Risalah Redaksi

Pasang Surut Hubungan NU-Pemerintah dan Sikap Kritis yang Terus Terjaga

Ahad, 20 Februari 2022 | 20:00 WIB

Pasang Surut Hubungan NU-Pemerintah dan Sikap Kritis yang Terus Terjaga

Pasang Surut Hubungan NU-Pemerintah dan Sikap Kritis yang Terus Terjaga

Muktamar ke-29 NU di Cipasung tahun 1994 menjadi catatan paling buruk ketika pemerintah berusaha sekuat tenaga, termasuk dengan mengerahkan panser dan tentara, untuk mencegah terpilihnya Gus Dur sebagai ketua umum. Presiden Soeharto tidak ingin sikap oposisi sangat kuat yang ditunjukkan oleh Gus Dur mengganggu pemerintahannya dan menghalangi ambisi pribadinya menjadi presiden pada pemilu berikutnya.

 

Gus Dur merupakan tokoh yang sangat berani menyuarakan kebenaran di tengah otoritarianisme Orba. Pada era kepemimpinan Gus Dur, NU sudah tidak lagi menjadi partai politik, yang secara resmi diputuskan dalam Khittah 1926. Namun demikian, keputusan dan kebijakan NU tetap memiliki pengaruh kuat, bahkan lebih diperhitungkan dibandingkan dengan partai politik karena puluhan juta pengikut NU akan mematuhi keputusan organisasi. Hingga kini pun, kekuatan NU sangat diperhitungkan oleh pemerintah atau kekuatan politik lainnya.

 

Dalam perjalanannya melintasi berbagai zaman, hubungan NU dengan pemerintah cukup dinamis. Pada satu saat, hubungan tersebut sangat akrab, namun di waktu dan rezim yang berbeda NU menjadi pengkritik yang tangguh. Secara umum, ajaran Sunni yang dianut NU memiliki pandangan kooperatif terhadap pemerintah karena keberadaan pemerintahan, bagaimana pun kondisinya, jauh lebih baik dibandingkan dengan ketiadaan pemerintahan yang berpotensi menimbulkan kekacauan. Namun, betapapun dekatnya, NU juga memberikan kritik yang konstruktif.

 

Pada masa Orde Lama, NU menjadi bagian dari garda terdepan dalam mempertahankan negara yang masih mencari bentuk. Pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kartosuwiryo berkobar di Jawa Barat dan berbagai tempat di Indonesia. Beberapa tokoh Masyumi juga terlibat dalam pemberontakan PRRI. Kepemimpinan Soekarno juga belum diakui sepenuhnya oleh sebagian umat Islam. Dalam konteks itu, NU memberi gelar waliyyul amr al-daruri bi al-syaukah kepada Presiden Soekarno sebagai legitimasi bahwa kepemimpinannya diterima umat Islam.

 

Toh, di masa-masa akhir kekuasaan Orde Lama, anak-anak muda NU radikal di bawah kepemimpinan Subhan ZE bersikap sangat kritis kepada pemerintah karena kekacauan ekonomi dan situasi politik yang tidak kondusif pasca G30S PKI. Salah satu tuntutannya adalah pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Orde Lama pun akhirnya runtuh.

 

Selama rezim Orde Baru yang otoriter, boleh dikata hubungan NU dan pemerintah dalam situasi yang buruk. NU sebagai partai politik digabungkan dalam PPP dalam kebijakan fusi partai. Namun dalam partai tersebut pun, ada rekayasa supaya tokoh-tokoh NU tidak mendapat posisi strategis. Salah satu contoh penentangan NU kala itu adalah RUU Perkawinan yang sekuler sampai akhirnya diubah seperti sekarang ini yang memasukkan nilai-nilai agama. Puncak sikap kritis NU kepada pemerintah terjadi pada masa kepemimpinan Gus Dur yang kemudian turut meruntuhkan rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun.

 

Memasuki era Reformasi, hubungan NU dengan beberapa pemerintahan dapat dikatakan cukup dekat, apalagi ketika KH Abdurrahman Wahid menjadi presiden, NU memberikan dukungan penuh kepada presiden pertama yang berasal dari lingkungan pesantren ini. Presiden lainnya pun, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo membangun hubungan yang baik dengan NU. Kini, tokoh NU KH Ma’ruf Amin menjadi wakil presiden.

 

Beberapa hal yang membuat NU semakin diperhitungkan adalah jumlah warganya yang sangat besar, kualitas sumber daya manusia yang dari waktu ke waktu terus meningkat, dan ancaman kelompok Islam transnasional serta Islam radikal. Kelompok-kelompok Islam tersebut secara terus menerus berusaha ingin mengubah ideologi negara atau mengganggu keamanan. NU menjadi mitra pemerintah dalam menjaga Islam yang moderat di Indonesia. Sejarah panjang NU membuktikan bahwa NU memiliki komitmen kuat untuk menjaga paham kebangsaan Indonesia.

 

Sekalipun memiliki hubungan dekat, NU tidak secara otomatis mengiyakan seluruh kebijakan pemerintah. Beberapa kritik dilancarkan para pemimpin NU atas kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat. Ketimpangan ekonomi terus disuarakan. Upaya pencegahan korupsi dan penghapusan ketidakadilan menjadi bagian dari sikap perjuangan NU.

 

Salah satu sikap keras yang disuarakan oleh NU adalah rencana pemerintah untuk mengubah waktu sekolah dari enam menjadi lima hari yang dapat menyebabkan matinya madrasah diniyah NU. Beberapa waktu lalu, NU juga menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang berusaha menafsirkan ulang Pancasila menjadi trisila dan ekasila.

 

Rais Aam PBNU KH Sahal Mahfudh dalam rapat pleno di Wonosobo tahun 2013 menyampaikan bahwa politik NU adalah politik tingkat tinggi, yaitu politik kebangsaan, bukan politik praktis untuk perebutan kekuasaan. Pernyataan ini merupakan penegasan dari sikap-sikap sebelumnya yang sudah diambil oleh NU. Sikap tersebut juga menjadi panduan dalam mengelola NU saat ini dan di masa depan. Sikap NU didasarkan pada kepentingan bangsa, bukan kepentingan dengan pertimbangan posisi politik.

 

Posisi NU sebagai mitra strategis yang kritis terhadap pemerintah sangat diperlukan mengingat adanya persoalan-persoalan bangsa dan negara yang membutuhkan perhatian. Ada banyak kebijakan yang tidak tepat atau perlu disempurnakan sekalipun sudah melalui kajian dan melibatkan para ahli yang kompeten. Ada banyak kepentingan rakyat banyak yang mesti diperjuangkan dari dominasi oligarki kekuasaan.

 

Tidak semua aparat pemerintah merupakan malaikat yang memiliki tujuan mulia untuk membangun dan menyejahterakan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Para pejabat tetaplah manusia yang rawan mengalami kesalahan-kesalahan kognitif atau memendam motif-motif pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan umum. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2021 yang berada pada angka 38 dari skala 0-100 adalah bukti betapa parahnya tingkat korupsi di Indonesia. Indikator-indikator lain yang dirilis oleh lembaga internasional juga menunjukkan berapa besarnya pekerjaan rumah di Indonesia.

 

NU memiliki peran penting untuk mengawal jalannya pemerintahan ini tetap berada pada jalurnya. Hal ini juga ditegaskan oleh kaidah fiqih yang dipegang NU bahwa mencegah kerusakan lebih baik daripada mengambil manfaat. Sikap kritis terus disampaikan, tentu dengan berbagai seni komunikasinya. (Achmad Mukafi Niam)