Risalah Redaksi

Upaya NU Mengelola Sektor Kelautan dan Perikanan

Ahad, 21 Juni 2020 | 11:30 WIB

Upaya NU Mengelola Sektor Kelautan dan Perikanan

Dalam upaya memperhatikan sektor perikanan dan kelautan, Nahdlatul Ulama telah membentuk badan otonom baru bernama Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU).

Sejak Presiden Abdurrahman Wahid membentuk kementerian yang secara khusus menangani sektor kelautan dan perikanan pada tahun 1999 yang waktu itu bernama Departemen Eksplorasi Laut, secara bertahap, isu-isu kemaritiman semakin mendapat perhatian publik.  Kini bahkan telah terdapat menteri koordinator sektor maritim dan yang digabung dengan sektor investasi. 


Sektor kelautan dan perikanan juga telah menjadi isu publik yang cukup mengemuka yang seringkali menimbulkan kontroversi seperti soal kebijakan ekspor bibit lobster, penggunaan cantrang, penenggelaman kapal asing, impor garam, dan lainnya. Isu-isu terkait dengan sektor maritim menyangkut kepentingan banyak pihak seperti kepentingan ekonomi dan lingkungan; kelompok nelayan kecil dan besar; asing dan nasional; dan kepentingan lain yang kadang kala bertentangan. 


Indonesia dapat mencontoh negara lain yang berhasil mengelola sektor maritimnya seperti Jepang atau Norwegia. Mereka menerapkan kebijakan berkelanjutan yang mempertimbangkan aspek ekonomi sekaligus kelestarian. Norwegia mendapat tentangan dari nelayan dan negara tetangganya ketika menerapkan kebijakan penangkapan hasil laut secara ketat, namun dalam jangka panjang, hasil tangkapan ikannya meningkat drastis setelah sebelumnya dieksploitasi habis-habisan. Sayangnya di Indonesia, kebijakan tergantung pada menteri yang sedang menjabat. Ketika menteri berganti, kebijakan baru digulirkan sehingga tidak ada kesinambungan. 


Kesadaran bahwa Indonesia merupakan negara maritim sudah ditanamkan sejak dini pada anak-anak,  namun sekalipun sudah ada kemajuan kebijakan negara masih jauh dari memadai daripada potensi yang ada. Akibatnya, mereka yang menekuni sektor maritim masih menjadi kelompok marginal. Banyak nelayan masih hidup dalam kemiskinan sepanjang hidup mereka, yang dilanjutkan oleh generasi berikutnya sehingga menciptakan lingkaran setan kemiskinan yang tak berujung pangkal. Tanpa upaya intervensi yang lebih baik dari pemerintah, kelompok ini akan mengalami kesulitan memperbaiki kehidupannya. 


Dalam upaya memperhatikan sektor perikanan dan kelautan, Nahdlatul Ulama telah membentuk badan otonom baru, yaitu Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU) sebagai organisasi yang memayungi para nelayan dan pelaku usaha sektor maritim NU. Organisasi baru ini merupakan amanat muktamar ke-34 NU di Jombang 2015. Ada banyak persoalan berkait sektor ini yang menyangkut hajat hidup jutaan orang yang bergerak dalam bidang tersebut yang perlu mendapatkan perhatian. 


Memperbaiki kehidupan nelayan ini akan menjadi salah satu amanat yang harus dilaksanakan oleh SNNU. Para nelayan hidup dalam kemiskinan bukan karena mereka malas, tetapi negara abai terhadap sektor ini. Sebagai contoh, dari total anggaran negara 2020 hasil revisi, jumlahnya sebesar 2.613,8 triliun. Namun, anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2020 hanya 4,6 triliun dari sebelumnya 6,47 triliun yang dipotong karena Covid-19. Jumlah ini bahkan mengalami penurunan dari anggaran tahun sebelumnya yang mencapai 11 triliun. Jika dibandingkan dengan anggaran yang dialokasikan ke Kementerian Pertanian, apa yang diperoleh KKP sangat njomplang karena Kementerian Pertanian mendapat anggaran sebesar 21,05 triliun, yang kemudian direvisi menjadi 14,04 triliun karena Covid-19.


Besaran anggaran ini menunjukkan negara belum berpihak pada sektor perikanan dan kelautan. Sektor ini tidak akan mampu melakukan percepatan untuk bisa setara, apalagi melampaui sektor-sektor lainnya. Jika keberpihakan negara masih minimal, kesejahteraan para nelayan belum akan banyak berubah sebagaimana dicita-citakan. Potensi kelautan yang sangat besar hanya teronggak atau dikeruk oleh pihak asing. Konsolidasi pemangku kepentingan di sektor maritim akan meningkatkan daya tawar untuk mendorong perhatian negara di tahun-tahun berikutnya sehingga mencapai posisi yang setara atau bahkan lebih baik guna mengejar ketertinggalan karena sudah sekian lama tidak mendapatkan perhatian.  


Ada banyak peran lain di luar advokasi kebijakan yang lebih ramah pada sektor maritim yang mampu dijalankan oleh SNNU. Salah satunya adalah sebagai wahana pembelajaran. Ada banyak pengetahuan yang selama ini hanya diketahui secara terbatas oleh para ahli di kampus-kampus yang memiliki jurusan perikanan dan kelautan. Dengan melakukan diseminasi kepada pelaku sektor usaha perikanan, maka akan ada banyak perbaikan. Demikian pula, inovasi teknologi terus berkembang di sektor perikanan dapat diserap dengan cepat jika ada pihak yang menjembatani pemanfaatannya.


Selanjutnya, dengan terbentuknya badan otonom ini, maka  para pemangku kepentingan nelayan di lingkungan NU dapat berdiskusi dan berbagai ide pengembangan sektor maritim. Tradisi kumpul-kumpul yang selama ini sudah dilakukan dapat terkondolidasi menjadi sesuatu yang lebih produktif untuk kepentingan bersama.

Tidak mudah untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di sektor maritim, namun organisasi ini  merupakan langkah baru dari sebuah perjalanan panjang NU dalam bidang kemaritiman. Pembuatan badan khusus ini membuat sektor ini ditangani secara khusus oleh orang-orang yang memiliki minat, keahlian, atau  berkecimpung di bidang itu. Dengan demikian, hasilnya akan lebih maksimal dibandingkan jika hanya menjadi bagian dari badan otonom lainnya.


Skala prioritas yang baik sesuai dengan tantangan organisasi akan bisa menyelesaikan berbagai persoalan secara bertahap.  Prioritas pertama tentunya adalah membentuk kepengurusan SNNU di tingkat wilayah dan cabang di seluruh Indonesia. Pemilihan pengurus yang cepat akan menentukan keberhasilan organisasi karena merekalah yang nantinya akan menggerakkan organisasi. Dengan optimisme, kita yakin apa yang akan dilakukan oleh para aktivis NU di bidang maritim akan mampu memberi dampak besar pada sektor kelautan dan perikanan. (Achmad Mukafi Niam)