Cerpen

Gambar Partai di Rumah Sang Kiai

Ahad, 15 Desember 2019 | 10:28 WIB

Gambar Partai di Rumah Sang Kiai

Ilustrasi https://www.youtube.com/watch?v=zb8zGSP8yj8

Oleh Abdullah Alawi

Matahari masih enggan keluar dari persembunyiaanya. Burung-burung masih  di sarangnya. Sesekali kukuruyuk ayam jantan memecah pagi di sambut  ayam jantan lain. Embun-embun masih bergelayutan pada daun pisang. Sementara di sebuah masjid seseorang masih duduk dengan sila sempurna dan muka tertunduk. Angin pagi menelusup tubuh yang sudah mendekati tua itu. Suara kecipak air yang terus-menerus dari pancuran samping masjid. Ikan-ikannya masih mengheningkan cipta. Orang itu seperti tidak menghiraukannya. Kemudian  dia ikatkan sorban putih di kepalanya. Tampaklah ia seperti wali pada gambar-gambar. Sementara jari tangan kanannya terus meraba biji-biji tasbih satu per satu hingga hitungan tasbih ke-99. kemudian berputar. Berputar lagi. Merayap tapi pasti. Mulutnya melapal. Bibirnya bergetar. Begitu khusu. Dialah kiai Sarkawi. Pemimpin sebuah pesantren besar. Dialah sesepuh kampung. Pengaruhnya cukup besar di mata masyarakat. 

Waktu beranjak siang. Matahari begitu sempurnanya. Cahayanya mengkristalkan embun-embun. Tapi dia masih tetap sila. Seperti malas untuk keluar dari mihrab. Dia merasa ada yang tidak lengkap pagi ini. Seperti kemarin. Kemarinnya. Dan kemarinnya lagi. Dia menunggu. Menunggu Santrinya yang tidak datang-datang. Ada bagian hidupnya yang hilang.

Beberapa bulan yang lalu biasanya setiap pagi masjid itu dipenuhi oleh orang-orang yang membaca kitab. Macam-macam kelakuan santrinya. Ada yang memahami kitab Fathul Muin, ada yang menghapal Alfiayah yang seribu bait. Kalau santri yang masih baru mengahapal kitab Al-ajurumi dan Nadham al-Maqsud. Agar lebih cepat paham, mereka saling bertanya satu sama lain. Ada yang sorogan. Membaca Alquran. Suasana yang kini telah hilang. Suasana yang menyatu dengan masjid itu. Dengan kampung itu. Sekarang dia membuka kitabnya sendiri. Membaca sendiri. Memahami sendiri. Mengajari sendiri. Dia menjadi santri sekaligus kyai bagi dirinya sendiri.

Tapi masjid itu sekarang seperti kehilangan ruhnya. Jamaah masjid pun sekarang berhilangan. Mereka lebih memilih shalat di rumah saja. Jamaah yang berbeda partai tak mau berjamaah. Hanya shalat jumat saja yang tidak berpengaruh. Pondok pesantren pun ditinggalkan santrinya. Mereka berhilangan tanpa sepengatahuan kyai Sarkawi. Atau ke masjid lain. Warga pecah. Kampung itu kehilangan gairah. Ada yang mengafirkan. Yang satu mengkafirkan yang lain. Kampung yang damai berubah mencekam. Saling mencaci dan mencurigai. Terbayang beberapa waktu lalu santrinya disuruh untuk kampanye. Ngaji libur. Hampir bentrok dengan warga yang berbeda partai. Hampir menelan korban. Dan yang paling menyesakkan dadanya setelah peristiwa itu, dia  menjadi renggang dengan kedua anaknya sendiri yang melarangnya untuk berpartai. Kedua anaknya itu sekarang jarang ada di rumah. Padahal dulu keduanya menjadi badal dalam mengajar santri. Mereka Memilih tinggal di rumah mertuanya.

Kemudian tubuh itu bergerak pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari masjid. Dia memandangi bangunan pesantren. Menatapnya penuh haru. Dia ingat perjuangan untuk mendirikan bangunan itu bersama santrinya generasi pertama. Tiap hari membawa pasir dari kali. Membelah batu. Menebang pohon di hutan. Menggergajinya. Membuat bata. Membeli semen. Merangkai behel. Tanpa bantuan pemerintah dan masyarakat. Tak terasa dari sudut matanya keluar air hangat yang membanjiri kerutan-kerutan pipinya. Untuk sementara dia biarkan mengalir semaunya. Matanya jadi kabur. Kemudian dia menyekanya dengan sorban. Kakinya bergerak menuju rumahnya.  Ketika di ambang pintu masuk, dia selintas melihat gambar kecil yang menempel di pintu rumahnya. Tapi dia cepat-cepat masuk. Dia tak menghiraukannya. Di dinding rumahnya, sudut matanya kembali melihat gambar yang serupa tadi. Dia memperhatikannya sebentar. Tapi dia cepat masuk ke perpustakaannya. Dia banyak menghabiskan waktunya di kamar perpustakaannya. Membuka-buka kitab klasik.. 

Kalau isterinya tidak memaksanya makan, dia akan seharian di kamar. Dia jarang makan. Nafsu makannya menguap. Tubuhnya semakin kurus.

***
Di rumahnya ada gambar sebuah partai dalam bentuk kalender. Di kamarnya, di pondok pesanternnya pun dianjurkan menempel gambar atau benderanya. Kecuali di masjid. Di bedug pun ada gambar itu. Kalau ada tamu ke rumahnya, tamu itu sering memperhatikan gambar itu. Tapi dia tak menanyakannya. Meskipun tak sedikit yang mendukung, tak sedikit pula yang sepertinya tak kerasan dengan gambar itu. yang begitu, emudian cepat-cepat berpamitan. 

Belakangan Kiai Syarkawi seperti gusar juga dengan gambar itu. Setelah tamu pergi, dia kadang memerhatikan gambar itu juga. Bahkan, di perpustakaannya kadang tak tak membaca, tapi merenungkan gambar itu. Kadang ia menghubung-hubungkannya dengan apa-apa yang terjadi. Merenungi gambar itu menjadi lebih banyak porsinya dibanding merenungi kitab-kitab. 

“Ada apa  abah? Dari tadi kok menatap gambar itu terus,” tanya satu suara.

Kiai Sarkawi kaget, tapi pura-pura tidak melakukan sesuatu. Tanpa sadar mulut itu bergumam juga. Kata yang sebenarnya tak dikehendakinya.

“Ini, gambar ini.”

“Ini kan gambar partai yang kita dukung pada pemilu kemarin. Yang pimpinannya datang ke pesantern kita. Yang ngasih sumbangan.”

“Iya. Abah juga tidak mengerti kenapa terjadi demikian.”

“Memang kenapa dengan gambar ini.”

“Abah juga kurang paham. Tapi entah kenapa ketika melihat gambar ini seperti ada sesuatu yang menghubungkan dengan kejadian di kampung kita ini. Khususnya di pesantren kita. Sesuatu yang menjadi sebab akibat. Tapi aku tidak tahu bentuk hubungannya itu. Aku belum bisa menjelaskannya. Masih perlu pemikiran. Aku sekarang harus berhati-hati dalam urusan ini.”

“Oh….,” kata isterinya mengangguk, tapi kurang paham juga. “Menghubungkan bagaimana?”

“Itulah masalahnya. Abah belum bisa menentukan. Sesuatu yang sepertinya ada titik temu. Tapi ya itu tadi masih tetap samar-samar.”
 

Penulis adalah penikmat sastra