Cerpen

Pemandangan Mata

Ahad, 29 Januari 2023 | 11:00 WIB

Sudah dua puluh tahun kampungku banyak mengalami perubahan, kini menggeliat penuh gairah. Rumah gedongan terpampang dengan nyata tak terhitung jumlahnya, toko-toko berjamuran di setiap sentinya. Dulu orang kaya di kampungku bisa dihitung dengan jari, namun kini sepuluh jari tanganku pun tak sanggup untuk menghitungnya.


Hal tersebut tentu menjadi perbincangan bagi kampung-kampung tetangga, bahkan mungkin satu kecamatan. Timbul desas-desus yang tidak mengenakan mengenai orang kaya di kampungku. Desas-desus tersebut bukan hanya muncul dari orang di luar kampung, tetapi juga dari dalam kampung.


"Banyak orang yang mengatakan perihal orang kaya di kampungmu. Katanya kalau dilihat dari kampung yang lebih tinggi ketika malam hari, kampungmu gelap gulita, hanya beberapa rumah saja yang menyala lampunya. Katanya banyak orang yang melakukan pesugihan di kampungmu," ujar Ali kawanku.


Apa yang dikatakan oleh Ali juga sering aku dengar dari kawan-kawan yang lain. Kampungku letaknya strategis di tengah-tengah, dilalui oleh jalan yang menghubungkan ke ketiga kecamatan, dan juga terdapat pasar. Jika melihat fakta tersebut, maka wajar kalau banyak orang kaya di kampungku.

 

Dulu ketika aku menemani kakekku mencuci baju di sungai, kakek menceritakan suatu hal. Kakekku dikenal memiliki kemampuan spesial, kalau kata orang sekarang itu indigo. "Banyak orang kaya di kampung kita ini kaya tidak sewajarnya, pesugihannya pun macam-macam," kata kakek.


"Kenapa kakek bisa tahu?" tanyaku.


"Jadi misalnya si A melakukan pesugihan monyet, maka kakek melihat mereka itu seperti monyet. Dulu kakek pernah menangkap tuyul, pas kakek interogasi ternyata benar saja punya orang kampung sini. Syarat-syarat melakukan pesugihan itu macam-macam, ada yang tidak boleh makan makanan enak, ada yang tidak boleh memperbaiki rumah, dan lain sebagainya."


Menurut informasi yang aku dengar dari orang-orang memang beberapa orang kaya di kampungku tidak makan makanan enak. Pernah beberapa orang dari kampung sebelah mencoba peruntungan nasib dengan berjualan beraneka jenis makanan di pinggir jalan, mereka berharap dagangannya laku karena banyak orang kaya. Tetapi mereka cuman bertahan satu atau dua bulan saja, karena justru tidak laku. Akhirnya mereka pindah ke kampung sebelah, dan justru malah laku.

 

"Di sini kan banyak orang kaya, biasanya kan orang kaya suka makan enak. Malas masak, membeli makanan di luar," ujar salah seorang pedagang ketika aku membeli makanannya.

 

"Itu namanya hemat bang. Nah, mungkin itu salah satu kunci mengapa banyak orang kaya di kampung ini," kataku.

 

Hari itu kakek kedatangan teman semasa di pondok dulu, rencananya teman kakek akan menginap beberapa hari di rumah kakek. Setelah selesai menikmati sarapan berupa nasi goreng, dan teh tubruk. Kakek mengajak temannya untuk berkeliling kampung, aku pun turut diajaknya pula.

 

Mula-mula kami pergi ke sawah di samping jalan raya, dari sawah tersebut orang yang lewat di jalan raya terpampang dengan jelas. Cukup lama kami duduk di pematang sawah hingga matahari tepat berada di ubun-ubun melihat orang yang lalu lalang lewat.


"Kendaraan yang lewat itu berbeda-beda," ujar teman kakek membuka pembicaraan.


"Memang berbeda-beda bukan, ada motor, ada mobil. Motor pun beragam jenisnya, begitu juga dengan mobil," timpalku.

 

"Bukan itu maksudku."


