Risalah Redaksi

Pelajaran Penting soal Regenerasi Pemimpin dalam Muktamar Ke-34 NU

Ahad, 9 Januari 2022 | 17:30 WIB

Pelajaran Penting soal Regenerasi Pemimpin dalam Muktamar Ke-34 NU

Salah satu tanda keberhasilan pemimpin adalah menyiapkan kader baru yang meneruskan estafet kepemimpinan organisasi.

Muktamar ke-34 NU memberikan pelajaran penting terkait pembatasan masa kepemimpinan ketua umum tanfidziyah NU. Pengurus wilayah dan cabang secara umum berpendapat bahwa masa jabatan ketua umum PBNU maksimal cukup dua periode sekalipun hal tersebut tidak diatur dalam AD/ART. Ini yang menjadi salah satu faktor mengapa lebih banyak PWNU dan PCNU yang memilih KH Yahya C. Staquf sebagai ketua umum baru.

 

Pola dua periode ini telah berjalan cukup mapan di PWNU Jatim yang merupakan basis paling penting NU. Ketua NU Jatim dari era 90-an hingga kini, KH Hasyim Muzadi, KH Ali Maschan Moesa, sampai dengan KH Hasan Mutawakkil Alallah, semuanya menjabat tidak lebih dari dua periode. Dengan demikian, tak heran jika PWNU Jawa Timur menjadi wilayah yang dari awal getol mengampanyekan perlunya regenerasi kepemimpinan PBNU dalam muktamar ke-34 NU.

 

Jika berhasil dipertahankan dan diperluas di seluruh tingkat kepengurusan NU serta lembaga dan badan otonom, pola regenerasi kepengurusan NU akan lebih tertata.

 

Usulan untuk membatasi periode jabatan di lingkungan pengurus tanfidziyah maksimal dua periode berulang kali masuk dalam forum muktamar NU tapi selalu gagal diputuskan menjadi aturan dalam AD/ART. Alasan yang muncul umumnya adalah, untuk daerah tertentu ada yang belum siap atau jika seorang pemimpin berprestasi dan masih dikehendaki, mengapa perlu dibatasi?

 

Bukan berarti kepemimpinan sebelumnya kurang berhasil. KH Said Aqil Siroj dalam masa kepemimpinannya selama dua periode dari tahun 2010-2021 telah melakukan banyak hal untuk organisasi seperti pendirian puluhan universitas NU, rumah sakit, gedung, menggerakkan roda organisasi, menggalang kerja sama internasional, dan lainnya. Peserta muktamar juga menerima laporan pertanggungjawabannya dengan baik.

 

Kesadaran soal pembatasan masa kepemimpinan muncul terutama di kalangan generasi muda yang kini banyak menjadi ketua tanfidziyah di wilayah dan cabang. Mereka berkaca pada pola rekrutmen kepemimpinan negara yang selama ini juga sudah diatur maksimal dua periode. Pandangan tersebut mungkin akan semakin kuat di masa depan ketika kepemimpinan di berbagai tingkat kepengurusan NU merupakan para kader yang lahir di era 80-an dan 90-an atau generasi berikutnya. Dengan demikian, ketua umum PBNU saat ini atau setelahnya, akan memiliki kesadaran yang lebih kuat bahwa masa khidmat mereka cukup dua periode dan untuk itu, mereka sudah harus menyiapkan kader penggantinya.

 

Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah, apakah hal tersebut akan diformalkan dengan menjadikannya sebagai aturan dalam AD/ART atau sekadar konvensi yang tidak tertulis. Aturan formal akan memperkuat dan menegaskan bahwa maksimal jabatan ketua umum dua periode. Ini akan mencegah siapa pun ketua umum yang sudah berkuasa selama dua periode untuk mencoba menjabat periode berikutnya. Aturan ini juga akan menjadi acuan bagi badan otonom NU untuk lebih konsisten melaksanakannya.

