Risalah Redaksi

Menolak Kebijakan Impor Beras yang Rugikan Petani

Ahad, 21 Maret 2021 | 06:30 WIB

Menolak Kebijakan Impor Beras yang Rugikan Petani

Masyarakat sudah berulang kali dihadapkan pada kebijakan yang mengatasnamakan rakyat, tapi ujung-ujungnya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Masyarakat dikejutkan dengan keputusan pemerintah untuk melakukan impor beras di saat panen raya sedang berlangsung. Harga gabah di tingkat petani di beberapa daerah pun dikabarkan anjlok. Di antara lembaga pemerintahan pun terjadi silang pendapat. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian berpendapat, impor diperlukan untuk menjaga cadangan minimal beras 1-1,5 juta ton sementara Kementerian Pertanian menyampaikan bahwa jumlah produksi mencukupi. Hal yang sama disampaikan oleh Bulog yang menyampaikan akan mengutamakan serapan gabah petani serta masih ada sisa beras impor tahun 2018.

 

Menteri Perdagangan M Lutfi menyatakan stok beras yang dimiliki oleh Bulog saat ini berada dalam posisi terendah dalam sejarah. Ketersediaan stok untuk keamanan beras seharusnya berada pada angka 1-1,5 juta ton. Namun, menurut Lutfi per Maret 2021 jumlahnya kurang dari 500 ribu ton. Ia menyampaikan, beras turun mutu dari tahun 2018 berjumlah 270 ribu ton sementara yang sudah dikatakan jelas turun mutunya berjumlah 160 ribu ton sehingga ada tambahan 120 ribu ton. Dengan demikian, jika persediaan Bulog berjumlah 800 ribu ton dan dikurangi 300 ribu ton, maka persediaan hanya sekitar 500 ribu ton. Hingga kini, serapan yang bisa dilakukan oleh Bulog hanya 85 ribu ton, padahal seharusnya jumlah yang bisa diserap mencapai 400-500 ribu ton supaya mencapai standar simpanan 1 jutaan. Lutfi berpendapat, serapan Bulog rendah karena ada ketentuan yang melarang pembelian gabah basah.

 

Kepala Bulog Budi Waseso menyampaikan, sejauh ini, stok beras Bulog mencapai 883.585 ton dengan komposisi Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang digunakan untuk tujuan darurat pangan, gejolak harga dan darurat bencana sebesar 859.887 ton sedangkan cadangan beras komersial sebesar 23.708 ton. Dengan demikian, jika panen raya ini berlangsung dengan baik, maka cadangan pemerintah akan berada di atas 1 juta sehingga tidak diperlukan impor.

 

Selanjutnya, Buwas juga menyampaikan, masih terdapat sisa beras impor tahun 2018 sebesar 275.811 ton yang belum tersalurkan. Dari jumlah tersebut, 106.642 ton turun mutu. 

 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras pada 2020 lebih tinggi dibandingkan dengan 2019. Untuk tahun 2021, BPS memperkirakan adanya potensi peningkatan produksi subround (empat bulanan) Januari-April 2021 dengan jumlah 25,37 juta ton gabah kering giling (GKG). Jumlah tersebut mengalami kenaikan sebesar 5,37 juta ton atau setara dengan 26,88 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020 sebesar 19,99 juta ton GKG.

 

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyatakan berdasarkan prognosa neraca pangan pokok, sampai dengan Mei 2021, ketersediaan pangan diperkirakan cukup dengan surplus 12,56 juta ton. Ia menyampaikan, hingga pekan kedua Maret 2021, stok beras nasional mencapai 6,79 juta ton yang tersebar di gudang Bulog, penggilingan, pedagang, atau tempat lainnya.

 

Rencana impor ini menyebabkan para pedagang tidak mau lagi membeli secara langsung dari petani, kecuali harga diturunkan karena kekhawatiran, ketika beras impor datang, harga akan turun. Dalam situasi seperti ini, yang paling dirugikan adalah petani. Bayangan pendapatan yang lumayan tiba-tiba sirna karena kegaduhan akibat kebijakan elit yang tidak memahami kondisi sosial para petani.

 

Dari berbagai kontroversi yang muncul, maka persoalan akurasi data di antara lembaga pemerintah menyebabkan adanya karut marut kebijakan. Namun, jika koordinasi berjalan dengan baik, hal tersebut seharusnya tidak terjadi.

 

Urusan impor beras ini melibatkan banyak pemangku kepentingan. Kementerian Pertanian bertanggung jawab atas produksi, Bulog bertanggung jawab atas cadangan beras, sementara  Kementerian Perdagangan bertanggung jawab memastikan ketersediaan bahan pangannya. Kebijakan impor ini berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Ekonomi. Sayangnya dalam konteks ini, kementerian koordinator ekonomi ini lebih banyak terdiam.

 

Gubernur Jatim, Jateng, dan Jabar yang daerahnya menjadi pusat produksi beras juga sepakat menolak kebijakan tersebut. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj juga secara tegas menolak impor beras.

 

Wajar jika publik curiga jika ada permainan di balik kebijakan impor beras. Jika untung per kilo beras yang diimpor sebesar 1.000 rupiah, maka total keuntungan mencapai 1 triliun. Siapa yang tidak tergiur dengan uang sebesar itu?

 

Masyarakat sudah berulang kali dihadapkan pada kebijakan yang mengatasnamakan rakyat, tapi ujung-ujungnya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Belum lama, terdapat kontroversi soal ekspor bibit lobster dengan alasan untuk menyejahterakan nelayan, namun fakta yang muncul setelah adanya tangkap tangan oleh KPK menunjukkan adanya kepentingan orang tertentu yang ingin mencari rente di balik ekspor tersebut. Sebelumnya, juga pernah geger kasus impor daging sapi yang melibatkan pimpinan puncak sebuah partai.

 

Berbagai persoalan yang menyangkut impor beras ini perlu diselesaikan dengan perbaikan sistem. Jangan sampai terulang kembali di masa depan karena menyangkut nasib jutaan petani yang selama ini telah berkorban menyediakan pangan. DPR perlu membentuk pansus impor pangan untuk menyelidiki berbagai praktik impor pangan serta memberi solusi atas karut marut koordinasi yang tidak berjalan baik dari berbagai lembaga negara terkait. Juga perlu adanya investigasi kemungkinan adanya para pencari rente yang mengorbankan petani ini. (Achmad Mukafi Niam)