Riset BLAJ

Mengulas Tradisi Manaqib Samman di Betawi

Jum, 11 Desember 2020 | 23:30 WIB

Mengulas Tradisi Manaqib Samman di Betawi

Ilustrasi (Istimewa)

Tarekat Sammaniyyah yang diinisiasi oleh Syaikh Muhammad al-Samman terhitung sebagai salah satu tarekat yang berembang dengan pesat di Nusantara. Perkembangan Tarekat Sammaniyyah di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari peran para murid Syaikh Muhammad al-Samman yang berasal dari kawasan kepulauan itu, seperti Syaikh Abdul Shamad Palembang, Syaikh Arsyad Banjar, Syaikh Dawud Pattani, Syaikh Abdul Rahman Betawi, dan lain-lain.

 

Penelitian dengan dukungan Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) pada Badan Litbang dan Diklat Kemenag mengungkapkan, persebaran Tarekat Sammaniyyah di Nusantara terkonsentrasi di wilayah-wilayah seperti Palembang, Banjarmasin, Pattani, dan juga Betawi. Salah satu media-kitab yang digunakan oleh para jemaah Tarekat Sammaniyyah di Nusantara adalah Ratib Samman dan Manaqih (Hikayat) Syaikh Muhammad Samman.

 

Peneliti menyebutkan berdasarkan riset berjudul Al-'Urwah al-Wuthqá Karya al-Falimbani: Tradisi dan Ritual Tarekat Sammaniyah di Palembang oleh Zulkarnain Yani, mencatat bahwa tradisi pembacaan Ratib Samman selain dilakukan dalam ritual keagamaan, juga dilakukan dalam tradisi lain seperti pemenuhan nadzar atau mungkin kompilasi terjadi bencana. Di kelas pengikut tarekat Sammaniyah sendiri, pembacaan ratib Samman mendapat tempat khusus.

 

Sepanjang ritual, misalnya, digambarkan bahwa pemimpin dan pengikutnya terus menerus bergerak, bernyanyi dan menari, dalam gerakan ritmis yang khas di pusat lingkaran orang-orang yang mengelilinginya yang menari dan berputar. Di puncak upacara, mayoritas pengikut jatuh pingsan. Tetapi segera disadarkan oleh sang pemimpin. Dan pengikutnya diminta untuk beristirahat sejenak sembari menikmati suguhan dari tuan rumah. Mereka tampak asyik membaca asma (al-Malik, al-Jabbar), berdzikir dan beratib dengan suara keras hingga fana. Dalam keadaan tak sadar ("mabuk dzikir") mereka berani melawan Belanda. Mereka tidak takut mati. Mungkin juga merasa kebal dan sakti lantaran amalan tadi.

 

Ratib Samman dan Manaqib Samman sangat populer di Kepulauan Indonesia pada abad yang lalu, dan dilaksanakan dengan gerakan badan menurut cara tertentu. Lafadz-lafadz yang diucapkan dalam ritual tersebut ditentukan oleh Syaikh Muhammad Samman. Diceriterakan bahwa orang yang membaca dan mendengarkan manaqib tersebut dianggap berpahala dan bahkan tidak sedikit yang bernazar jika membacanya akan mendapatkan keberuntungan.

 

Penelitian sebelumnya oleh Lina Halimah menyebut bahwa masyarakat Betawi lebih memilih sosok Syaikh Muhammad al-Samman sebagai tawasul untuk mencapai tujuan dunia dan akhirat. Ini memang berbeda dengan masyarakat Jawa dan Sunda yang memiliki kecenderungan untuk bertawasul kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Hal ini disebabkan setidaknya tiga hal. Pertama, dari perspektif geografis, Jakarta terhitung dekat dengan Palembang. Pada zaman dahulu, komunikasi antara alim ulama di Jakarta dengan Palembang terjalin amat baik. Hal ini berpengaruh pada kegiatan keagamaan di kedua tempat tersebut, yakni mereka sama-sama bersumber pada sosok wali yang sama, Syekh Muhammad Samman.

