Risalah Redaksi

Rp405,1 Triliun untuk Covid-19: Harus Cepat dan Akurat!

Ahad, 5 April 2020 | 05:00 WIB

Rp405,1 Triliun untuk Covid-19: Harus Cepat dan Akurat!

Indonesia punya pengalaman kasus penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis ekonomi tahun 1998. Ratusan triliun uang negara dirampok oleh orang-orang kaya.

Sejak kasus pengumuman ditemukannya Corona di Indonesia pada 3 Maret 2020, jumlah korban akibat pandemi Covid-19 dari hari ke hari terus bertambah dan kita tidak tahu sampai kapan wabah ini akan berakhir. Aktivitas usaha semakin sepi karena para karyawan bekerja dari rumah atau masyarakat menghindari keluar dari rumah, kecuali untuk keperluan mendesak. Para pekerja informal dan buruh harian sudah mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya mengingat pendapatan yang menurun atau bahkan berhenti sama sekali. Semakin lama situasi ini berlangsung, semakin banyak orang yang menderita.

Dalam upaya untuk membantu masyarakat, pemerintah telah meluncurkan paket stimulus sebesar Rp405,1 triliun yang dibagi dalam beberapa bidang. Sebanyak Rp75 triliun untuk dana kesehatan, Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial, Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan, dan Rp150 triliun lainnya untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan usaha.  

Dana senilai Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial disalurkan dalam Program Keluarga Harapan (KPH) kepada 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Jumlah bantuan yang diberikan nilainya dinaikkan 25 persen dalam setahun. Penerima Kartu Sembako juga dinaikkan jumlahnya dari 15,2 juta rumah tangga menjadi 20 juta dengan nilai manfaat Rp200 ribu per bulan selama 9 bulan. Jumlah tersebut naik sebesar 33,33 persen dari sebelumnya hanya Rp150 ribu per bulan. 

Para pekerja informal mendapat insentif dari kartu prakerja yang jumlah anggarannya naik dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun. Sebanyak 5,6 juta pekerja informal, pelaku usaha mikro dan kecil akan mendapatkan insentif manfaat sebesar Rp600 ribu pascapelatihan dengan biaya pelatihan Rp1 juta. Selanjutnya, pemerintah memberikan dukungan logistik dan sembako dan kebutuhan pokok lainnya sebesar Rp25 triiliun.

Jumlah Rp405,1 triliun tersebut terlihat besar, tetapi ketika didistribusikan kepada para penerima, menjadi tak seberapa. Kapasitas pemerintah Indonesia tidak sebesar negara-negara maju yang memiliki sumber daya besar dalam memberikan stimulus untuk menangani wabah ini. Dengan keterbatasan ini, maka ketepatan dan kecepatan penyalurannya menjadi kunci keberhasilan stimulus ini. Jangan sampai dana tersebut dihambur-hamburkan atau ditumpangi tujuan tertentu oleh para politisi untuk meraih simpati masyarakat bahwa dana tersebut merupakan jerih payahnya. Kejadian seperti itu merupakan pola lama yang berulang kali dipakai. 

Potensi distorsi penerima manfaat dapat muncul ketika aparat pemerintah di tingkat RT dan RW memasukkan nama orang-orang secara tidak akurat. Saat ada bantuan dari pemerintah, banyak orang tiba-tiba mengaku miskin, padahal masuk golongan mampu. Oknum aparat bisa saja memasukkan nama yang dikenalknya sebagai penerima manfaat sementara orang yang benar-benar membutuhkan malah terlupakan. 

Kerugian negara yang lebih besar dapat terjadi ketika para pengusaha besar, yang melakukan kongkalikong dengan oknum pejabat memanfaatkan situasi krisis untuk kepentingan pribadi. Hal ini pernah terjadi dalam penanganan krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 berupa penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ratusan triliun rupiah uang negara dirampok oleh orang-orang kaya dan rakyat harus menanggung cicilan utang selama bertahun-tahun kemudian.

Karena itu, kontrol publik terhadap program ini harus dilakukan untuk memastikan bahwa program tersebut berjalan sesuai dengan sasaran yang dimaksudkan. Jangan sampai yang berhak malah tidak menerima bantuan. Jangan sampai kita berusaha menyelesaikan masalah tetapi malah menimbulkan masalah baru berupa kasus korupsi yang menimpa para pejabat pelaksana program. 

Terkait dengan akurasi data, pemerintah dapat membuat daftar yang menerima manfaat jaring pengaman sosial yang diumumkan di tingkat RT atau RW seperti pengumuman daftar pemilih saat pemilu. Dengan demikian, setiap orang dapat mengontrol, apakah ada orang yang tidak layak tapi kemudian menjadi penerima bantuan. Di sisi lain, masyarakat dapat mengusulkan, orang-orang yang sebetulnya berhak, tapi kemudian terlewatkan sebagai penerima bantuan. Selain diumumkan di tingkat kelurahan atau desa, nama-nama penerima manfaat juga diumumkan secara daring sehingga siapa pun dapat mengontrol ketepatan data tersebut.

Persoalan lain adalah, belum jelasnya waktu penyaluran stimulus. Masyarakat sudah menunggu-nunggu bantuan tersebut karena kebutuhan yang sudah sangat mendesak untuk mengurangi kesengsaraan. Bagi masyarakat miskin yang sebelumnya sudah hidup dalam penderitaan. Pukulan ekonomi saat ini telah membuat mereka terhuyung-huyung akibat beratnya beban yang mereka tanggung. Penundaan atau keterlambatan menambah hari-hari penuh kepedihan yang harus mereka jalani.
 
Stimulus ekonomi merupakan bagian penyelesaian dari pandemi Covid-19, namun permasalahan kesehatan yang menjadi hulu dari berbagai persoalan harus mendapatkan prioritas. Efektivitas pencegahan dan penanganan korban Covid-19 menentukan manfaat stimulus ekonomi. Seberapa pun besarnya stimulus ekonomi, tetapi jika penanganan kesehatannya kurang efektif, maka hasilnya kurang maksimal. Masyarakat akan tetap takut untuk melakukan aktivitas secara normal. Dengan demikian, kebijakan yang komprehensif dan koordinasi yang baik antar berbagai bidang yang terkait akan meminimalisir dampak wabah Covid-19 ini. Jika terjadi kesalahan kebijakan dan penanganan, lagi-lagi rakyat miskin yang akan terdampak paling besar. (Achmad Mukafi Niam)