Riset BLAJ

Riwayat Ratib Al-Hadad

Sab, 5 Desember 2020 | 13:45 WIB

Riwayat Ratib Al-Hadad

Waktu pembacaan kurang lebih 20 menit. Sesudah Subuh para jamaah membaca Ratib Al-Athas. (Foto: BLAJ)

Pandemi Covid-19 membawa dampak yang signifikan secara global. Tidak hanya di Indonesia, di seluruh dunia pun saat ini terdampak virus yang tidak kelihatan namun mematikan itu. 

 

Musibah ini juga mempengaruhi tradisi pembacaan Ratib Al-Hadad oleh Jamaah Majlis Rotib Ar-Ridho dan warga Centex, Ciracas, Jakarta Timur. Hal itu berdasarkan hasil riset yang didukung Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI tahun 2020 ini.

 

Dalam laporan penelitian Mustika Ayu Rakhadiyanti, berjudul Tradisi Pembacaan Buku Ratib Al-Haddad oleh Warga Ciracas, Jakarta Timur, dengan Naskah Ratibu ‘l-Haddad salinan Encik Yahya: Perbandingan Tekstual dan Kajian Nilai Keagamaan dalam Naskah didapatkan informasi ternyata pada situasi pandemi saat ini tradisi pembacaan Ratib Al-Hadad yang biasa dilakukan keliling mushala satu ke mushala lainnya. Hal itu dilakukan untuk menghindari kerumunan jika dilaksanakan di rumah jamaah masing-masing dalam waktu bersamaan. 

 

Tidak hanya memaparkan pelaksanaan tradisi turun temurun itu, dalam laporan penelitian tersebut juga ditelisik sejarah tentang Ratib Al-Hadad. Menurut laporan tersebut, dalam sebuah hikayat pada masa penulis ratib masih hidup, Raja Tuhmas yang bernama Nadir Syah berniat untuk menyerang dan menaklukkan negeri Aughan.

 

Sultan Aughan (Sultan Sulaiman) menulis surat kepada Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad tentang rencana tersebut dan akhirnya Al-Haddad meminta kepada Sultan Sulaiman sekaligus rakyatnya membaca ratib agar terjaga dari kejahatan Nadir Syah dan tentaranya. Maka atas izin dan penjagaan Allah, Aughan tidak dapat dikuasai. 

 

Dari hikayat di atas, masyarakat Ciracas berharap bisa terjaga dari segala kejahatan, terutama virus. Tentunya  tetap memperhatikan langkah-langkah pencegahan dengan mencuci tangan, menjaga jarak serta memakai masker.

 

Pembacaan ratib ini pun sudah menjadi tradisi yang telah dilakukan turun-temurun hingga tidak diketahui lagi kapan tepatnya tradisi ini dimulai, kemungkinan telah dilakukan sejak zaman penjajahan. 

 

Akan tetapi, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa tradisi ini mulai tersebar berkat keturunan para pedagang muslim Arab dari keluarga besar Bani Alawi yang selain berniaga dengan pulau-pulau seperti Sumatra dan Sulawesi, mereka juga menikah dengan pribumi dan mensyiarkan Islam sekitar tahun 650 Masehi. Keturunan keluarga besar ini pun membentuk klan atau marga, seperti Al-Athas, Assegaf, Al-Habsyi, Al-Haddad, Yahya, dan lain-lain yang hingga kini masih dikenal masyarakat.

 

Dalam kondisi normal sebelum pandemi, pembacaan Ratib Al-Haddad dilakukan setiap sesudah Sholat Maghrib berjamaah. Pembacaan ini tidak memakan waktu lama, kurang lebih 20 menit. Selain itu, sesudah Subuh juga para jamaah membaca Ratib Al-Athas. Namun, hal ini tidak berlaku lagi sejak Corona melanda Indonesia.

 

Para jamaah yang membaca ratib masing-masing membawa buku saku yang halaman pertamanya bertuliskan "Inilah Ratib Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad." Kalimat ini ditulis dalam aksara Jawi Bahasa Betawi.

 

Penulis: Nidhomatum MR
Editor: Kendi Setiawan