Opini

PBB Lawan Islamofobia, Pemerintah Usung Moderasi Beragama

Sel, 5 April 2022 | 11:00 WIB

PBB Lawan Islamofobia, Pemerintah Usung Moderasi Beragama

PBB Lawan Islamofobia, Pemerintah Usung Moderasi Beragama. (Ilustrasi: universiteitleiden.nl)

Pada 15 Maret kemarin, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi GA/12408 untuk melawan islamofobia. Bersamaan dengan itu juga keluar resolusi untuk melestarikan padang rumput, melindungi janda, dan sepeda sebagai sarana transportasi umum.

 

Keputusan melawan islamofobia diambil secara aklamasi oleh anggota Majelis Umum PBB di New York. Utusan Pakistan mengusulkan agar 15 Maret dijadikan hari melawan islamofobia agar terdengar gaungnya di dunia yang kemudian diamini oleh para anggota sidang. Utusan Prancis berpandangan beda dan mengatakan bahwa penghargaan diberikan kepada seluruh agama dan pemeluknya tanpa memberikan penekanan secara khusus kepada Islam. Definisi islamofobia masih belum disepakati di hukum internasional. Yang ada adalah yang berlaku secara umum bagi semua agama dan keyakinan. Penetapan hari internasional untuk islamofobia tidak memenuhi tuntutan kepedulian lintas agama dan keyakinan, kata utusan Perancis.

 

PBB tidak keliru mengeluarkan rilis ini. Ini menunjukkan bahwa setelah sekian lama umat Islam dipandang “berbahaya” oleh sebagian masyarakat Barat, kini anggapan itu mendapat koreksi dan teguran resmi. Bahwa hal itu bertentangan dengan asas prasangka baik kepada siapa pun tanpa memandang perbedaan latar belakang agama. Masyarakat Barat diingatkan, bahwa memandang Muslim sebagai radikal adalah generalisasi yang keliru, merugikan dan membahayakan. Keliru karena jelas bahwa dari sekian banyak masyarakat Muslim hanya segelintir orang yang terlibat aksi kekerasan atas nama agama (radikal). Sedang sisanya, kelompok mayoritas, tidak terlibat dan tidak mendukung bahkan melawan tindakan tersebut. Dengan demikian adalah berlebihan menyebut Muslim radikal sementara kebanyakan Muslim juga sibuk mengatasi masalah itu.

 

Disebutkan merugikan karena tentunya ada saja warga Muslim di Eropa atau Amerika yang mendapat perlakuan buruk akibat dari stigma tersebut. Sempat dalam beberapa saat kehadiran masyarakat Muslim ditolak masuk ke negara Barat karenanya. Ada kejadian pesawat tidak jadi berangkat dari Malaga ke Manchester lantaran sang pilot mendapati 2 penumpangnya berbicara bahasa Urdu dan karenanya enggan menerbangkan pesawat. Sang korban saat diinterogasi sebelum dipulangkan kembali ke rumahnya mengatakan bahwa meski dirinya seorang Muslim bukan berarti dirinya adalah pelaku bom bunuh diri. Perlakuan diskriminatif juga dirasakan dengan adanya ujaran kebencian atas Muslim dan larangan berbusana khas Muslimah. Semacam rasisme model baru. Model lama menyasar warga kulit hitam, sekarang Muslim.

 

Islamofobia juga membahayakan lantaran sudah memakan banyak korban nyawa. Meski tidak selalu akibat islamofobia, bisa saja karena kesalahpahaman atau pertengkaran sehari-sehari, seperti kasus di Chapel Hill, Carolina Utara. Sebelum kejadian penembakan, korban dituduh terlalu banyak mengambil ruang parkir yang membuat tetangganya marah. Sang tetangga kalap dan akhirnya mengetok pintu dan menembakkan pistol dan membunuh 3 penghuni asal Timur Tengah. Kebencian atas Islam melipatgandakan emosi hingga pelaku tega membunuh.

 

Yang paling parah adalah penembakan bertubi-tubi ke jamaah Masjid Christchurch New Zealand pada 15 Maret 2019 yang memakan nyawa 51 Muslim dan mencederai 40. Pelaku pada siang hari saat shalat Jumat berlangsung memasuki masjid dan memuntahkan banyak peluru hingga nyawa berjatuhan.

 

2 Pihak Penyebab Islamofobia

Islamofobia atau “takut kepada Islam” sebenarnya telah ada semenjak Islam baru lahir dan terus berlanjut pada masa perang salib. Di era mutakhir, ia ramai semenjak penyerangan dua gedung kembar pusat perdagangan (WTC), New York Amerika pada 11 September 2001. Empat pesawat menabrakkan diri ke 2 gedung kembar, gedung Pentagon, dan satu target lain yang memakan korban 3000 nyawa. Serangan diyakini didalangi oleh pimpinan Al-Qaeda Usamah bin Laden dengan 19 pelaku, 15 di antaranya berkewarganegaraan Saudi, mayoritas dari daerah yang sama.

 

Islamofobia juga marak pasca serangan atas London ibukota Inggris pada 5 November 2005. Tiga bom bunuh diri meledak di stasiun kereta bawah tanah pada lokasi yang berbeda dan satu meledak di bus tingkat. Aksi itu memangsa 52 nyawa dari 18 negara dan melukai 700 orang. Pelakunya 3 warga Inggris keturunan Pakistan sedang yang satu mualaf asal Jamaika.

