Risalah Redaksi

Joe Biden dan Nasib Dunia Muslim Pasca-Trump

Ahad, 8 November 2020 | 13:30 WIB

Joe Biden dan Nasib Dunia Muslim Pasca-Trump

Dengan segala kedigdayaannya, Amerika bertindak bak polisi dunia, yang sayangnya lebih didasarkan pada kepentingan nasionalnya dibandingkan dengan kepentingan dunia secara umum. (Foto: Twitter @joebiden)

Pemilihan presiden Amerika Serikat telah menahbiskan Joe Biden dari partai Demokrat sebagai pemenang dengan mengalahkan petahana Donald Trump yang mewakili partai Republik. Perubahan kepemimpinan di Amerika Serikat ini tentu akan menghasilkan perubahan kebijakan luar negeri negeri paman Sam, termasuk terkait dengan isu Palestina dan dunia Muslim secara umum. 


Dalam sejarah panjang konflik Palestina dengan Israel, Amerika merupakan pembela Israel yang sangat konsisten. Namun di bawah kepemimpinan Trump keberpihakan tersebut semakin nyata dan kuat. Selama hampir empat tahun berkuasa, Trump telah membuat sejumlah kebijakan kontroversial di dunia Muslim, terutama terkait dengan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dengan memindahkan kedutaan besar AS ke wilayah tersebut. Hal ini telah menimbulkan kemarahan masyarakat internasional mengingat aneksasi wilayah tersebut menurut mandat PBB tidak sah.


Gagasan lain Presiden Trump yang sebelumnya sukses sebagai pengusaha properti ini adalah Perjanjian Abad Ini yang sangat merugikan Palestina dengan pencaplokan Tepi Barat dan Lembah Yordan. Palestina tidak hadir dalam perjanjian tersebut sebagai bentuk ketidaksepakatan atas poin-poin yang dihasilkan. Pendirian pemukiman-pemukiman ilegal di Tepi Barat juga terus dilakukan karena adanya pembiaran yang dilakukan oleh Amerika Serikat. 


Kebijakan Trump terkait dengan Israel merupakan bagian dari janji kampanyenya terhadap para pemilih Yahudi yang tinggal di Amerika Serikat. Atas kebijakan tersebut, tak heran dia mendapat dukungan penuh dari para pemeluk Yahudi di Israel sekalipun kurang disukai oleh Yahudi di AS. Jika kekuasaannya berlanjut sampai empat tahun ke depan, maka nasib rakyat Palestina semakin menderita. 


Sementara itu Joe Biden, berusaha menggalang simpati dari umat Islam dengan mengatakan bahwa suara mereka penting. Tak ketinggalan, ia sempat mengutip sebuah hadits Nabi tentang upaya melawan kemungkaran. Bahwa Nabi memerintahkan seseorang yang melihat kemungkaran untuk mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, mengubah dengan lisannya; dan jika itu pun tidak mampu, mengubah dengan hatinya. Itu pun selemah-lemahnya iman. Ini merupakan hadits yang sangat terkenal di kalangan umat Islam. 


Umat Islam tentu berharap adanya pendekatan baru kebijakan luar negari Amerika Serikat terhadap dunia Islam di bawah kepemimpinan Joe Biden. Kebijakan yang diterapkan Trump atas Palestina perlu dirundingkan ulang dengan lebih memberi hak-hak rakyat Palestina yang selama ini terabaikan.


Konflik Yaman yang dimotori oleh Saudi Arabia dengan dukungan Amerika Serikat telah menimbulkan banyak korban sipil. Konflik ini merupakan bagian dari perang proksi antara Saudi Arabia dengan Iran untuk memperebutkan pengaruh regional. Semakin lama konflik ini tidak terselesaikan maka semakin besar penderitaan rakyat sipil. Penderitaan warga sipil terutama terjadi karena kelaparan akibat minimnya bahan pangan yang tersedia. Keputusan AS terkait dengan konflik tersebut akan mempengaruhi upaya penyelesaian.


Trump juga keluar dari kesepakatan nuklir Iran dengan memberikan tekanan maksimum kepada negeri para mullah ini untuk menghentikan program nuklirnya. Alih-alih upaya itu berhasil, Iran malah berhenti melakukan beberapa pembatasan nuklirnya. Biden berpendapat bahwa tekanan tersebut gagal dan ia menyatakan akan mencoba kembali dalam kesepakatan tersebut dengan memastikan kepatuhan Iran. 


Bagi Muslim Indonesia, Trump cenderung kurang mendapat simpati, mengingat sikapnya yang kurang bersahabat dengan negara-negara Muslim. Berbeda dari Obama yang melakukan kunjungan ke Indonesia pada 2010 setelah setahun menjabat sebagai presiden, Trump sama sekali tidak melakukan kunjungan ke Indonesia. Baru pada 29 Oktober 2020 lima hari menjelang pemilihan presiden yang menentukan nasib Trump untuk periode kedua, Menlu Mike Pempeo sebagai pejabat yang paling berkuasa untuk urusan luar negeri AS berkunjung ke Indonesia. 


Sebagai sebuah negara adidaya, apa yang terjadi di Amerika mempengaruhi negara-negara lainnya di dunia. Presiden sebagai penguasa tertinggi sangat menentukan arah kebijakan yang dibuatnya. Amerika memiliki kekuatan ekonomi terbesar di dunia, juga kekuatan militer terkuat di dunia. Inovasi-inovasi teknologi terbaru muncul di negara tersebut, serta beragam kelebihan lain yang tidak dimiliki oleh negara lain. 


Dengan segala kedigdayaannya, Amerika bertindak bak polisi dunia, yang sayangnya lebih didasarkan pada kepentingan nasionalnya dibandingkan dengan kepentingan dunia secara umum. Jika kita lihat catatan sejarah, baik presiden dari partai Republik atau partai Demokrat sama-sama menyulut peperangan di sejumlah negara, termasuk negara-negara Muslim seperti di Irak dan Afganistan. 


Berbagai strategi digunakan AS untuk mengamankan kepentingannya. Pada satu sisi, mereka menekan negara lain dengan menggunakan isu hak asasi manusia. Tapi pada sisi lain, mereka membiarkan perilaku sekutunya yang tiran tetapi memberi keuntungan secara ekonomi. Untuk itu, keberimbangan kekuatan global perlu diciptakan supaya terjadi mekanisme kontrol, supaya kekuatan besar tidak seenaknya menentukan nasib bangsa atau pihak lain. 


Dunia Muslim perlu bersatu untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. Pihak luar tidak dapat diharapkan sebagai yang paling adil dalam upaya penyelesaian tersebut karena mereka memiliki kepentingannya sendiri yang tidak selalu selaras dengan kepentingan Muslim secara keseluruhan. Namun, para pemimpin dunia yang menunjukkan sikap bersahabat dan bersedia bekerja sama menyelesaikan permasalahan global tentu layak untuk disambut dan dihormati. (Achmad Mukafi Niam)