Opini

Menyoal Lembaga Amil dan Zakat Ilegal di Lingkungan BUMN

Sel, 7 Maret 2023 | 06:00 WIB

Menyoal Lembaga Amil dan Zakat Ilegal di Lingkungan BUMN

Temuan Lembaga Amil Zakat ilegal mesti menjadi perhatian serius semua pihak, bukan hanya Kemenag dan Baznas, tapi juga PPATK. (Ilustrasi: NU Online/Mahbib)

Beberapa waktu lalu Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kementerian Agama mengumumkan secara terbuka kepada publik terkait jumlah amil zakat yang dibentuk pemerintah dan dikelola masyarakat yang resmi memiliki izin sampai dengan Januari awal 2023.


Di tingkat pusat, ada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), pada level bawahnya sudah terbentuk 34 Baznas tingkat provinsi dan 464 Baznas kabupaten/kota. Sedangkan lembaga amil zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat ada 37 LAZ berskala nasional, 33 LAZ skala provinsi, dan 70 LAZ skala kabupaten/kota yang sudah mengantongi legalitas dari Kementerian Agama.


Langkah Dirjen Bimas Islam sudah tepat karena sesuai dengan mandat UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), di mana siapapun baik orang, perkumpulan, maupun badan hukum yang memperoleh dana dari APBN/ APBD baik sebagian atau seluruhnya dan/atau menghimpun dana dari masyarakat maka bertanggung jawab menyampaikan transparansi kepada masyarakat.


Selain yang legal, pada saat bersamaan Dirjen Bimas Islam juga menyampaikan terdapat 108 LAZ yang beroperasi menghimpun dana secara masif dari masyarakat tetapi ternyata belum memiliki izin. Sebanyak 108 LAZ bahkan telah beroperasi puluhan tahun. Ironisnya dari jumlah tersebut dua di antaranya berada langsung di bawah naungan lembaga pemerintah dan sembilan lainnya merupakan LAZ yang berada di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), anak perusahaan BUMN, atau yang berafiliasi dengan BUMN karena secara terang-terangan menggunakan nama dan merk (brand) perusahaan plat merah.


LAZ yang dimaksud dalam rilis Dirjen Bimas Islam adalah Al Maghfirah Bp Jamsostek di bawah Jamsostek, Yayasan Baitul Maal BRI YBM BRILiaN, Baituzzakah Pertamina, Yayasan Baitul Maal PLN, MTT Telkomsel, LAZ An-Nur PT Indonesia Power, Lembaga Amil Zakat Pertamina Hulu Rokan (LAZNAS PHR), LAZ Al-Hakim Succofindo, Baitul Maal Pupuk Kujang, dan Lembaga Amil Zakat Yayasan Masyarakat Muslim Freeport Indonesia.


Data LAZ ilegal yang disampaikan oleh Dirjen Bimas Islam sudah semestinya menjadi perhatian serius bagi pemangku kepentingan bukan saja bagi Kemenag dan BAZNAS yang merupakan regulator dan penanggung jawab kegiatan zakat nasional, tetapi juga harus disikapi secara serius oleh Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Direktorat Jenderal Pajak, Menteri BUMN tentu masyarakat khususnya para muzaki (pembayar zakat) yang memberikan harta zakatnya kepada LAZ-LAZ tersebut.   


Zakat adalah ajaran Islam yang merupakan pilar penting yang menekankan dimensi keadilan ekonomi antara mereka yang mampu agar menyisihkan hartanya bagi kaum duafa. Eksistensi syariat zakat telah diakui dan diakomodasi oleh negara melalui proses legislasi hukum nasional dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ) sebagai pengganti beleid sebelumnya, yakni UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Di dalamnya menyatakan setiap pihak yang berkegiatan mengumpulkan dan menghimpun zakat harus memiliki izin dari Kemanag atas rekomendasi Baznas sesuai dengan tingkatannya.


Dari sisi syariat, perlunya perizinan dikuatkan oleh Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat, setiap yang bertindak sebagai amil zakat harus mendapatkan pengesahan dari pihak berwenang (ulil amri).


Aspek perizinan ini penting untuk memastikan amil zakat dikelola oleh orang-orang yang amanah dan kredibel, bertanggung jawab, lembaganya memiliki tata kelola yang baik sehingga dana zakat yang diterima amil yang dikumpulkan dari masyarakat benar-benar tersalurkan tepat sasaran kepada mereka yang berhak. Untuk memastikan hal tersebut, LAZ harus transparan, secara berkala memberikan laporan dan siap diaudit baik dari aspek keuangan, hukum, dan aspek syariah.


Maka ironis apabila LAZ yang berada di lingkungan BUMN yang merupakan perpanjangan pemerintah menjalankan roda kegiatan di sektor bisnis tidak memiliki legalitas dan tidak mau mengikuti aturan main regulasi pengelolaan zakat namun tidak pernah bisa tersentuh dan dipersoalkan. Di beberapa LAZ berbasis BUMN pemotongan zakatnya bahkan ada yang menggunakan sistem potong gaji secara otomatis setiap bulan (payroll system). 


