Nasional

Suluk Maleman: Merdeka dengan Kasih Sayang

Ahad, 20 Agustus 2023 | 19:00 WIB

Suluk Maleman: Merdeka dengan Kasih Sayang

Anis Sholeh Ba’asyin dan Ali Fathkan dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman ‘Proklamasi Kemanusiaan’ yang digelar Sabtu (19/8) kemarin. (Foto: istimewa)

Pati, NU Online

Bulan Agustus menjadi momen kemerdekaan yang disambut dengan suka cita oleh bangsa Indonesia. Momen itulah yang juga menjadi topik bahasan dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman edisi ke-140 di Rumah Adab Indonesia Mulia, Pati, Jawa Tengah pada Sabtu (19/8) malam.


Dengan mengangkat tema Proklamasi Kemanusiaan, Anis Sholeh Ba’asyin menyebut, makna kemerdekaan tak hanya terbebas dari penjajahan politik satu negara terhadap negara lain. Penjajahan juga bisa dilihat  pada hilangnya otentisitas atau kebebasan berekspresi bangsa Indonesia.


Kemerdekaan sejatinya dimiliki setiap manusia. Namun manusia baru mungkin merealisasikannya setelah bisa menyingkirkan hawa nafsu dan keangkara murkaan pada dirinya.


“Terkadang merasa merdeka justru juga berbahaya. Karena menganggap dirinya merdeka justru tak mau diberi nasehat dan masukan,” ujarnya.


Kemerdekaan jika tak bersyarat itu justru menjadi kekacauan. Manusia memang diciptakan dengan batas. Kemerdekaan hanya mungkin ada di dalam batas. Jika diluar batas, justru manusia akan tersesat.


“Air untuk mengalir terus hingga ke laut juga butuh batasan. Namun kadang merdeka dianggap tanpa batasan,” tambahnya.


Oleh karenanya, kemerdekaan harus dimaknai dengan kasih sayang. Dengan begitu, kemerdekaan itu akan selaras dengan kemanusiaan. Ali Fatkhan salah seorang narasumber yang juga penggiat maiyah mencontohkan hal itu dengan kisah Nabi Muhammad setelah menaklukkan Mekkah.


“Setelah berhasil menaklukkan Makkah, Nabi justru menyebut jika hari itu adalah hari kasih sayang bukan pembalasan. Walaupun sebelumnya, umat muslim mendapatkan perlakuan yang tidak enak. Itu menjadi bentuk kemanusiaan dan kemerdekaan,” jelas Ali.


Anis Sholeh menambahkan, Kanjeng Nabi dilembutkan hatinya untuk berinteraksi dengan berbagai macam orang. Berbagai contoh kebaikan oleh Kanjeng Nabi telah ditunjukkan untuk dapat dianut umat muslim.


“Tentu hal itu bisa terwujud asalkan kita tidak memiliki keterikatan pada duniawi.  Baik harta, anggapan manusia maupun berbagai hal lainnya. Kisah nabi Ibrahim saat diminta menyembelih putranya bisa dimaknai mengajarkan pada kita untuk tidak terikat dengan masa depan. Bahkan kita tak punya kuasa akan putra kita sendiri. Karena itu adalah hak mutlak Allah,” tambahnya.


Tak hanya cerita Nabi, berbagai cerita sufi juga mengajarkan pentingnya untuk tidak terikat pada duniawi. Kisah Imam Ghozali misalnya, saat menjabat setara dengan menteri pernah diminta oleh gurunya membersihkan pasar.


“Saat mencari sapu rupanya tidak ada. Oleh sang guru diingatkan jika bisa dibersihkan dengan tangan. Rupanya Imam Ghazali tanpa memiliki keraguan akan pandangan orang lain dia segera berniat untuk mengambil kotoran itu dengan tangannya. Tapi sebelum benar-benar mengambil tangan itu ditarik oleh gurunya,” tambahnya.


Hal itu menjadi bentuk ujian keteguhan pada apa yang sangat dipercaya yakni gurunya. Dia percaya gurunya tidak akan mencelakakannya. Lebih pentingnya yakni sikap untuk tidak khawatir akan anggapan orang pada dirinya.


“25 Nabi juga dibuat sedemikian rupa dengan berbagai cara dakwah, hingga pendekatan yang berbeda untuk mengajarkan berbagai sisi yang berbeda dari kebenaran yang sama. Jadi tak perlu memaksakan apa yang dianggap benar ke orang lain,” tambahnya.


Gelaran Suluk Maleman kemarin tampak begitu spesial. Selain Sampak GusUran, acara itu turut dimeriahkan oleh Gagego musik kampung. Kelompok musik yang memiliki ciri khas lirik dengan pesan-pesan sosial kemasyarakatan itu membawakan sejumlah lagu sebagai pembuka acara. Tak ayal ratusan orang tampak menyaksikan baik secara langsung maupun lewat berbagai platform media sosial seperti Youtube.