Risalah Redaksi

Memperhatikan Kesejahteraan Para Pegiat Dakwah saat Covid-19

Ahad, 17 Mei 2020 | 12:00 WIB

Tak banyak yang menyadari para aktivis Islam atau pegiat dakwah merupakan orang-orang yang sangat terdampak wabah Covid-19. Selama ini sebagian besar mereka mendapat dukungan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari berupa honor yang mereka terima ketika berdakwah atau mengajarkan ilmu agama Islam. Ketika kegiatan-kegiatan keagamaan yang bersifat kumpulan jamaah berhenti, otomatis pendapatan yang mereka terima ketika mengisi acara-acara tersebut juga tidak mereka dapatkan.
 
Di masyarakat, terdapat konvensi yang tak tertulis bahwa ketika mereka mengundang para kiai atau ustadz untuk mengaji, mengisi majelis taklim, termasuk ketika menyampaikan khutbah Jumat, mereka memberi uang honor. Tak ada tarif resmi yang ditetapkan tetapi semakin terkenal dai yang diundang, umumnya semakin besar honor yang diberikan. Akhirnya, dengan berjalannya waktu karena jadwal pengajiannya padat dan honor yang diterima cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup bulanan, sebagian dari mereka mengandalkan penghasilannya dari aktivitas tersebut.
 
Orang-orang yang menekuni bidang keagamaan sebagai sumber kehidupan banyak terjadi di kawasan Jakarta dan sekitarnya atau di kota-kota besar lainnya di mana pemisahan profesi sudah berlangsung secara ketat. Umumnya, masyarakat fokus pada satu atau dua pekerjaan sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lainnya, mereka mengandalkan jasa pihak luar, termasuk ketika memenuhi kebutuhan ritual keagamaan.
 
Situasi berbeda terjadi di daerah rural di mana para pegiat dakwah umumnya memiliki sumber penghasilan lain di luar honor-honor yang diberikan oleh masyarakat. Aktivitas pengajian dilakukan di malam hari seusai bekerja atau di sela-sela pekerjaan yang umumnya lebih fleksibel. Mereka juga mengalami kesulitan sebagaimana umumnya anggota masyarakat yang lain, namun lebih disebabkan karena usaha yang mereka geluti menurun atau berhenti beraktivitas.
 
Masalahnya, para aktivis dan pegiat dakwah tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah profesi dan para pelakunya juga tidak bersedia menyebut aktivitas yang dilakukannya sebagai sebuah pekerjaan, sekalipun sebagian dari mereka mendapatkan penghasilan dari situ. Di sisi lain, ketika aktivitas berhenti dan mereka tidak mendapatkan penghasilan, mereka tidak mendapatkan pesangon seperti karyawan yang mengalami pemberhentian hubungan kerja (PHK). Jika pun mereka bekerja, biasanya tak jauh-jauh dari aktivitas keagamaan seperti mengajar di madrasah, pesantren, atau perguruan tinggi Islam—itu pun dengan gaji tak besar-besar amat. Banyak dari lembaga pendidikan Islam tersebut saat ini juga mengalami kesulitan keuangan.
 
Yang muncul di media dan mendapatkan perhatian masyarakat untuk disumbang adalah ojek daring atau para pekerja formal yang kemudian mengalami PHK. Para dai tak masuk hitungan sebagai orang yang layak dibantu. Sebagian lembaga yang memiiki kesadaran tentang itu, seperti LAZISNU dan Kementerian Agama, telah memberikan perhatian, tetapi jumlah orang yang bisa dijangkau masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah orang yang seharusnya mendapatkan dukungan.
 
Sebagai orang yang selama ini dihormati masyarakat karena memberikan bimbingan keagamaan, umumnya mereka juga enggan untuk meminta bantuan kepada orang lain. Apalagi selama ini honor-honor yang diterima cukup memadai sehingga sebagian dari mereka telah masuk kategorik kelompok masyarakat berpendapatan menengah. Namun, aktivitas keagamaan yang berhenti selama beberapa bulan terakhir menyebabkan sumber penghasilan mereka benar-benar berhenti.
 
Dalam situasi seperti ini, masyarakat sudah selayaknya memberi perhatian kepada mereka sekalipun para dai tersebut tidak meminta bantuan. Sikap diam bukan berarti mereka tidak membutuhkan bantuan. Masjid tempat para ustadz biasanya berkhutbah atau mengisi kajian sangat dianjurkan untuk memberi dukungan yang diperlukan. Alokasi dana yang biasanya digunakan untuk pembangunan fisik sebaiknya digunakan untuk memperhatikan nasib para pegiat dakwah. Apalagi momentum saat ini tepat ketika banyak orang membayar zakat mal.
 
Para aghniya yang selama ini rutin menjadi donatur masjid atau kegiatan keagamaan Islam sudah selayaknya memperhatikan masalah yang menimpa orang-orang yang selama ini mengurusi umat. Jika ditanggung bersama-sama, tentu beban tersebut akan terasa lebih ringan. Jika persoalan kebutuhan hidup dapat diatasi, mereka dapat berkonsentrasi mengurusi berbagai persoalan yang menimpa umat.
 
Menjadi pendakwah merupakan sebuah pilihan hidup. Sebagian besar memilih jalan tersebut karena sebuah panggilan jiwa untuk terus merawat dan menjaga nilai-nilai Islam dalam masyarakat. Pilihan untuk menekuni bidang dakwah sebagai sumber kehidupan juga tak ada salahnya. Dalam dunia yang semakin terspesialisasi, fokus pada bidang tertentu akan meningkatkan kompetensi. Mereka yang melayani kebutuhan layanan keagamaan masyarakat akan dapat melakukannya dengan lebih baik dibandingkan jika harus serabutan melakukan banyak pekerjaan.
 
Para pendakwah Islam dalam berbagai sebutannya, kiai, ustadz, dai, tengku, dan lainnya merupakan ruh dari hidupnya kegiatan keagamaan di masyarakat. Bukan bangunan indah yang menghabiskan biaya mahal yang membuat masjid menjadi makmur, tetapi keberadaan para pegiat dakwah yang dengan setia mengisi kajian-kajian yang ada di dalamnya. Kini saatnya kita memperhatikan kesulitan yang mereka alami untuk menjaga agar ghirah dakwah tetap bersinar. (Achmad Mukafi Niam)