Risalah Redaksi

Mewaspadai Penumpang Gelap dalam RUU Cipta Kerja

Ahad, 23 Februari 2020 | 05:30 WIB

Mewaspadai Penumpang Gelap dalam RUU Cipta Kerja

Diskusi dan pembahasan secara mendalam harus dilakukan agar UU ini berkualitas.

RUU Cipta Kerja yang digagas untuk menyederhanakan sejumlah peraturan investasi dan ketenagakerjaan mengundang banyak kontroversi karena dianggap lebih condong pada kepentingan para pengusaha dan investor dibandingkan dengan kepentingan para buruh dan lingkungan. Salah satunya adalah kemudahan pengusaha dalam melakukan PHK.  Para aktivis lingkungan juga menolak beberapa pasal yang dianggapnya tidak pro lingkungan. Regulasi memang harus sederhana dan memberi kemudahan. Namun, hal tersebut tidak dapat menjadi alasan untuk mengeksploitasi buruh dan lingkungan.

Penyederhanaan dan harmonisasi menjadi krusial karena saat ini terdapat sedemikian banyak UU dan aturan turunannya yang seringkali tidak sinkron, tumpang tindih, bahkan bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Bukannya mengatur dengan lebih baik, situasi seperti ini menyebabkan perkembangan ekonomi Indonesia terhambat sementara di sisi lain, Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain yang memberi kemudahan dalam investasi. 

Karena menyangkut banyak pihak, maka masing-masing berusaha mengamankan kepentingannya. Pengusaha, buruh, pemerintah, atau pemangku kepentingan lainnya memiliki prioritas yang berbeda-beda. Para pengusaha ingin kemudahan investasi dengan penghilangan sejumlah aturan yang selama ini berbelit-belit dan panjang. Mereka juga berkepentingan terhadap fleksibilitas perekrutan dan pemberhentian tenaga kerja. Selama ini mereka sangat berhati-hati dalam merekrut pegawai tetap karena sulitnya melakukan pemutusan hubungan kerja ketika situasi bisnis sedang sulit. Akibatnya, pasar kerja menjadi kaku. Lulusan baru yang belum mendapat kerja, sangat sulit mendapat pekerjaan karena situasi tersebut.

Sementara itu, buruh merasa selama ini pengusaha sudah melakukan eksploitasi terhadap tenaga kerja dengan gaji rendah, menggunakan tenaga alih daya, atau bahkan menggantikan tenaga kerja manusia dengan mesin.  Dari tahun ke tahun, kondisi buruh tetap saja menderita sementara sementara aset para pengusaha terus meningkat sebagaimana tercermin dari ketimpangan kepemilikan. Para buruh hanya mampu tinggal di kontrakan, rumah petak, atau punya rumah, tetapi lokasinya jauh dari tempat kerja. Sebaliknya, para pengusaha hidup dengan nyaman di rumah mewah dengan fasilitas yang lengkap. Perbedaan kualitas hidup antara pengusaha dan buruh ibarat jurang dengan langit. Wajar jika buruh menuntut keamanan kerja dan perbaikan nasib.

Pengusaha memiliki daya tawar yang lebih tinggi dibandingkan dengan buruh karena penawaran tenaga kerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan kesempatan kerja. Pemecatan merupakan sebuah bencana karena sangat sulit mendapatkan pekerjaan baru sementara banyak kebutuhan bulanan harus tetap dibayar, apalagi dalam masyarakat yang semakin mengandalkan berbagai kebutuhan hidup dengan pembelian secara kredit. Untuk itu, buruh melalui asosiasi-asosiasinya bersatu memperjuangkan kepentingan yang melindungi mereka dari pemecatan semena-mena. Setiap peringatan Hari Buruh tanggal 1 Mei, mereka melakukan demo besar-besaran guna memperjuangkan tuntutan perbaikan nasib. Pantas jika mereka menolak RUU Cipta Kerja yang menghapus hasil perjuangannya selama ini yang sudah masuk dalam UU Ketenagakerjaan.

Pemerintah berkepentingan agar situasi sosial ekonomi tetap aman dan terkendali, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta tingkat pengangguran yang rendah. Jika buruh sering melakukan demo, maka aktivitas masyarakat akan sering terganggu atau membuat investor berpikir ulang untuk melakukan investasi. Jika aturan-aturannya terlalu banyak, maka pertumbuhan ekonomi menjadi lambat karena investasi yang minim. Akibatnya, kinerja pemerintah dianggap buruk oleh rakyat. Pajak yang menjadi sumber pendapatan pemerintah akan turun jika aktivitas ekonomi menurun. Tingkat pengangguran pun melonjak.

Kelompok lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah para lulusan baru yang berusaha masuk  ke pasar kerja. Selama ini, tidak ada lembaga yang memperjuangkan kepentingannya dalam konteks perburuhan sebagaimana Apindo mewakili pengusaha atau serikat buruh mewakili para buruh. Pengusaha dengan jejaring dan modalnya yang besar memiliki posisi kuat dalam negosiasi. Serikat buruh, melindungi kelompok yang sudah masuk dalam lingkungannya agar tidak diperlakukan semena-mena sedangkan lulusan baru, harus bersaing keras dengan sesamanya dalam pasar kerja yang kaku dan semakin sempit karena penggunaan teknologi sebagai pengganti tenaga manusia. 

Rancangan UU sudah diajukan ke DPR dan masuk dalam tahap pembahasan. Publik perlu melakukan pengawasan pasal per pasal dan dampak yang akan ditimbulkannya bagi masyarakat secara luas. Terdapat pasal yang dihilangkan karena sudah diatur dalam UU lainnya supaya tidak tumpang tindih. Tetapi mungkin juga ada upaya mengambil kesempatan dari kelompok kepentingan tertentu demi keuntungannya. Masing-masing berusaha memperkuat posisinya dalam proses pembuatan UU ini karena begitu disahkan, maka semuanya harus patuh.

Sikap kritis perlu dikedepankan karena para anggota DPR yang membuat UU pun tak bebas dari kepentingan. Tercatat, sebanyak 45,5 persen atau 262 anggota DPR RI periode 2019-2024 berprofesi sebagai pengusaha. Ada potensi besar bahwa mereka lebih banyak memikirkan kepentingan pengusaha dibandingkan dengan kepentingan kelompok lain. Partai oposisi yang lemah karena adanya koalisi besar dalam pemerintahan menyebabkan sulitnya sikap kritis di kalangan anggota parlemen sendiri. Kita telah berpengalaman terhadap upaya mengesahkan beberapa UU kontroversial dalam rapat paripurna terakhir DPR RI periode 2014-2019. Pembatalan RUU kontroversial baru dilakukan setelah adanya tekanan massa melalui demo besar-besaran di sejumlah kota. Dengan demikian, pengawasan ketat perlu dilakukan dalam proses legislasi ini.

Diskusi dan pembahasan secara mendalam harus dilakukan agar UU ini berkualitas. Pemerintah dan DPR mesti mendengar aspirasi rakyat karena untuk itulah mereka itu dipilih. Para pemangku kepentingan tenaga kerja mesti mencari titik temu atas berbagai kepentingan yang saling bertentangan demi manfaat yang lebih besar, yaitu kemajuan dan kesejahteraan bersama seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, ada banyak aspek lain yang juga perlu diperbaiki dalam menumbuhkan iklim investasi yang kondusif. (Achmad Mukafi Niam)