Risalah Redaksi

PR Baru Setelah Penetapan Hari Santri dan Pengesahan UU Pesantren

Ahad, 24 Oktober 2021 | 08:15 WIB

PR Baru Setelah Penetapan Hari Santri dan Pengesahan UU Pesantren

Peringatan Hari Santri mesti jadi momentum untuk terus memperjuangkan nasib santri yang dalam beberapa hal, masih tertinggal dibandingkan dengan kelompok lain di Indonesia. (Ilustrasi: NU Online/Romzi Ahmad)

Penetapan Hari Santri dan pengesahan UU Pesantren merupakan bentuk apresiasi dan afirmasi kepada kaum santri yang semenjak dahulu kurang mendapatkan perhatian atas perannya dalam memperjuangkan berdirinya Republik Indonesia, memberdayakan, dan mendidik masyarakat di Nusantara supaya menjadi muslim yang lebih baik.

 

Setiap tanggal 22 Oktober yang bertepatan dengan hari peringatan Resolusi Jihad, peringatan Hari Santri selalu dirayakan dengan meriah. Pengurus NU di berbagai tingkatan dan pesantren menggelar berbagai acara untuk mensyukuri hal tersebut. Peringatan Hari Santri mesti dijadikan momentum untuk terus memperjuangkan nasib santri yang dalam beberapa hal, masih tertinggal dibandingkan dengan kelompok lain di Indonesia.

 

Selanjutnya, pemberlakukan UU Pesantren yang telah disahkan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan yang diselenggarakan di pesantren. Pendidikan merupakan faktor kunci dalam pengembangan sumber daya manusia. Para santri yang memiliki akses pendidikan lebih baik memiliki peluang lebih tinggi dalam mengisi posisi-posisi strategis atau berperan lebih banyak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

 

Politik pendidikan sudah diterapkan sejak zaman Belanda. Penguasa kolonial hanya mengizinkan akses pendidikan kepada kelompok bangsawan dan golongan elit. Ini merupakan kesadaran bahwa pendidikan yang baik bagi kelompok pribumi dapat mengancam kekuasaan mereka. Subsidi pendidikan terbesar diberikan kepada sekolah zending, kemudian kepada sekolah Katolik, dan terakhir baru kepada sekolah Islam. Kalangan pesantren tetap menjadi sumber perlawanan terhadap pemerintah kolonial dengan bersikap nonkooperatif.

 

Pada era awal kemerdekaan pun, pesantren tetap kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Lembaga pendidikan yang telah melahirkan banyak pejuang ini hanya dianggap sebagai tempat pendidikan informal yang tidak mendapatkan bantuan secara layak dari pemerintah. Pesantren dihidupi oleh komunitasnya di mana masyarakat memberikan bantuan-bantuan yang diperlukan supaya pesantren dapat berjalan.

 

Ketika zaman berganti, upaya memberdayakan santri dan pesantren terus dilakukan. Namun, perjalanannya bukan hal yang mudah. Bahkan ketika terdapat usulan penetapan Hari Santri, terdapat ormas Islam di Indonesia yang tidak setuju. Hal yang sama dilakukan ketika usulan RUU Pesantren muncul, beberapa ormas Islam yang menolak pengesahan RUU tersebut oleh DPR. Hal ini memberi pesan bahwa kita tidak dapat meminta kepada pihak lain untuk memikirkan kepentingan pesantren, namun hal tersebut harus diperjuangkan sendiri.

 

Salah satu alasannya ketidaksetujuan UU Pesantren adalah pemborosan anggaran negara. Ini seolah-olah memberi pesan kurangnya solidaritas bahwa karena sebagian besar pesantren di bawah naungan NU, maka ormas lain tidak mendapatkan manfaat atas kemajuan pendidikan pesantren.

 

Setelah perjuangan panjang dengan akomodasi negara dalam bentuk UU Pesantren beserta aturan turunannya yang kini sudah dibuat, kini tinggal bagaimana kalangan pesantren memanfaatkan regulasi yang memberi ruang pesantren tumbuh dan berkembang.

           

Ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diperhatikan dengan adanya UU Pesantren ini, mengingat pemberlakuan sebuah undang-undang menimbulkan dampak. Jika pada masa lalu, pengelolaan pesantren benar-benar independen, yaitu seluruh kebijakannya menjadi otoritas pengasuh pesantren, kini ada sejumlah aturan yang harus dipatuhi.

 

Terdapat sejumlah kekhawatiran bahwa pemberian bantuan negara akan menyebabkan standarisasi yang mengakibatkan pesantren kehilangan kekhasannya. Ada pesantren yang mengonsentrasikan pengajarannya pada bidang fiqih, banyak juga yang khusus pesantren Qur’an, ada pula yang mengembangkan ilmu alat (nahwu, sharaf, dan perangkat bahasa Arab lainnya), pesantren berciri tasawuf, dan lainnya. Semuanya akan hilang jika terdapat penyeragaman yang terlalu kaku.

 

Selanjutnya ada anggaran pemerintah dari pajak yang dibayar oleh rakyat yang didistribusikan kepada pesantren. Dengan demikian, setiap rupiah yang diterima oleh pesantren mesti dapat dipertanggungjawabkan. Pelaporan keuangan tersebut harus memenuhi standar akuntansi pemerintahan. Jika tidak, maka pesantren tidak dapat menerima bantuan. Pesantren-pesantren kecil dengan sumber daya terbatas mungkin akan kesulitan untuk memenuhi hal tersebut.

 

Untuk mendapatkan dana dari pemerintah, pesantren harus berbadan hukum. Mengingat selama ini berjalan secara independen, maka pesantren-pesantren salaf yang fokus pada pengajaran saja akan mengalami kesulitan. Jika ingin mendapatkan dukungan dari pemerintah, mereka harus memenuhi persyaratan formal untuk berbadan hukum.

 

Sebagian pesantren telah siap, bahkan telah memenuhi ketentuan UU Pesantren, namun banyak pesantren lainnya yang perlu bimbingan dan pendampingan untuk mendapatkan pengakuan sebagai lembaga pendidikan yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Dalam hal ini, maka Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) atau Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama dan Kementerian Agama memiliki peran penting dalam memberikan bimbingan dan pendampingan.

 

Terdapat sekitar 30 ribu pesantren yang ada di Indonesia. Maka diperlukan waktu yang panjang untuk memberi pendampingan. Untuk mempercepat proses tersebut, diperlukan strategi khusus dan sinergi antar pemangku kepentingan pesantren supaya ada percepatan langkah-langkah yang diperlukan.

 

Jika kualitas pendidikan pesantren semakin baik berkat dukungan negara melalui UU Pesantren ini, maka tidak menutup kemungkinan Indonesia di masa yang akan datang akan menjadi salah satu rujukan belajar Islam dunia. Kekhasan Islam Indonesia yang moderat dan toleran akan tersebar luas ke seluruh dunia. Akan lahir ulama-ulama besar yang mendunia dari pesantren seperti Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Muhammad Yasin al-Fadani, KH Hasyim Asy'ari, dan lainnya. (Achmad Mukafi Niam)