"Tergantung dari mana ia memperoleh uang untuk membeli kendaraan tersebut," ujar kakek menimpali.

 

"Kalau misalnya uang membeli mobil itu dari hasil korupsi, itu bagaimana?" tanyaku.


"Mobil itu terbakar menyala-nyala dilalap api," jawab teman kakek.

 

Tepat ketika matahari mulai sepelemparan tombak, lewat seorang yang kira-kira usianya setengah abad, ia bekas kepala desa pakainya tampak alim. Ia berhenti sebentar menyapa kakek, sekedar basa-basi. Sementara itu teman kakek berusaha untuk menahan tawa. Aku yang melihatnya pun bingung dibuatnya. Selepas orang itu pergi, teman kakek tertawa sejadi-jadinya.


Lalu teman kakek menanyakan kepada kakek perihal siapa tadi. Kakek pun menjelaskan bahwa dulu ia adalah seorang kepala desa 2 periode, sebelumnya pernah menjadi kepala sekolah lama sekali.

 

"Oh pantes saja," jawabnya singkat.


Aku pun menanyakan tentang apa yang dilihatnya kenapa tertawa ketika melihat bekas kepala desa itu. Ia menceritakan bahwa pemandangan yang ia lihat sangat lucu sekali, ia melihat bahwa bekas kepala desa tersebut mengendarai motor dari tulang belulang dan kartu bayaran sekolah.


Dulu aku pernah mendengar desas desus bahwa bekas kepala desa tersebut pernah menjual tanah kuburan ketika ia masih menjabat sebagai kepala desa. Kemudian ketika menjadi kepala sekolah, menarik bayaran perbuatannya, padahal seharusnya gratis.


"Ternyata rumor yang aku dengarkan tentang kampung ini benar adanya. Kau lihat orang tersebut naik motor apa?" ujar teman kakek menanyakan kepadaku sambil menunjuk seorang yang aku kenal sebagai juragan ayam, dan mengendarai motor ninja.


"Motor ninja," jawabku.


"Bukan, aku melihatnya gorila."


Dalam perjalanan pulang, aku bertanya-tanya dalam hatiku. Pemandangan mata apa yang kakek dan teman kakek lihat kepada sebuah masjid yang dibangun dari uang tidak baik. Awalnya aku hendak menanyakan hal itu, tetapi aku mengurungkannya. Nanti kalau aku mengetahuinya, bisa-bisa aku jadi tidak mau pergi ke masjid.


Setahuku kakek tidak pernah mau shalat di masjid kampungku, bahkan untuk shalat Jumat sekalipun. Ia lebih memilih shalat di kampung lain. Gara-gara itu pula orang-orang kampung mengira kakek tidak pernah shalat, dan dicap sebagai Islam Abangan.


Pertanyaanku pun berganti ke pertanyaan lain, apakah orang seperti kakek, dan teman kakek tidak terganggu dengan pemandangan mata yang mereka lihat. Aku tidak bisa membayangkan jika pemandangan mataku seperti mereka. Aku jadi teringat cerita dari kakek bahwa dulu ada orang gila yang hampir dihajar massa gara-gara pemandangan mata.


Ceritanya ada orang gila mengunjungi sebuah kampung, lalu ia ingin buang hajat besar. Ia pun mencari wc umum, ketemulah wc umum di tengah pasar. Namun tidak ada airnya, maka ia pun mencari air. Kembalilah ia ke tempat tersebut membawa seember air. Setelah selesai buang hajat, orang-orang menyeretnya, menanyakan kenapa buang hajat sembarangan. Orang gila tersebut pun bingung, karena ia jelas-jelas buang hajat di wc umum.


Sementara orang-orang yang menyeretnya mengatakan kalau ia buang hajat di emper toko besar. Karena tidak terima, pemilik toko tersebut menyuruh orang untuk membakarnya, namun berhasil dicegah oleh beberapa orang. Satu minggu kemudian, toko tersebut dilalap oleh si jago merah.


"Pemandangan mata yang kita lihat justru adalah anugerah, membuat kita lebih berhati-hati dalam segala sesuatu," ujar teman kakek di tengah lamunanku.