Risalah Redaksi

Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat dengan Persaingan Usaha yang Sehat

Ahad, 25 Oktober 2020 | 10:00 WIB

Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat dengan Persaingan Usaha yang Sehat

Persaingan usaha yang sehat mendorong efisiensi ekonomi yang menguntungkan, baik kepada produsen maupun kepada konsumen secara umum.

Kelompok usaha besar yang dimiliki oleh segelintir orang telah mendominasi perekonomian Indonesia atas jutaan usaha mikro, kecil, dan menengah. Akibatnya, kesenjangan ekonomi terus saja berlangsung. Menurut survei dari Tim Nasional Percepatan Penaggulangan Kemiskinan (TNP2K), satu persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Pola persaingan bebas yang berlaku saat ini hanya akan menguntungkan pemain-pemain ekonomi besar sementara jutaan rakyat kecil hanya akan menjadi korban.


Indonesia sebenarnya menganut sistem ekonomi Pancasila yang merupakan pengejawantahan dasar negara dalam bidang ekonomi. Tujuan sistem ekonomi Pancasila menurut Arif Budimanta adalah untuk menciptakan kehidupan perekonomian yang berdasarkan asas kekeluargaan, menguatkan posisi usaha rakyat dalam kehidupan perekonomian; terciptanya ekosistem usaha yang adil; pemanfaatan sumber daya alam dan energi sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat; serta terpenuhinya hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun, implementasi nilai-nilai tersebut dalam perekonomian belum dapat dilaksanakan dengan baik. Dominasi pemain besar secara nyata dirasakan oleh masyarakat, sementara para pengusaha UMKM kesulitan untuk tumbuh dan berkembang. 


Sistem ekonomi Pancasila tidak melarang adanya persaingan. Tidak ada masyarakat yang sepenuhnya bersaing secara sempurna atau sepenuhnya bekerja sama. Titik keseimbangannya adalah pada kompetisi dan kerja sama, yang dilakukan secara sehat dan adil sehingga menguntungkan bagi kemajuan individu maupun kesejahteraan kelompok. Negara juga memiliki hak monopoli atas sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kebijakan politik ekonomi di Indonesia didasarkan pada pasal 33 UUD 1945 yakni, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Dari sini dapat diartikan bahwa setiap pelaku usaha memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam usaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dalam ekonomi pasar yang wajar. Kekuatan permintaan dan penawaran dalam pasar diakui sejauh berjalan dengan mekanisme yang normal.


Sayangnya, mekanisme pasar seringkali terdistorsi karena faktor monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat seperti kartel, diskriminasi harga, pemboikotan pelaku usaha lain, perjanjian tertutup, kontrol rangkaian proses produksi dan pemasaran, koordinasi penetapan harga, predatory pricing, predatory condust, dan lainnya. Pengaturan pasar dilakukan oleh para pemain besar untuk mempertahankan dominasinya. Karena itu, dibutuhkan pengaturan dan pengawasan oleh pemerintah agar terwujud persaingan yang sehat dan adil, supaya tidak terjadi homo homini lupus, yaitu manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya, yang dapat diinterpretasikan sebagai pihak yang besar atau yang kuat memakan yang kecil dan lemah. 


Saat ini telah terdapat UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU tersebut mengamanatkan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk melakukan pengawasan atas praktik-praktik usaha tidak sehat atau monopoli. Selama 20 tahun keberadaannya, lembaga ini telah menghasilkan 349 putusan perkara. Sebanyak 56 persen upaya keberatan di Pengadilan Negeri dimenangkan KPPU, keberatan di tingkat Mahkamah Agung sebanyak 58% dan sebanyak 80% upaya peninjauan kembali dimenangkan KPPU. 


Namun demikian, terdapat sejumlah kendala yang menjadi hambatan bagi KPPU untuk menjalankan tugasnya seperti tiadanya kewenangan penggeledahan; tidak ada akses data karena alasan kerahasiaan perusahaan; atau tidak dapat memaksa kehadiran pelaku usaha atau saksi. Pada akhirnya, KPPU tergantung pada instansi pemerintah lain untuk menjalankan tugas dan wewenang tertentu sehingga hasil yang dicapai tidak selalu sesuai dengan harapan. Hal ini berbeda dengan beberapa komisi persaingan usaha di negara lain yang memiliki wewenang penggeledahan seperti yang terjadi di Australia, Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Dengan demikian, mereka lebih mampu menjalankan tugas dan wewenangnya ketika terdapat indikasi persaingan usaha yang tidak sehat. 


