Opini

Perempuan Muda dalam Pusaran Demokrasi

Sel, 22 Agustus 2023 | 06:00 WIB

Perempuan Muda dalam Pusaran Demokrasi

Perempuan muda dalam demokrasi. (Foto: NU Online/Suwitno)

Sekitar satu tahun lagi Indonesia akan menggelar pesta demokrasi dalam pemilu 2024. Pilihan sistem pemilu secara nasional ini memberikan peluang bagi keterwakilan perempuan. Lantas apa yang bisa dilakukan perempuan muda untuk terlibat dalam kontestasi pemilu? Apakah cukup perempuan muda berpartisipasi dengan melakukan pemilihan langsung seperti yang digaungkan pemerintah selama ini: jangan golput-datang ke bilik-nyoblos.


Perempuan muda memegang peranan penting dalam menyukseskan pesta demokrasi pada 2024 mendatang. Baik sebagai pemilih, penyelenggara, calon legislator ataupun calon kepala daerah. Terlebih, populasi penduduk di Indonesia didominasi perempuan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk perempuan 1,45 juta jiwa lebih banyak dibanding laki-laki. Dengan angka populasi yang sebesar ini perempuan seharusnya menjadi elemen penting dalam demokrasi di Tanah air. 


Faktanya, banyak hambatan ketika perempuan berpartisipasi aktif salah satunya keterbatasan dalam akses dan representasi. Pemikiran dan pandangan perempuan muda seringkali tidak dipertimbangkan dengan serius dalam proses pengambilan keputusan politik. Problem muncul sejak mereka menggagas ide atau sebuah gagasan tak mendapat respon dari pengambil kebijakan. Ada gap (kesenjangan) dari penggagas ide dan penerima ide. 


Gap ini yang kerap menimbulkan isu anak muda perempuan apatis terhadap politik, ini pula yang membuat perempuan muda lebih tidak aksesibel. Apalagi representasi yang membingkai perempuan muda sebagai anggota DPR atau walikota sangat sedikit dan direpresentasikan oleh talenta atau aktor itu saja yang merupakan representasi kehidupan nyata. Isu-isu perempuan di parlemen masih kurang terwakilkan. 


Satu contoh rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang membutuhkan waktu 10 tahun untuk disahkan padahal isunya urgen sekali. Selain itu, sosial kultur masyarakat juga berpengaruh terhadap psikologis perempuan. Perempuan punya kepercayaan diri yang rendah dalam bersaing dengan laki-laki dalam pengambilan keputusan dan ini turut menghambat ekonomi. 


Nilai-nilai yang masih mendiskriminasi perempuan dalam masyarakat ini tidak hanya terjadi di bidang politik saja tetapi perempuan di area perhutanan, perempuan nelayan yang juga tidak direpresentasikan, padahal permasalahan mereka sangat berlapis apalagi dengan kebijakan yang tidak mengutamakan kaum muda dan perempuan. Sudah tidak terwakilkan, tidak didengar pula, dan ketika pengambilan keputusan tidak dilibatkan. 


Hal ini merefleksikan bahwa representasi perempuan pada ranah politik masih jauh dari cukup untuk memperjuangkan dan mengangkat isu perempuan sehingga perlu usaha untuk meningkatkan representasi dan akses keterlibatan perempuan dalam politik. 


Keterlibatan perempuan muda dalam politik

Bentuk keterlibatan yang bisa dilakukan perempuan muda untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi 2024 mendatang tak hanya  dalam pemilihan langsung. Perempuan perlu lebih aktif terlibat dalam proses pembangunan.


Pertama, aktivisme dan organisasi. Perempuan muda sering terlibat dalam aktivisme sosial dan mampu membentuk gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan keadilan. Mereka dapat membentuk atau memanfaatkan organisasi dan kelompok advokasi agar dapat mempengaruhi politik dalam masyarakat. Aktivisme ini dapat meliput isu kesetaraan jender, pendidikan, kesehatan dan lingkungan. 


Kedua, pendidikan dan kesadaran politik. Perempuan muda dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran politik dan pendidikan melalui berbagai mekanisme seperti seperti pendidikan formal dan informal serta media sosial. Perempuan muda dapat menggunakan pengetahuan dan keterampilan mereka untuk mendidik teman-teman sebayanya mengenai pentingnya partisipasi politik dan hak-hak mereka sebagai warga negara. Perempuan muda bisa menyampaikan opini melalui media sosial atau berdiskusi tentang isu-isu politik lewat mesengger yang populer seperti Whatsapp.