 

Juga serangan atas Paris pada 14 November 2015. Saat itu 3 pelaku bom bunuh diri menyerang stadion saat pertandingan persahabatan, Prancis vs Jerman. Serangan itu memakan korban 130 nyawa dan ditengarai dilakukan oleh kelompok Islamic State of Iraq and Sham (ISIS). Setahun kemudian di kota Nice pada 16 November 2016, sebuah truk yang dikendarai warga keturunan Tunisia melindasi kerumunan massa perayaan hari Bastille yang memangsa nyawa 80 orang dan 100 luka-luka.

 

Banyaknya serangan atas kerumunan warga sipil di negara Barat, menimbulkan ketakutan mereka kepada warga Muslim. Meski sebagian aksi kekerasan itu tidak ada yang menyatakan bertanggung jawab, seperti ISIS atau Al-Qaeda, namun pelaku serangan adalah Muslim. Tentunya tidak sama dengan bom Oklahoma pada 19 April 1995 yang pelakunya adalah warga kulit putih Amerika sendiri mantan tentara dengan motif dendam kepada pemerintah. Aksi diawali dengan memparkir truk yang berisi banyak bom di depan gedung pemerintahan federal. Pada pukul 09.02 teroris domestik Amerika ini menekan detonator dan gedung itu pun runtuh dan geroak besar dari atas hingga bawah persis puing perang dunia. Sebanyak 168 nyawa melayang, 19 di antaranya anak-anak. Serangan ini jelas dilakukan oleh oknum warga Amerika Timothy McVeigh. Sementara dalam banyak kasus lain, seperti tersebut di atas, ISIS melalui kantor beritanya Amaq mengaku bertanggung jawab atas tragedi London. Saat posisi ISIS terus melemah sebelum akhirnya dinyatakan tumpas pada 2017, ISIS banyak melakukan serangan luar negeri dan menjadi sumber ketakutan warga Eropa atas Muslim.

 

Selain itu, faktor maraknya gerakan ultra nasionalis dan munculnya Nazi baru di negara Barat, menjadikan keberadaan warga asing atau imigran yang di kemudian hari menjadi warga Eropa, dipersoalkan. Negara Eropa yang sejatinya adalah sekuler dan tidak menganggap “ada” agama, menjadi memperhitungkan keberadaan Islam di Eropa. Seperti halnya Nazi dahulu yang sangat membanggakan ras Jerman, white supremacy atau keunggulan warga kulit putih muncul dan menganggap warga lain apalagi Muslim sebagai kelompok rendahan yang tidak layak menghuni Eropa, Amerika, Australia dan negara barat lainnya.

 

Teori kepunahan warga kulit putih juga salah satu sumber islamofobia. Teori ini berpandangan bahwa potensi kepunahan kulit putih besar karena tingginya nikah antar-ras di kalangan pengantin kulit putih yang menghasilkan peranakan yang tidak murni. Rendahnya angka kelahiran di kalangan warga kulit putih berbanding kulit hitam, hispanik, dan Muslim juga mendasari teori itu.

 

Dua faktor tadi, dari pihak Muslim munculnya perlawanan atas hegemoni barat dengan cara brutal melalui serangan bom bunuh diri dan penggunaan truk yang menubruk kerumunan massa. Ditambah dengan munculnya gerakan sayap kanan ekstrim (ultra nasionalis) dan kebanggaan ras kulit putih menjadikan islamofobia merebak sesuai hukum sebab-akibat dan aksi-reaksi.

 

Moderasi Beragama

Resolusi PBB ini apakah berdampak pelarangan stereotyping Muslim sebagai radikal? Jawabannya, iya. Karena jelas hanya sedikit individu atau kelompok Islam yang melakukan aksi kekerasan atas warga sipil Barat dibanding yang anti kekerasan. Jika kata itu untuk menunjuk kelompok Islam bersenjata yang mengaku bertanggung jawab atas pembantaian di stasiun kereta api bawah tanah London, tentu tidak keliru. Sebab aksi itu memang radikal bahkan barbar. Belum lagi bom bunuh diri yang terjadi di wilayah negara Muslim sendiri: Pakistan, Afghanistan, Mesir, dan Indonesia. Dan ia berlaku tidak hanya untuk ekstremis Islam tapi juga: Yahudi di Israel, Kristen di negara Barat, Hindu di India dan Budha di Myanmar yang kerap melakukan aksi vandalisme apalagi pembunuhan atas penganut agama lain yang menjadi musuhnya.

 

Penyebutan kelompok radikal dengan demikian menunjuk pada tindakan berbahaya oleh kelompok tertentu. Ia tidak berlaku bagi mayoritas umat Islam yang menolaknya. Program deradikalisasi pemerintah dengan demikian tidaklah keliru sebab ia ingin agar umat Islam tidak terbawa ke paham yang pro kekerasan. Janganlah Muslim menjadi setetes nila yang merusak susu sebelanga. Apalagi banyak tetes nila yang tentu membuat citra Islam buruk di mata dunia dan islamofobia merebak di dunia. Program Moderasi Beragama Kemenag hadir untuk tujuan itu. Menghilangkan perilaku keberagamaan yang merugikan umat Islam sendiri dan menakutkan orang lain.

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.