Untuk itu bukan saja muzaki tapi masyarakat pada umumnya patut mempertanyakan, tanpa legalitas yang jelas mengapa LAZ-LAZ tersebut bisa beroperasi dan masuk ke dalam sistem perusahaan BUMN yang begitu sangat ketat dan konfidensial sehingga tidak bisa sembarangan diberikan akses? Apakah kegiatan tersebut telah diizinkan dan diketahui oleh pimpinan perusahaan BUMN dan Kementerian BUMN? Apakah ada upaya pembiaran?


Pertanyaan yang lebih mendasar apakah pengelolaan donasi tersebut sesuai dengan kaidah dan prinsip-prinsip yang berlaku dan disampaikan kepada berhak? Pada titik inilah pelibatan PPATK dan KPK relevan dan patut untuk didorong.  


Eksistensi LAZ ilegal di lingkungan BUMN sulit diterima logika. Sebab syarat untuk menjadi amil yang legal sangat mudah dan tidak sulit, prosesnya juga terukur karena telah ditentukan limit waktunya dalam UUPZ sehingga tidak ada alasan untuk tidak mendaftarkan sebagai amil resmi.


Hak amil zakat juga telah dijamin sedemikian rupa. Mereka bukan saja berhak mengelola dan menyalurkan donasi kepada pihak penerima. Lebih dari itu mereka secara otomatis mendapatkan bagian 12,5% dari donasi yang dihasilkan karena termasuk dari kategori delapan golongan yang berhak memperoleh zakat (ashnafuz zakat) jumlah yang tidak kecil. Perolehan tersebut di luar biaya operasional untuk kepentingan lembaga.


Oleh sebab itu, amil zakat di lingkungan BUMN yang tidak berizin sangat kontra produktif dengan misi di BUMN yang bertujuan membawa kesejahteraan, karena itu bukannya mendongkrak citra positif bagi institusinya yang dikemas melalui kegiatan keagamaan, yang ada justru sebaliknya mencederai dan mencoreng wajah BUMN itu sendiri. Apalagi BUMN saat ini sedang gencar-gencarnya membumikan jargon AKHLAK (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif) yang merupakan bagian dari semangat menanamkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).


LAZ yang tidak memiliki izin sangat sulit mendapatkan predikat amanah dan kompeten karena sejak awal sudah tidak patuh dan tidak taat regulasi (legal compliance) sehingga merugikan masyarakat dan negara. Muzaki yang telah membayar zakat seharusnya memperoleh fasilitas dari  pemerintah berupa pemotongan pajak bruto dengan dasar bukti pembayaran zakat dari amil, namun tidak berlaku jika amilnya ilegal karena belum diakui.


Di samping itu badan hukum/lembaga yang memayungi LAZ semacam ini seharusnya tetap membayar pajak, sebab yang berhak atas kompensasi bebas pajak adalah amil yang telah resmi diakui dan terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang dibuktikan dengan legalitas dari pihak yang berwenang.


Pada saat yang sama tanpa legalitas, aspek syariah (sharia compliance) sangat diragukan dapat terpenuhi. Selain tidak sesuai dengan Fatwa MUI Nomor 8 Tahun 2011 yang mengharuskan adanya izin pemerintah bagi amil zakat, LAZ-LAZ tersebut juga tidak memenuhi standar nilai dan prinsip syariah yang akan menjadi objek audit syariah sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor: 606 Tahun 2020 tentang Pedoman Audit Syariah atas Laporan Pengelolaan Pelaksanaan Zakat, Infak, Sedekah dan Dana Keagamaan lainnya pada Badan Amil Zakat Nasional dan Lembaga Amil Zakat.


Dengan kata lain apabila hulunya (aspek legalitas) tidak terpenuhi maka hilirnya (pengelolaan, penyaluran, dan pendistribusian) hasilnya tidak akan jauh berbeda. Yang bisa diaudit dan ditelusuri kepatuhan syariahnya hanya LAZ yang telah memiliki izin.


Oleh sebab itu, masih belum terlambat bagi amil-amil zakat di lingkungan BUMN untuk menyelesaikan aspek perizinan sebagai bentuk kewajiban dan tanggung jawab, bukan saja kepada insan dan kelembagaan perusahaan BUMN, lebih jauh kepada muzaki dan publik secara umum sebagai pilar penting dalam kegiatan pengelolaan zakat agar tidak dirugikan.


Legalitas menjadi titik awal bagi LAZ dan UPZ (Unit Pengumpul Zakat) untuk mendapatkan legitimasi dari negara dan kepercayaan publik. Karena itu perlu moratorium atas kegiatan pengumpulan donasi publik bagi LAZ-LAZ di BUMN yang belum berizin sampai benar-benar diperolah legalitas untuk menghindari risiko hukum yang akan terjadi di belakang hari. Pimpinan perusahaan dan Kementerian BUMN pun wajib turun gunung menata dan menertibkan lingkungannya agar menjadi institusi yang lebih baik.


Mustolih Siradj, advokat dan dosen pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.