Ketiga, kepemimpinan. Perempuan muda dapat memperoleh keterampilan kepemimpinan yang diperlukan dalam dunia politik dan masyarakat melalui berbagai organisasi dan pengalaman. Dalam peran kepemimpinan, mereka dapat mempromosikan nilai-nilai demokrasi, inklusi, dan keterlibatan aktif dari semua warga negara, termasuk perempuan, dalam proses pengambilan keputusan.


Keempat, pengaruh sosial dan budaya. Melalui kehidupan sehari-hari, perempuan muda dapat mempengaruhi budaya politik yang ada di masyarakat dengan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, kesetaraan, dan partisipasi yang inklusif. Mereka dapat berperan dalam mengubah norma-norma dan sikap yang membatasi partisipasi perempuan dan politik.


Dukungan perempuan jadi pemimpin

Laporan International NGO Forum on Indonesian Development, yang berjudul Sikap Generasi Milenial dan Generasi Z Terhadap Toleransi, Kebhinekaan, Kebebasan Beragama di Indonesia: studi kasus sikap terhadap pemimpin perempuan menunjukkan 80 persen generasi milenial dan generasi Z setuju perempuan menjadi pemimpin.  Mereka (>50 %) memandang perempuan layak jadi pemimpin di kementerian/lembaga dan perusahaan swasta, provinsi, kota/kabupaten dan DPRD di Indonesia. Cukup banyak juga (>45 %) yang menilai perempuan layak di BUMN dan BUMD. Hal ini sejalan dengan sikap terhadap kelayakan perempuan untuk bertarung secara politik dan mencalonkan diri (>40 %), serta berkiprah, dan menempati posisi tertinggi di bidang pendidikan (>45 %) dan pemerintah (>50%).


Dukungan untuk perempuan maju menjadi pemimpin cukup bervariasi tergantung pada negara, budaya, dan konteks sosial. Di beberapa negara beragam upaya dilakukan untuk mendukung perempuan jadi pemimpin. Di antaranya:


Pertama, kuota gender. Beberapa negara telah menerapkan kuota gender, baik dalam bentuk undang-undang atau kebijakan partai politik, yang memastikan representasi seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam posisi kekuasaan politik.


Di Indonesia, dukungan untuk perempuan menjadi pemimpin tertuang dalam regulasi keterwakilan perempuan. Kebijakan ini diatur Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada pengurus partai politik tingkat pusat. Undang-undang Pemilu juga mengatur penyelenggara pemilu wajib memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen baik untuk tim seleksi, KPU, dan Bawaslu.


Namun kebijakan afirmasi perempuan belum dilakukan secara maksimal. Data menunjukkan keterwakilan perempuan yang duduk di DPR RI tercatat hanya 20,4 persen, DPD RI 30, 14 persen. Hal yang sama terjadi pada lembaga penentu kebijakan yang belum berperspektif keadilan gender.


Kedua, pendidikan dan pelatihan. Banyak organisasi dan program telah dibentuk untuk menyediakan pelatihan kepemimpinan, dukungan, dan mentorship bagi perempuan yang ingin maju dalam karier politik atau pemimpin masyarakat.


Ketiga, jaringan dan organisasi perempuan. Ada jaringan dan organisasi khusus yang mendukung dan memperjuangkan hak-hak perempuan serta menyediakan tempat yang aman untuk berbagi pengalaman, membangun kemitraan, dan memperkuat keterampilan kepemimpinan.


Keempat, kampanye kesadaran. Kampanye sosial dan advokasi bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan mengubah persepsi negatif tentang perempuan dalam kepemimpinan. Kampanye ini membantu menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi perempuan untuk maju menjadi pemimpin.


Angka keterwakilan perempuan dalam kancah politik terus meningkat. Terutama di tingkat pusat, daerah dan kabupaten/kota. Dukungan perempuan maju menjadi pemimpin semakin meningkat. Namun apakah semua itu cukup untuk mendobrak realitas politik saat ini? Jawabannya ada di tangan Anda, perempuan muda Indonesia.