Dengan demikian, peran yang sebelumnya tertutup bagi mereka, kini bisa dijangkau. Tinggal mereka secara personal memiliki kapasitas apa tidak untuk menduduki posisi tersebut. Peran mereka dalam bidang keilmuan agama juga terbuka lebar.

Panduan-panduan agama bagi perempuan kini menjadi tuntunan yang ditunggu banyak orang mengingat adanya perubahan situasi sosial yang cepat. Banyak perempuan kebingungan bagaimana berperan sebagai sesuai kodratnya dengan baik. Tuntunan klasik melarang perempuan keluar rumah kecuali ditemani muhrim. Sementara situasi saat ini mengharuskan perempuan untuk keluar rumah guna meraih pendidikan, bekerja guna memenuhi kebutuhan rumah tangga, atau hal-hal lainnya. Ini merupakan contoh kecil.

KH Wahid Hasyim ketika menjadi menteri agama membuat kebijakan revolusioner yang memungkinkan perempuan menjadi hakim. NU juga telah memutuskan bahwa perempuan berhak menjadi pemimpin. Masih ada persoalan-persoalan lain yang menunggu keputusan yang bijak sesuai kondisi zaman. Dalam banyak retorika yang disampaikan pada berbagai pidato, sering disampaikan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama di hadapan Allah, tapi dalam realitas kehidupan sehari-hari, relasi yang setara tersebut belum terwujud dengan baik. 

Munculnya para ulama perempuan merupakan buah dari terbukanya akses pendidikan bagi perempuan. Dengan kapasitas keilmuan yang tinggi, mereka mampu menjadi ahli dalam berbagai bidang agama, seperti tafsir, hadits, fiqih, dan lainnya. Jurusan-jurusan tertentu di perguruan tinggi Islam kini juga telah didominasi oleh mereka yang berjenis kelamin perempuan. Jika melihat kecenderungan ini, jumlah ulama perempuan akan semakin banyak. Tafsir agama yang selama ini sangat maskulin akan menjadi lebih ramah terhadap kebutuhan para perempuan.

Ulama perempuan, memiliki tugas untuk membuat tafsir yang moderat tentang peran perempuan. Tafsir konservatif atas perempuan menempatkan kaum hawa sebagai makhluk yang terkungkung, yang menjadi penyebab fitnah, yang nantinya akan mendominasi jumlah penghuni neraka. Dalam sisi yang ekstrem, Islam juga tidak menempatkan perempuan sebagaimana ideologi kelompok feminis liberal yang membolehkan segala hal, asal suka. 

Bersikap ekstem memang mudah, baik ekstem ke kiri atau ke kanan, tetapi berada di tengah-tengah atau moderat bukanlah hal yang mudah karena memerlukan argumentasi yang kuat. Di tengah, berarti juga menjadi hal yang disalahkan oleh mereka yang konservatif atau yang liberal. Dorongan untuk memajukan kaum perempuan kini begitu bergelora, jangan sampai semangat tersebut menjadi ekstrem. Nilai-nilai Islam memberi panduan di tengah-tengah perubahan yang sangat cepat ini. 

Tak mudah untuk menjadi perempuan saat ini. Pada satu sisi, ada peluang besar untuk berada di ruang publik dengan kapasitas pendidikan yang mereka miliki, tetapi nilai-nilai tradisional perempuan sebagai penjaga keluarga membuat mereka memiliki tugas berat. Menjalani peran-peran di dunia publik dan ketika kembali ke rumah, menjalani peran sebagai pengatur kehidupan keluarga. Dinamika untuk mencapai keseimbangan yang ideal ini membutuhkan waktu. Tapi kecenderungan yang ada membawa kita pada sikap yang optimistik. (Achmad Mukafi Niam)