Persoalan persaingan usaha terus mengalami perkembangan seiring dengan perubahan lingkungan usaha. Dalam riset yang diselenggarakan oleh KPPU bersama dengan Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) (2020), ditemukan bahwa terdapat faktor tumpang tindihnya regulasi antara kewenangan KPPU dan instansi lain untuk mengaturnya. Misalnya dalam industri mocaf (tepung singkong), pemerintah berusaha menstimulasi sektor industri rakyat ini. Persoalan muncul ketika produksi mocaf dikenai PPn 10% sementara impor gandum dibebaskan dari pajak. Hal ini merupakan ketidakadilan yang akhirnya mematikan industri mocaf karena tidak mampu bersaing. 


Temuan lain adalah berkembangnya ekosistem bisnis yang dimiliki oleh kelompok bisnis tertentu. Satu kelompok usaha memiliki banyak lini bisnis seperti keuangan, properti, media, eceran, dan lainnya yang saling mendukung satu sama lainnya dalam satu ekosistem. Bidang keuangan mampu memberi pinjaman modal untuk propertinya, sementara bisnis medianya membantu mempromosikan produk-produknya. Mereka menguasai sektor usaha dari hulu sampai ke hilir, dari produksi sampai distribusi. Akhirnya, sekalipun secara ukuran tidak masuk kategori monopoli, kelompok usaha tersebut mampu menguasai pasar yang besar. Usaha-usaha kecil yang mencoba masuk untuk menjadi subkontraktor dalam proyek bisa tidak mampu bersaing karena hampir semua hal ditangani sendiri.  Hal tersebut di luar kewenangan KPPU untuk mengaturnya. 


Perkembangan teknologi digital membentuk sebuah pasar yang mana terdapat sedikit pemain yang menjadi penguasa pasar dengan persentase yang sangat besar seperti terjadi dalam bidang sektor mesin pencarian di internet, belanja daring, atau aplikasi digital tertentu. Para pemain dominan susah dikalahkan oleh usaha rintisan baru. Sudah selayaknya jika persaingan usaha dalam bidang digital juga diatur untuk mendorong persaingan yang sehat, yang memungkinkan usaha-usaha rintisan yang melakukan berbagai inovasi untuk dapat berkembang.  


Persaingan usaha juga perlu dilihat dalam konteks global, regional, maupun nasional. Perusahaan global yang beroperasi di Indonesia memiliki kemampuan bersaing yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan lokal mengingat mereka memiliki dukungan sumber daya global baik keuangan, riset dan pengembangan, keahlian pemasaran, dan lainnya. Jika diserahkan kepada mekanisme pasar, peluang pemain lokal untuk tumbuh dan berkembang sangat sulit.


Berbagai dinamika dalam dunia usaha tersebut perlu mendapatkan perhatian lebih dari rakyat Indonesia untuk mendorong terjadi persaingan usaha sehat dan adil. Sayangnya sekalipun menyangkut hajat hidup orang banyak, perundang-undangan dan peraturan terkait dengan bidang ekonomi tidak terlalu menarik perhatian publik. Mungkin hanya pelaku usaha, pemerhati dunia usaha, akademisi atau kelompok kecil lainnya yang benar-benar memahami pentingnya pengaturan yang adil. 


Untuk itu, perlu kiranya undang-undang dan peraturan yang tidak lagi relevan dalam mengatur dunia usaha yang selama ini kurang memberi hasil yang maksimal atau sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang sangat cepat untuk segera diperbaiki. Publik perlu benar-benar mengawal proses tersebut karena tak mudah memperjuangkan aturan yang benar-benar prorakyat mengingat banyak kepentingan dari usaha besar yang ingin mengamankan posisinya. Persaingan usaha yang sehat mendorong efisiensi ekonomi yang menguntungkan, baik kepada produsen maupun kepada konsumen secara umum. (Achmad Mukafi Niam)