Risalah Redaksi

Mengatur Pengeras Suara demi Ketenangan Bersama

Ahad, 27 Februari 2022 | 19:00 WIB

Mengatur Pengeras Suara demi Ketenangan Bersama

Mengatur Pengeras Suara demi Ketenangan Bersama. (Foto: NU Online/Mahbib)

Humor Gus Dur tentang umat Islam sebagai umat yang paling jauh dengan tuhan, karena memanggil tuhan dengan pengeras suara sesungguhnya merupakan ajakan dari Gus Dur untuk melakukan refleksi dengan cara yang tidak menimbulkan ketersinggungan terkait pengeras suara yang diputar dengan volume tinggi.

 

Urusan pengeras suara luar di masjid kembali menjadi perbincangan publik ketika Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran yang mengatur volume dan waktu penggunaan pengeras suara. Pihak yang setuju menyatakan dukungannya bahwa suara adzan, tarhim, atau apa pun kegiatan ibadah lainnya yang tidak diatur volumenya mengganggu ketenangan publik. Sementara itu pihak yang kontra berpendapat, urusan volume pengeras suara sebaiknya dimusyawarahkan sesama pemangku kepentingan di sekitar masjid dan mushala. Kemenag tidak perlu ikut-ikut mengatur sejauh itu.

 

Hampir seluruh Muslim Indonesia yang hidup hingga kini, dari lahirnya sudah akrab dengan pengeras suara yang keras dari masjid dan mushala. Dalam alam pikiran banyak orang, itu adalah suatu kemestian yang tidak lagi perlu dipertanyakan. Ada orang yang menikmati datangnya suara-suara tersebut, bagi Muslim juga non-Muslim, tapi juga harus diakui bahwa dengan keragaman yang ada, terutama di kawasan urban maka penghormatan atas hak orang lain untuk mendapatkan ketenangan mesti mendapat perhatian.

 

Di sejumlah tempat terjadi protes atas pengeras suara masjid yang terlalu keras, namun pengurus masjid bereaksi secara berlebihan, bahkan ada yang sampai masuk penjara karena dijerat pasal penodaan agama seperti yang dialami oleh Meliana, seorang perempuan Tionghoa non-Muslim asal Tanjung Balai Medan Sumatera Utara. Peristiwa yang terjadi pada 2016 itu sampai menimbulkan kerusuhan sosial dengan rusaknya 3 wihara, 8 kelenteng, dua yayasan Tionghoa, dan satu tempat pengobatan. Mereka yang merasa terganggu dengan suara dari masjid yang terlalu keras, akhirnya hanya bisa mengeluh sendirian, tanpa berani menyampaikan aspirasinya.

 

Muslim di Indonesia termasuk masyarakat yang sangat taat dalam beragama. Agama menjadi bagian sangat penting dalam kehidupan. Adzan yang diserukan dari masjid untuk mengajak masyarakat menunaikan shalat lima waktu menjadi bagian dari syiar agama. Dalam konteks ini, mereka yang mengeluh soal kerasnya suara adzan dianggap menghambat syiar Islam atau bahkan menistakan Islam. Apalagi jika yang memprotes non-Muslim. Ini bisa menjadi persoalan serius yang memancing kemarahan publik dan berakibat fatal seperti yang dialami Meliana.

 

Teknologi pengingat waktu shalat berkembang pesat. Pada masa lalu, masjid memiliki menara yang tinggi supaya adzan dapat dikumandangkan dari ketinggian sehingga suara terdengar nyaring. Tradisi lokal di Indonesia mengadopsi suara kentongan dan bedug sebagai penanda waktu shalat. Kemudian muncul pengeras suara yang kini menjadi alat yang digunakan di sebagian besar masjid dan mushala. Belakangan, muncul pula sejumlah aplikasi penanda waktu shalat yang dapat menyesuaikan waktu shalat sesuai dengan lokasi. NU Online juga telah mengembangkan super app yang di dalamnya telah tersedia layanan waktu dan pengingat shalat.

