Riset BLAJ

Sebelas Tradisi di Jawa Barat dan Banten Sarat Pendidikan Karakter

Kam, 10 Desember 2020 | 23:30 WIB

Sebelas Tradisi di Jawa Barat dan Banten Sarat Pendidikan Karakter

Tradisi nyuguh di Ciamis berfungsi melestarikan nilai dan membentuk kebersamaan, menjaga keseimbangan, akulturasi agama dan adat. (Foto: pikiran rakyat)

Provinsi Jawa Barat dan Banten yang dihuni sebagian besar entitas etnik Sunda memiliki keragaman budaya baik bendawi maupun non bendawi. Kebudayaan ini lahir, hidup dan dihidupi oleh para pelaku budayanya dengan selalu memperhatikan 'jiwa zaman' dan konteks lingkungannya. 


Hal itu terungkap dalam policy brief hasil penelitian Tradisi Lisan sebagai Bahan Ajaran Pendidikan Karakter Siswa yang disusun Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) tahun 2020.

 

Para peneliti mengungkapkan di Sumedang terdapat tradisi Bubur Suro yakni tradisi berbagi dengan sesama yang mengandung nilai-nilai persatuan, gotong royong, dan berbagi pada sesama yang berkembang di wilayah Sumedang. Di Indramayu terdapat tradisi Ngarot yang memiliki nilai menumbuhkan kesadaran akan jasa para leluhur dan alam lingkungan. 


Berikutnya di Ciamis, tradisi Nyuguh untuk melestarikan nilai dan membentuk kebersamaan, menjaga keseimbangan, akulturasi agama dan adat. Di Tasikmalaya ada Hajat Sasih yang merupakan tradisi penghormatan jasa para leluhur dan ungkapan rasa syukur atas anugerah dari Tuhan. Di Garut ada Cikahuripan dan Kawin Cai, tradisi yang bermakna penghormatan kepada alam lingkungan dan ungkapan rasa syukur atas karunia Sang Pencipta. 

 

Ada pula di Bogor tradisi Pongokan yaitu tradisi berbagi dan bersyukur atas segala karunia dari Sang Pencipta. Cimahi memiliki tradisi Tutup Taun dan Ngembang Taun. Ini adalah tradisi yang mengungkapkan rasa syukur atas semua pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Di Cirebon, peneliti mengungkapkan adanya tradisi Haolan atau tradisi mengenang jasa dan peran pendiri kampung dan pondok pesantren yang hingga saat ini masih dilanjutkan. 


Selain itu di Cisungsang ada Cacah Jiwa. Ini adalah tradisi membaca doa sebelum masa tanam padi. Di Kampung Sawah ada Bebasa atau tradisi penghargaan kepada alam lingkugan dengan membaca doa sebelum menebang pepohonan. Ada lagi di Ciherang tradisi Ngembang untuk mengenang jasa dan peran para leluhur dengan berziarah dan membaca doa.


Lebih rinci, dalam policy brief disebutkan, Bubur Suro sebagai tradisi berbagi antarsesama, wujud kesinambungan pengetahuan yang diwariskan para leluhur. Ngarot sebagai pembacaan sejarah lokal dengan variasi Bahasa Sunda Lelea, kemudian ditemukan pula ragam pentas seni yang ditampilkan bersamaan dengan tradisinya.

 

Cikahuripan dan Kawin Cai sebagai upaya menjaga dan memelihara alam lingkungan, manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan manusia dengan tuhannya. Tradisi ini merupakan wujud kesepakatan dua belas kasepuhan yang ada di Garut untuk saling menukar dan mencampurkan air yang bersumber dari mata air kasepuhan masing-masing sebagai ungkapan tanda kasih bagi alam. 

 


Tutup Taun dan Ngemban Taun Baru Satu Saka Sunda sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada yang Maha Kuasa. Haolan Mbah Sholeh sebagai upaya mengenang jasa para sesepuh. Pongokan sebagai tradisi bersedekah sebagai ekspresi antara sesama rasa syukur kepada Allah yang telah menciptakan alam dan memenuhi berbagai hajat dan kebutuhan makhluknya. Hajat Sasih sebagai tradisi berziarah ke makam leluhur sekaligus membersihkan makam para sesepuh. 
 

Nyuguh, yang berfungsi melestarikan nilai dan membentuk kebersamaan, menjaga keseimbangan, akulturasi agama dan adat. Bebasa sebagai penghargaan kepada alam semesta dan Penciptanya dengan melakukan ritual sebelum menebang pohon. Secara psikologis, tradisi ini mengindikasikan ‘ketidakrelaan’ masyarakat untuk menebang pohon dengan menggunakan ritual. 

 

Cacah Jiwa sebagai persiapan dimulainya masa tanam padi. Tradsi ini mengandung nilai-nilai keagamaan yang luhur berupa pembacaan doa kepada Tuhan Yang Kuasa yang dibaca oleh para pelakunya, menyampaikan wasilah kepada leluhur, baik penyebar agama yang mereka anut maupun para leluhur adat dan terakhir Ngembang sebagai tradisi berziarah merupakan sebelas dari sekian banyak tradisi yang masih bertahan dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat dan Banten. 

 

Sifat kebertahanannya didasarkan pada world view (cara pandang) masyarakat bahwa kesebelas tradisi adalah bagian dari kebutuhan hidup (basic need) dan (existence need). Seiring waktu, kebertahanan tradisi ini dilemahkan oleh cara pandang keagamaan eksternal yang dikuatkan oleh para pendukung pelaku internalnya.

 

Nilai utama atau nilai baik dalam tradisi dibantah dengan penilaian normatif keagamaan. Proses ini menciptakan di satu sisi melemahkan tradisi, dan di sisi lain menguatkan konflik kelompok kelompok di dalam komunitas, baik dalam sudut pandang keagamaan maupun dalam sudut sosial budaya pada umumnya. Cara pandang radikal dan perilaku intoleransi terhadap mereka yang berbeda merupakan dampak lanjutan dari proses pelemahan tradisi-tradisi sosial yang ada. 

 

Kajian pada sebelas tradisi (Bubur Suro, Ngarot, Nyuguh, Cikahuripan dan Kawin Cai, Hajat Sasih, Pongokan, Tutup Taun, dan Ngemban Taun, Haolan, Bebasa, Cacah Jiwa, dan Ngembang) berupaya tidak hanya mengungkap praktik ritual lama yang dikenal dalam masyarakat, tetapi juga mendorong adanya upaya transmisi nilai tradisi lama sebagai modal sosial dalam membangun jati diri dan karakter bangsa. Transmisi nilai ini diharapkan menjadi strategi sosial yang dapat dilakukan pemerintah (Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Menko Polhukam, Kepolisian RI) dan para pemangku kebijakan terkait yang memiliki tujuan membangun jati diri dan karakter bangsa.  

 

Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori