Cerpen

Peci Hitam Kiai

Ahad, 15 Oktober 2023 | 13:00 WIB

Peci Hitam Kiai

Ilustrasi (NU Onlin/Ahmad Solkan)

Berita kemerdekaan Indonesia menyebar ke berbagai penjuru Nusantara. Pekik merdeka dan takbir mengguncangkan dunia. Semangat kebebasan berkobar dalam hati rakyat Indonesia, seperti api yang tak pernah padam. Mereka tahu bahwa perjalanan menuju kemerdekaan tidak mudah, tetapi tekad mereka tak tergoyahkan. Inilah awal dari perjuangan yang akan mengubah nasib bangsa.


Cahaya matahari masuk ke ruang tengah tempat aku tidur, lewat jendela yang terbuka lebar. Rumah dalam kondisi kosong, seperti biasa ibu, bapak, kakak, dan adik-adik sedang ke sawah. Badanku masih capek, sudah berapa malam ini tidak tidur, melakukan patroli siang dan malam sebab terdengar kabar bahwa Tentara Belanda dari Cirebon akan bergerak menuju Tegal.


Barulah semalam reguku diizinkan untuk istirahat, diganti oleh regu lain. Reguku kembali ke markas di Dukuh Babakan. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah, sudah hampir 1 tahun tidak pulang, terakhir ketika Idul Fitri. Sebenarnya aku tidak tega meninggalkan reguku setelah Farid wakilku meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa, barulah aku memberanikan diri untuk pulang. 


"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, dalam masa perjuangan sekarang hanya ada dua kemungkinan, hidup atau mati. Maka sebelum menghadapi desingan peluru, pulanglah dulu ke rumah, supaya orang tuamu tidak khawatir," ujarnya.


Sementara anggota reguku kembali ke markas, aku terus melanjutkan perjalanan, tentu saja dengan jalan kaki. Pistol tipe 14 Nambu, satu-satunya senjata milikku aku sarungkan di samping pinggang, tertutup oleh lilitan sarung. Aku diam dalam sunyi, menelusuri jalan aspal yang basah oleh hujan. Angin berembus dengan kencang, membuat daun-daun bernyanyi. 


Mataku terus waspada, sesekali melirik ke belakang dan samping, sebab aku takut ada garong atau bencoleng. Mereka sungguh bikin keadaan makin susah, di mana-mana orang ketakutan. Para bencoleng ini terkenal kejam dan tanpa ampun, aku dengar beberapa hari yang lalu satu keluarga di Slawi tewas. Aku juga mendengar kalau para garong itu bersenjata api, entah dari mana mereka mendapatkannya, jangan-jangan mereka mata-mata Belanda yang ditugaskan untuk membuat keadaan semakin kacau.


Aku dikagetkan dengan derum mesin jeep dan desah ban pada aspal yang basah oleh hujan, sontak saja aku langsung melompat ke semak-semak. Tepat di depan semak-semak tempat aku sembunyi, mobil jeep itu berhenti, lampu sorotnya yang terang dimatikan, detak langkah sepatu bot bercampur dengan air terdengar mendekat. Aku langsung mencabut pistolku, bersiap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.


"Katanya kebal, kok malah sembunyi?" begitu yang aku dengar. Suara tersebut sepertinya tidak asing, aku seperti pernah mendengarnya, lantas aku pun memberanikan diri keluar dari semak-semak. Tepat di depanku, pria tinggi besar dengan uniform hijau dengan mengenakan helm hijau, aku lihat tanda pangkat di kerahnya satu strip emas dengan dua bintang, artinya sersan. Dalam remang malam yang misterius itu, wajahnya menjadi titik terang, ternyata Sarip.


"Mau ke mana Rip?” tanyaku.


"Pulang ke Margasari, bertemu anak dan istri," jawabnya.

 

"Kalau dirimu mau ke mana?" dia balik bertanya.


"Pulang ke Jejeg,” jawabku.


“Pasti kangen sama istri?”

 

“Nggak, saya belum punya istri.”

 

“Ayok ikut, tentu saya tidak bisa mengantarmu sampai rumah, saya hanya bisa mengantarkanmu sampai Banjaranyar.”

 

Jeep dinyalakan dengan tombol yang diketuk, dan suaranya meringkih dengan lantang. Mesin yang kuat itu meletup dengan semangatnya sendiri, seolah-olah siap untuk menaklukkan segala medan yang ada di depannya. Suara gemuruh yang mengiringi awalnya membuat jantung berdebar kencang, lalu aku pun naik. Asap tipis mengambang dari knalpot, membentuk jejak kabut yang cepat memudar di udara malam.

 

Sepanjang perjalanan Surip berkeluh kesah mengenai gajinya sebagai tentara dengan pangkat sersan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak istri, pakaian seragam dan tambahan senjata yang tak kunjung datang. Rasanya tidak tepat jika ia curhat demikian kepadaku, kondisiku dan teman-teman yang tergabung dalam Hizbullah jauh lebih memprihatinkan. Tidak memiliki pangkat, tidak bergaji pula. Bukan maksud untuk mengungkit, kami tentu saja ikhlas menyerahkan nyawa kami untuk ibu pertiwi.