 

Kedua, banyaknya orang Betawi yang belajar ke Makkah. Ketiga, naskah yang dirujuk oleh masyarakat Betawi menggunakan bahasa Arab Melayu, berbeda dengan tarekat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah yang manaqib-nya menggunakan bahasa Arab. Khusus untuk konteks masyarakat Betawi, ajaran dan tradisi manaqib Samman ini dibawa oleh Syaikh Abdurrahman al-Mishri al-Batawi, salah satu murid Syaikh Muhammad al-Samman, yang kembali dari pengembaraan intelektualnya di Timur Tengah pada tahun 1186 H/1773 M. Syaikh Abdurrahman al-Batawi memperkenalkan Tarekat Sammaniyah dan juga tradisi ratib dan manaqib Samman kepada masyarakat Betawi. Selain Syaikh Abdurrahman al-Batawi, tokoh ulama Betawi lainnya yang berperan besar dalam penyebaran tradisi ratib dan manaqib Samman adalah KH Abdul Mughni Kuningan (Guru Mughni, w. 1935 M).

 

Peneliti mengutip buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Martin Van Bruinessen (1999) yang menyebutkan bahwa murid-murid Syaikh Samman dan banyak ulama di sekitarnya menganggap sebagai seorang wali yang luar biasa keramatnya. Dalam Hikayat Syaikh Muhammad Samman, ia disebut Khatam al-Wilayah aI-Khashshah al-Muhammadiyah dan martabatnya disamakan dengan martabat Syaikh 'Abd al-Qadir Jailani. Keajaiban yang disampaikan dalam kitab manaqib ini memang melampaui keajaiban wali-wali lain. Dan ini, agaknya, asal usul munculnya kultus Syaikh Samman di kalangan rakyat awam.

 

"Tidak semua murid Samman terkesan dengan legenda-legenda serba aneh itu. Dalam Sair, 'Abdussamad hanya meriwayatkan satu peristiwa yang menunjukkan martabat tinggi yang dicapai oleh syaikh-nya. Riwayat ini (yang didengarnya dari gurunya yang pertama, Shiddiq bin Umar Khan), memberikan gambaran khas tentang suasana lingkungan para sufi abad ke-18," tulis peneliti.

 

Tradisi Keagamaan Empat Bulanan Betawi Kuningan
Dalam catatan sejarah, pada tahun 1186 H/1773 M, Abdurrahman al-Batawi, Muhammad Arsyad dan Abdul Wahab al-Bugisi kembali ke Nusantara. Saat bersilaturahmi dengan Syekh Abdul Qahar, mereka juga mengadakan pembaharuan sembari memperkenalkan tarekat Sammaniyah kepada masyarakat Betawi asli yang saat itu dominan di Jakarta.

 

Di Jakarta Selatan, Kuningan, ulama yang paling terkemuka saat itu adalah KH Abdul Mughni (1860-1935 M), yang merupakan salah satu orang Betawi hasil didikan Timur Tengah. Sepulangnya ke Tanah Air, Guru Muhgni, demikian warga Betawi menyebut sosok panutannya ini, menyebarkan ilmu-ilmu yang diperolehnya di Mekkah, yakni Ratib Samman dan Syair Burdah Beliau mengajarkannya kepada murid-muridnya yang datang dari seluruh pelosok Jakarta.

 

Dapat disimpulkan sementara bahwa tokoh yang paling berperan besar dalam penyebaran tarekat Sammaniyah dan ajaran-ajarannya di kalangan masyarakat Betawi ialah Syekh Abdurrahman al-Batawi dan Guru Mughni.

