Nasional

Penjelasan dan Kritik Gus Baha soal Perdebatan Penentuan Awal Syawal

Kam, 20 April 2023 | 11:30 WIB

Penjelasan dan Kritik Gus Baha soal Perdebatan Penentuan Awal Syawal

Rais Syuriyah PBNU, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha. (Foto: Dok. Pesantren Al-Falah Ploso Kediri)

Jakarta, NU Online

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha mendorong perdebatan terkait awal Syawal dilakukan berdasarkan ilmu falak, bukan diseret ke ranah politik.


Hampir setiap tahun saat penentuan awal Ramadhan dan Syawal terjadi perdebatan di Indonesia. Umumnya, perdebatan tersebut menyeret dua organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Hal ini disampaikannya saat menjelaskan tafsir surat Yasin ayat 37-38 seperti dikutip dari akun youtube Santri Gayeng, Kamis (20/4/2023).


“Kita sering debat, tapi tidak mau menekuni ilmu tersebut. Misalnya perdebatan NU dan Muhammadiyah yang meributkan hal awal bulan Syawal. Lalu muncul anggapan negara bela NU atau ikut Muhammadiyah. Ilmunya tidak mau, tapi saling melempar tuduhan,” jelas Gus Baha.


Menurut Gus Baha, perdebatan itu terjadi karena orang yang berdebat tidak paham ilmu astronomi atau ilmu falak. Sebuah ilmu yang mempelajari benda langit dan fenomena alam yang terjadi di luar bumi. Dengan ilmu ini bisa menghitung dan mengetahui awal bulan.


Gus Baha melanjutkan, perdebatan semakin tak terarah dan liar ketika disertai muatan politik dan dipublikasikan di media sosial. Perdebatan tanpa ilmu yang dibumbui dengan motif ego kelompok serta politik membuat semuanya kacau, akhirnya aling ejek dan merendahkan.


“Sebetulnya penentuan awal Syawal itu mudah, kalau kamu ingin tahu jawabannya maka belajar ilmu falak, selesai. Kalau otaknya cukup maka silakan belajar falak, tidak usah ikut nimbrung berbicara, karena itu ilmu obyektif. Ilmu astronomi itu kan obyektif, kok dianalisis secara politik,” tegas Gus Baha.


Ulama asal Rembang ini menambahkan, ada tiga alasan mengapa orang lebih suka debat mengenai awal Ramadhan dan Syawal dibandingkan belajar ilmu falak agar perdebatannya terjadi obyektif.


Alasan pertama karena bodoh, kedua karena sombong, dan ketiga karena kurang pekerjaan. Bukan bidangnya, tapi banyak bicara. Yang paling sering terjadi di masyarakat adalah yang ketiga. 


“Karena perdebatan tanpa ilmu, sampai muncul istilah, kalau rukyat itu NU dan kalau hisab itu Muhammadiyah. Padahal tokoh NU banyak juga menggunakan hisab,” katanya.


Lebih rinci Gus Baha menjelaskan, secara ilmu ketika Allah membuat hukum maka yang detail diketahui oleh orang khusus, tetapi ada ilmu yang orang awam pasti tahu. Awam dalam bidang itu maksudnya. Seperti ahli tarekat, tapi tidak tahu falak, yang ahli falak tidak tahu tarekat. Karena manusia memang tidak pernah sempurna. 


Allah suka buat tebak-tebakan, jadi bulan itu tersembunyi 2 hari. Karena tempat singgah bulan (manzilatul qomar) hanya 28 hari. Jika ijtima’ terjadi usai 28 hari maka satu bulan hanya 29 hari, besoknya sudah masuk tanggal 1 di bulan berikutnya. Jika menunggu 29, maka istikmal sampai 30 hari, lalu habis dan ganti bulan. 


Berarti tiap bulan ada misteri 2 hari. Bisa saja tanggal 29 itu terakhir ijtima’ lalu nanti selesai. Atau ijtima’-nya nanti sampai 30. Itu menurut pandangan ahli ilmu, kata Gus Baha.


“Tidak benar anggapan kalau ada pemilihan NU pakai rukyat, Muhammadiyah pakai hisab. Karena ini adalah ilmu, siapapun mengkaji itu. Saya punya banyak buku falak, sebagian dikarang oleh orang Muhammadiyah. Lah yang buat kalender itu siapa? Sebagian besar itu orang NU seperti Mbah Turaichan. Beliau orang NU. Pakar hisab dari Muhammadiyah juga banyak ikut,” terang Gus Baha.


Kontributor: Syarif Abdurrahman

Editor: Fathoni Ahmad