Daerah

Nahdliyin di Mimika Diingatkan  Berdakwah dengan Riang Gembira

Kam, 19 Maret 2020 | 01:00 WIB

Nahdliyin di Mimika Diingatkan  Berdakwah dengan Riang Gembira

Haul masyayikh Pesantren Blokagung Banyuwangi di di Masjid Nurul Hikmah Pesantren Darussalam Mimika, Papua. (Foto: NU Online/Sugiarso),

Mimika, NU Online
Agama Islam di Nusantara ini mayoritas Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswaja). Praktik keberagamaan tersebut antara lain tidak suka mengafirkan, membidahkan, dan membenci orang lain. Juga agama dibawakan dengan cara yang riang dan menyenangkan.
 
Hal ini tentu tidak bisa lepas dari warisan para wali penyebar Islam di Indonesia yang berlangsung damai, toleran, menyenangkan dan tidak mengumbar kebencian, serta menebar kasih sayang.
 
Praktik beragama Aswaja yang riang gembira dan menyenangkan ini dipaparkan oleh Habib Helmi bin Khalid Al Kaff dari Jakarta saat mengisi acara haul masyayikh Pesantren Blokagung Banyuwangi. Acara ini di gelar pada Ahad (15/3) malam di Masjid Nurul Hikmah Pesantren Darussalam Mimika, Papua.
 
Haul masyayikh Darussalam Blokagung Banyuwangi, yakni KH Mukhtar Syafaat Abdul Ghofur, Nyi Hj Siti Maryam dan Nyi Hj Siti Musyarofah dirangkaikan dengan rutinan istighotsah an-Nahdliyah. Acara digelar oleh alumni asuhan Darussalam Blokagung (Al-Adab), jamaah istighotsah an-Nahdliyah dan Pesantren Darussalam Mimika.

Dalam ceramahnya, Habib Helmi mengisahkan sahabat Nabi yang usil tetapi lucu bernama Nuaiman bim Amr. 
 
"Suatu ketika Rasul mendapatkan hadiah dari Nuaiman sambil mengatakan sesuatu yang barangkali sangat wagu untuk dikatakan, bahkan kepada seorang modin kampung sekalipun," terang murid Habib Umar Al-Hafidz ini. 
 
Saat itu Nuaiman berkata, "Bayarlah oleh-oleh ini, Nabi.”
 
“Bukankah ini kau hadiahkan untukku?” tanya Nabi.
 
“Betul, saya ingin memberikan hadiah ini untukmu. Tapi saya tidak punya uang untuk membelinya,” jawab Nuaiman.
 
Nabi tersenyum dan membayar hadiah yang diberikan sang tamu untuknya. Lelaki itu adalah Nu’aiman bin Amr, seorang sahabat asal Madinah dari Bani Najjar. Namanya tidak setenar Nasruddin Hoja atau Abu Nawas, tapi kenakalan Nu’aiman tersohor di kalangan sahabat. Ia kerap menggoda para sahabat lain, juga yang senior, bahkan kepada Nabi. Kendati demikian, Nabi tidak pernah tersinggung atau merasa diremehkan dengan ulah Nu’aiman. 

Ketika ada sebagian sahabat yang mencela candaannya karena diangap kelewatan, Nabi mencegahnya. “Jangan lakukan itu, dia mencintai Allah dan Rasul-Nya,” tegas Nabi.
 
Pernah suatu saat Nu’aiman berangkat bersama Abu Bakar ke Basrah untuk berniaga. Bersama mereka ikut pula Suwaibith, yang bertugas membawa perbekalan. Nu’aiman meminta kepada Suwaibith agar diberi makanan, tapi ditolaknya karena bos mereka sedang tidak di tempat. “Tunggulah sampai Abu Bakar datang,” katanya. Nu’aiman jengkel, lalu mengeluarkan ‘ancaman’, “Tunggu pembalasanku!”

Nu’aiman lantas menemui beberapa orang, menawarkan budaknya dengan harga sangat murah, sambil membocorkan kelemahannya, yaitu budaknya sering mengaku dirinya seorang merdeka. Yang ditawari setuju, lalu bersama Nu’aiman mereka menuju ke tempat Suwaibith duduk. Nu’aiman menunjuk kepadanya. Tentu saja Suwaibith berontak sambil mengatakan dirinya bukan budak. Tapi si pembeli bersikeras mengikatnya dan berkata: “Kami sudah paham sifatmu.”
 
Untung Abu Bakar segera datang dan urusan jadi gamblang.
 
Ketika peristiwa tersebut diceritakan, Nabi tertawa, bahkan sepanjang tahun setiap ingat atau diingatkan. Nu’aiman adalah pembawa kegembiraan. Mungkin karena itu, Nabi pernah berkata: “Nu’aiman akan masuk surga sambil tertawa, karena ia sering membuatku tertawa.” 
 
Demikian kisah yang dituturkan oleh Habib Helmi, lulusan Darul Musthafa, Hadhramaut ini dengan riang gembira membuat jamaah haul tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya walaupun jelang dini hari.
 
 
Kontributor: Sugiarso
Editor: Ibnu Nawawi