Dibandingkan dengan reguku, persenjataan Sersan Surip jauh lebih lengkap, terdapat Lewis dan Bren, jenis senapan mesin ringan, lalu ada sten. Sementara reguku hanya memiliki beberapa senjata saja, Pistol Type 14 Nambu yang dipegang olehku, 3 pucuk senapan Lee Enfield, sisa anggotaku menggunakan bambu runcing dan Gunto, pedang hasil rampasan dari Tentara Jepang. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada anggotaku jika terjadi pertempuran sesungguhnya. Tidak ada helm baja di kepala mereka, yang ada adalah peci hitam. Tetapi aku menjamin mereka akan bertempur seperti singa.


Mobil jeep berhenti di Banjaranyar, aku pun lantas melanjutkan perjalanan menuju ke rumahku yang terletak di kaki Gunung Slamet. Dalam gelapnya malam ditemani senter, aku harus melewati bukit-bukit yang penuh dengan hutan lebat dan sungai. Kali ini bukan hanya perampok yang harus aku waspadai, tetapi juga binatang buas.


Sedianya esok lusa aku akan kembali ke reguku, tetapi ibuku memintaku untuk tinggal lebih lama lagi, yaitu lima hari, akhirnya aku pun memenuhi keinginan ibuku. Pada hari kelima, pagi-pagi pintu rumahku diketuk dengan keras, rupa-rupanya ia Pak Syuaib. Ia menceritakan bahwa dirinya baru saja pulang dari kota, tiga hari lalu Belanda menduduki Tegal, terjadi pertempuran kota yang hebat. Pasukan Republik terdesak, lalu mundur ke hutan-hutan di sekitar Tegal. Aku hendak ke kota untuk memastikan bagaimana kabar reguku, namun ibu dan ayah mencegahku. Pasti di kota sedang terjadi pembersihan oleh Tentara Belanda terhadap nama-nama yang dicurigai ada hubungannya dengan republik. Aku berusaha menyakinkan kedua orang tuaku bahwa namaku tidak akan dicurigai.


Aku mendengar kabar bahwa beberapa kompi Pasukan Republik sedang berada di Desa Muncanglarang di bawah pimpinan Letkol Soesman, berangkatlah aku ke desa tersebut untuk bergabung dengan mereka dengan harapan juga reguku berada di antara mereka. Namun, ternyata reguku tidak berada di antara mereka. Dari mereka aku tahu ternyata Tentara Belanda telah menduduki ibu kota Kawedanan Bumijawa.


"Kita harus menghambat gerak laju Tentara Belanda, kita harus memukul mereka kembali ke Belanda, nanti malam kita akan menyerang kedudukan mereka di Bumijawa," ujar Letkol Soesman.


Malam harinya terjadi pertempuran yang seru, satu kompi Tentara Belanda berhasil dipukul mundur kembali ke Tegal. Lusa Tentara Belanda kembali menggempur Bumijawa dengan beberapa kompi, kami pun mundur makin jauh ke hutan. Aku dengar Tentara Belanda setelah itu melakukan pembersihan seperti biasanya, penduduk yang dicurigai sebagai mata-mata dan mengetahui keberadaan pejuang ditangkap.


Akhirnya Letkol Soesman memerintahkan pasukannya untuk mundur ke Purwokerto dengan melingkari Gunung Slamet. Setelah dua bulan di Purwokerto aku kembali bertemu dengan reguku. Dari Farid aku mengetahui tentang gugurnya KH Ma’shum Mufti dan KH Muhammad Syafii Mufti yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Lebaksiu Tegal.


"Setelah Tentara Belanda menduduki Tegal, selanjutnya mereka melakukan pembersihan, menangkap pejuang-pejuang Republik. Pondok Babakan menjadi target, sebab di situ merupakan markas Hizbullah," jelas Farid.


Ia menceritakan bahwa Kiai Ma’shum Mufti sudah pergi meninggalkan pondok, tetapi dia kembali lagi, sebab peci hitamnya tertinggal. Setelah mengambil peci, Belanda sudah memasuki pondok, ia pun ditembak oleh Tentara Belanda, dan syahid.


"Sementara itu Kiai Muhammad Syafi'i Mufti yang juga merupakan Panglima Hizbullah tertangkap oleh Belanda. Beliau diikat pada panser, ditarik keliling untuk dipertontonkan kepada masyarakat dari Desa Kajen hingga Desa Kalibakung," kata Farid yang mendapatkan cerita itu dari temannya yang masih bertahan di Tegal yang sedang melakukan penyamaran.


Berbagai upaya dilakukan oleh tentara Belanda untuk membunuh Kiai Muhammad Syafi’i Mufti, namun tidak berhasil. Lalu Kiai Muhammad Syafi’i Mufti memberi tahu caranya, yaitu dengan membaca bismillah. Salah satu tentara Belanda mengatakan hal tersebut sebelum menembak, maka syahidlah Kiai Muhammad Syafi’i Mufti.


Ia dieksekusi di Hutan Kalibakung, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal, tepatnya di Bukit Tempeh. Ia pun dimakamkan di sana pada sebuah lubang yang di dalamnya terdapat 16 jasad, di mana 4 diantaranya merupakan prajurit ALRI. 


Sebelum kejadian pembantaian di Kalibakung, Farid menceritakan bahwa ia bersama regunya dengan beberapa pasukan Republik bertahan di Kalibakung, tiga kali serangan Tentara Belanda berhasil dipatahkan, serangan keempat Belanda berhasil menembus pertahanan pejuang. Lantas pejuang pun mundur ke Pemalang.


Malik Ibnu Zaman, kelahiran Tegal Jawa Tengah, kontributor NU Online. Malik menulis sejumlah cerpen dan esai yang tersebar di beberapa media online.