 

Jika dibuat konvensi maka hal ini akan memberi fleksibilitas jika ada situasi darurat yang mungkin saja dihadapi NU di masa depan. Pada masa Orde Baru, pemerintah pernah berusaha mengendalikan NU dengan mendukung Abu Hasan pada Muktamar Cipasung tahun 1994. Gus Dur yang sudah menjabat dua periode kemudian maju lagi untuk melawan kehendak penguasa. Jika ada batasan maksimal kepengurusan waktu itu, ada kemungkinan bahwa kepemimpinan NU di bawah kendali pemerintah. Situasi genting tersebut akan jarang terjadi, tetapi ruang untuk menjaga kemungkinan seperti itu tetap harus disiapkan.

 

Apa yang terjadi dalam muktamar ke-34 NU akan berpengaruh terhadap proses kepemimpinan ketua tanfidziyah di tingkat PWNU dan PCNU. Dorongan untuk mencukupkan jabatan ketua tanfidziyah maksimal dua periode di masing-masing tingkatan akan semakin kuat. Dalam kondisi seperti itu maka para ketua tanfidziyah yang sudah menjabat untuk periode kedua mesti menyiapkan penggantinya supaya regenerasi berjalan dengan lancar, supaya hasil-hasil kerjanya dapat diteruskan karena keberhasilan sebuah kepemimpinan adalah ketika pemimpin berhasil mengader para pemimpin baru.

 

Pada masa lalu, semakin lama orang menjadi pemimpin organisasi mereka akan semakin bangga karena hal tersebut dianggap sebagai sebuah prestasi. Namun di masa yang akan datang, kebanggaan bukan lagi diukur oleh berapa lama memimpin sebuah organisasi, tetapi apa yang dihasilkan dan diwariskan selama memimpin tersebut.

 

Selama era Orde Baru, NU mengalami tekanan keras. Di daerah-daerah tertentu yang tidak menjadi basis, mencari kader NU yang siap memimpin dan melawan tirani pemerintah mungkin agak sulit, namun saat ini NU menjadi sebuah kekuatan yang diperhitungkan oleh banyak pihak. Menjadi pengurus atau ketua merupakan posisi strategis yang memberinya modal sosial dan akses ke banyak hal.

 

Pada masa lalu, sebagian besar warga NU terkonsentrasi di pulau Jawa, dan lebih khusus lagi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kini warga NU mengalami mobilisasi vertikal dan persebaran secara horizontal ke seluruh Indonesia, bahkan tinggal di kota-kota besar dunia dalam bentuk Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU. Tak ada alasan kesulitan mencari pengurus NU.

 

Akses pendidikan yang lebih baik serta keterlibatan para aktivis NU dalam berbagai organisasi, baik di pemerintahan, LSM, lembaga pendidikan tinggi, lembaga internasional, maupun sektor bisnis memberi pelajaran kepemimpinan yang baik. Para aktivis dan pengurus telah siap untuk memimpin NU dalam berbagai tingkatan secara mumpuni.

 

Jika ada kesadaran bahwa ketua umum tanfidziyah cukup dua periode maka hal yang sama seharusnya juga berlaku di lingkungan badan otonom NU. Khofifah Indar Parawansa telah memimpin Muslimat NU selama empat periode dari tahun 2000 hingga saat ini. Demikian pula, hal yang sama terjadi pada Habib Luthfi bin Yahya telah memimpin Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman) dari tahun 2000 hingga saat ini.

 

Sesungguhnya, masa jabatan badan otonom telah diatur. Jika merujuk pada hasil muktamar ke-33 NU tahun 2015 di Jombang, Anggaran Dasar pasal 16 ayat 3 berbunyi Masa Khidmah Ketua Umum Pengurus Badan Otonom adalah 2 (dua) periode, kecuali Ketua Umum Pengurus Badan Otonom yang berbasis usia adalah 1 (satu) periode. Untuk AD/ART hasil muktamar ke-34, masih menunggu finalisasi. Namun jika tidak ada perubahan maka aturan organisasi tersebut mesti dikawal supaya bisa berjalan dengan baik, demi regenerasi kepemimpinan NU yang lebih tertata. (Achmad Mukafi Niam)