Risalah Redaksi

Bersama Atasi Krisis Kemanusiaan di Yaman

Ahad, 7 Februari 2021 | 12:30 WIB

Bersama Atasi Krisis Kemanusiaan di Yaman

Krisis kemanusiaan pada 80 persen penduduk Yaman yang mengalami kelaparan akibat perang yang kemudian diperparah oleh pandemi Covid-19. (Foto ilustrasi: pri.org)

Konflik di Yaman telah mengakibatkan seratus ribu lebih kematian yang sia-sia ditambah dengan jutaan rakyat yang kelaparan. Bagi Saudi Arabia dan sekutunya, peperangan ini telah menguras sumber daya keuangannya. Tak ada pihak yang diuntungkan dari situasi tersebut, kecuali para produsen senjata yang labanya terus meningkat dengan tambah banyaknya peluru yang ditembakkan.

 

Semakin lama konflik tersebut tidak terselesaikan, maka makin besar bencana kemanusiaan yang timbul. Malnutrisi yang terjadi pada anak-anak menimbulkan dampak pada penurunan tingkat kecerdasan mereka sepanjang hidup. Kekerasan yang tak berujung akan menjadi beban psikologis dalam jangka panjang. PBB melaporkan terjadinya krisis kemanusiaan pada 80 persen penduduk Yaman yang mengalami kelaparan akibat perang yang kemudian diperparah oleh pandemi Covid-19.

 

Perang ini dimulai ketika kelompok Houti yang didukung Iran menguasai wilayah barat Yaman. Hal ini menyebabkan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi menyelamatkan diri ke luar negeri. Arab Saudi yang bertetangga dengan Yaman bersama dengan UEA dan tujuh negara teluk lainnya melakukan intervensi pada awal 2015 guna memulihkan pemerintahan yang sah di Yaman.

 

Perang yang diperkirakan akan diselesaikan hanya dalam beberapa pekan ternyata tak berujung hingga kini. Blokode yang ditimbulkan pasukan koalisi menyebabkan keruntuhan ekonomi, sulitnya pekerjaan, dan susahnya masuk pasokan pangan yang memberi dampak pada 29 juta penduduk negeri tersebut. Akibat minimnya layanan kesehatan, wabah kolera menimbulkan dampak pada 1,1 juta orang.

 

Upaya perundingan yang difasilitasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa Swiss pada September 2018 tidak membuahkan hasil karena delegasi Houti tidak datang. Sebelumnya, Kuwait telah berusaha menginisiasi perundingan tersebut, tetapi gagal. Kedua belah pihak berhasil dipertemukan di Swedia pada Desember 2018, namun kemajuan nyata dalam perundingan ini belum tampak.

 

Serangan ke Yaman ini tak lepas dari dukungan pemerintahan Obama ketika ia masih berkuasa. Presiden AS selanjutnya, Donald Trump juga mendukung penuh koalisi pimpinan Saudi Arabia ini. Negara-negara Eropa seperti Inggris dan Perancis juga seia sekata tindakan ofensif tersebut. Namun demikian, situasi telah berbalik arah Ketika target tersebut tidak tercapai. Jerman dan Italia telah menghentikan penjualan senjata kepada Arab Suadi. Amerika Serikat di bawah Joe Biden mengambil langkah serupa yang mendorong penghentian perang ini.

 

Sudut pandang baru dengan pendekatan diplomatik untuk penyelesaian krisis ini menjadi harapan bagi jutaan rakyat Yaman yang selama enam tahun ini hidup di bawah ancaman kehilangan nyawa dan kekurangan pangan. Perubahan sikap dari negara-negara besar akan menjadi tekanan bagi Saudi Arabia dan sekutunya untuk mencari alternatif penyelesaian lain yang lebih menekankan pendekatan diplomatik.

 

Kawasan Timur Tengah tak pernah berhenti dari konflik bersenjata. Perang Irak dengan Iran terjadi sebanyak dua kali. Invasi Irak ke Kuwait. Suriah dan Libya hingga kini juga masih perang saudara. Belum lagi soal militan ISIS yang menjadi ancaman global. Di mana-mana, konflik dan perbedaan kepentingan merupakan hal yang lumrah, namun penyelesaian dengan senjata masih menjadi budaya di jazirah Arab.

 

Sebagai sebuah bangsa dan sesama Muslim, kita tentu prihatin dengan situasi yang terjadi di kawasan yang menjadi kelahiran agama Islam tersebut di mana sesama Muslim saling membunuh untuk menyelesaikan masalah. Uang yang sangat berharga, yang seharusnya bisa meningkatkan kualitas pendidikan atau kesehatan, dibelikan senjata untuk membunuh dan menghancurkan.

 

Kesadaran untuk mencari titik temu guna menghadapi persoalan yang lebih besar akan menyatukan berbagai perbedaan yang ada. Sebagai contoh, persoalan Palestina dengan Israel membutuhkan persatuan di antara sesama negara Muslim di jazirah Arab, namun karena sesama negara Arab saling berperang, persoalan besar tersebut tidak terselesaikan. Bahkan, nasib Palestina semakin terpuruk dengan semakin kuatnya Israel dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

 

Ambisi membangun dominasi regional dengan kekuatan otot senjata sebagaimana yang dilakukan oleh Arab Saudi dan Iran merupakan pendekatan lama yang tidak menghasilkan peningkatan peradaban manusia. Beberapa negara yang kini memiliki pengaruh besar di dunia membangun reputasinya dengan pengetahuan, teknologi, ekonomi, dan kebudayaan. Persaingan dalam bidang-bidang tersebut akan mendorong perbaikan kondisi kemanusiaan dalam berbagai bidang, sementara persaingan senjata akan menghancurkan apa yang selama ini sudah dibangun.

 

Jepang setelah luluh lantak dalam Perang Dunia II membangun kembali negaranya dengan teknologi dan kini Jepang menguasai dunia tanpa perlu menggunakan senjata. Korea Selatan yang hancur lebur karena perang saudara menggunakan teknologi yang disinergikan dengan kebudayaan. Produk-produk elektronik Korea Selatan merajai dunia sementara film dan musiknya kini menjadi tontonan favorit di seluruh dunia. Strategi yang sama dilakukan oleh Tiongkok yang kini pengaruhnya menyebar ke seluruh dunia dengan kemajuan ekonominya, yang akhirnya mampu membangun keseimbangan baru yang sebelumnya didominasi oleh Barat.

 

Negara-negara yang berusaha membangun kekuatan militer, membuat negara lain merasa terancam sehingga ada upaya untuk melakukan boikot atau embargo sebagaimana yang terjadi pada Iran dan Korea Utara. Akhirnya kondisi perekonomian terpuruk dan rakyat kebanyakan yang menjadi korbannya. Kekuatan yang dicita-citakan malah berujung pada kesengsaraan.

 

Jika kesadaran untuk menggunakan sumber daya yang dimiliki  untuk hal-hal yang lebih produktif, maka ambisi untuk berperang akan menurun di Timur Tengah. Yang ada bahkan saling bekerja sama untuk memaksimalkan keunggulan kompetitif dari masing-masing negara. Bukan hanya di Yaman yang sekarang sedang bergolak, seluruh kawasan pun akan menjadi tempat yang tenang dan damai.

 

Kita berharap persoalan di Yaman segera menemukan solusi bersama. Dengan demikian, penderitaan jutaan rakyat akan segera sirna. Saatnya kita berlomba-lomba untuk membangun peradaban, bukan untuk saling menghancurkan. (Achmad Mukafi Niam)