 

Tingkat kebutuhan masyarakat pada volume adzan berbeda di setiap lokasi atau berubah seiring dengan perkembangan zaman. Di daerah pedesaan di mana penduduk jarang dan lokasi rumah berjauhan, suara adzan yang keras menjadi relevan. Mereka yang bekerja di sawah, ladang, atau kebun yang mungkin jaraknya satu atau dua kilometer dari masjid dapat bergegas pulang untuk menunaikan shalat.

 

Di pedesaan, suara keras bukan hanya datang dari masjid. Masyarakat yang sedang menggelar hajatan banyak yang memutar musik keras-keras, bahkan hingga semalam suntuk. Masyarakat menerimanya sebagai toleransi terhadap keluarga yang sedang punya hajat, yang sedang berbahagia karena ada anggota keluarga menikah atau hajat apa pun. Toh, itu juga tidak tiap hari.

 

Di daerah urban, banyak rumah warga menempel dengan dinding tembok masjid. Suara yang terlalu keras, yang dikumandangkan minimal lima kali dalam sehari dapat mengganggu aktivitas warga, mereka yang sedang sakit, orang berusia lanjut yang butuh istirahat, karyawan yang sedang rapat daring, siswa yang sedang belajar, dan berbagai aktivitas masyarakat yang sekarang semakin beragam dan padat.

 

Masyarakat urban merupakan kelompok yang kompetitif. Tuntutan untuk menjadi pemenang atau menjadi nomor satu sangat tinggi. Dalam dunia kerja pun, mereka dituntut untuk berkinerja baik. Hal-hal tersebut menuntut konsentrasi dan fokus. Jumlah masjid dan mushala yang terus berkembang menimbulkan suara bersahut-sahutan saat masuk waktu shalat. Akibat situasi tersebut, banyak orang enggan punya rumah dekat masjid. Harga properti dekat masjid dan tempat ibadah lainnya pun lebih rendah dibandingkan dengan lokasi lainnya.

 

Mengingat adanya perbedaan situasi dan kondisi serta budaya di setiap lokasi, idealnya hal tersebut cukup diatur melalui musyawarah bersama antara takmir masjid dan masyarakat mengenai besarnya volume pengeras suara atau kapan saja pengeras suara luar dapat digunakan.

 

Sayangnya, realitas di lapangan tidak selalu ideal. Sebagian takmir masjid merasa punya otoritas tanpa dapat diganggu gugat untuk menentukan volume pengeras suara. Apalagi jika mereka punya jamaah militan yang siap mendukung kebijakan takmir. Jika keluhan sebagian Muslim saja tidak didengar, maka suara non-Muslim, oleh sebagian takmir dianggap sebagai kelompok liyan yang aspirasinya tidak dianggap. Dengan demikian, aturan terkait pengeras suara diperlukan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang berada di sekitar masjid dan tempat ibadah lainnya.

 

Di negara-negara maju, pengaturan volume suara untuk menjaga ketenangan komunitas sudah menjadi hal yang lumrah. Suara adzan masuk dalam kategori tersebut. Beberapa negara Muslim seperti Arab Saudi, Mesir, Yaman, Uni Emirat Arab (UEA) juga telah melakukan pengaturan volume adzan. Ketika kebijakan diterapkan, kontroversi publik pun muncul sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat ini.

 

Islam adalah agama yang diturunkan untuk membawa rahmat bagi seluruh alam. Perbedaan pandangan antara para takmir masjid dapat dijembatani dengan sosialisasi dan komunikasi yang baik. Niat baik yang disampaikan dengan cara yang tidak tepat malah kontraproduktif; musyawarah dengan warga dan pemangku kepentingan lainnya dapat mencari solusi bersama. Selanjutnya, aturan dan sanksi dapat diterapkan demi menjaga kepentingan bersama. (Achmad Mukafi Niam)