 

Menurut KH Taufiq yang merupakan keponakan Guru Mughni, kebiasaan membaca Manaqib Samman di masyarakat Betawi ini bermula dari keluarga secara turun temurun, lingkungan masyarakat yang melazimkan mengadakan kegiatan tersebut, lingkungan pendidikan informal semisal pengajian, dan lingkungan pendidikan formal seperti madrasah, atau sekolah keagamaan.

 

Deskripsi Tradisi
Teknis pelaksanaan tradisi ini, misalnya, dalam kegiatan keagamaan, yang ditulis Lina Halimah memiliki kemiripan dengan keterangan Kiai Taufiq Kuningan terkait tradisi yang berkembang di kawasan tersebut. Lina menyebutkan bahwa pelaksanaan Manaqiban di Kampung Janis, Pekojan Jakarta Barat hanya dilaksanakan apabila ada perayaan syukuran seperti kelahiran anak, kesembuhan dari penyakit, dan seusai pesta pernikahan. Pelaksanaannya tidak dilakukan secara rutin dan dilaksanakan tergantung pada si empunya hajat.

 

Untuk mengadakan acara Manaqiban, biasanya undangan datang dari shahibul hajah (si empunya hajat). Melalui pemuka agama, ia memberikan berita atau pengumuman ke setiap Majlis Ta’lim sekitar rumahnya, atau tempat-tempat si empunya hajat mengikuti pengajian. Kegiatan ini hampir tidak pernah dilaksanakan secara perorangan.Sebab, umumnya Manaqiban merupakan upacara besar di kelurahanyang diikuti jamaah secara bersamaan dan gotong-royong.

 

Ketika pembacaan Manaqib mulai dilaksanakan, shahibul hajah mempersiapkan peralatan seperti kitab Samman, minyak wangi, kembang campur, segelas air putih dan buku surat Yasin. Shahibul hajahbiasanya juga mengundang tetangga untuk menghadiri acara tersebut dengan menyediakan makanan dan minuman berdasarkan kemampuan orang yang melaksanakan hajat tersebut.

 

Pelaksanaan Manaqiban ini dipimpin oleh seorang guru ngaji atau seorang tokoh terkemuka dalam masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Kegiatan ini dilaksanakan selama kurang lebih dua jam dengan prosesi acara sebagai berikut. Pertama, Pembukaan. Di dalam pembukaan biasanya dijelaskan maksud dan tujuan dilaksanakannya acara Manaqiban tersebut. Usai pembukaan dilanjutkan pembacaan hadzarah atau hadiah al-Fatihah kepada Rasulullah SAW, para sahabat, para wali, terutama Syaikh Samman.

 

Kedua, setelah diawali Pembukaan dari si empunya hajat, dilanjutkan dengan membaca kitab Samman. Ketiga, para jamaah bersama-sama membaca surat al-Fatihah yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, para sahabat dan auliya’ Allah. Kemudian dilanjutkan dengan membaca Surah al-Ikhlash 3 kali, al-Falaq, al-Nas, al-Baqarah ayat 1-7, 163, 255, 285 dan 286. Setelah itu dilanjutkan membaca surah Yasin.

 

Keempat, membaca tahlil, lalu membaca doa (doa arwah dan doa Samman), dan yang terakhir Maulid. Kelima, Setelah pembacaan selesai dilakukan, orang-orang yang hadir berdiri, kemudian salah seorang memercikkan wewangian ke telapak tangan.

 

Dalam pelaksanaan Manaqiban ini, si empunya hajat menyediakan kembang dan minyak wangi, meskipun ini tidak menjadi suatu keharusan. Menurut Kiai Taufiq, pada dasarnya hal ini hanya dimaksudkan untuk mengharumkan ruangan saja agar suasana menjadi lebih nyaman dan menyenangkan. Adapun penyediaan air putih dalam gelas atau kendi yang diletakkan di tengah ruanganmemang diperuntukkan bagi seluruh tamu undangan.

 

Selain itu, terdapat pula segelas air yang dikhususkan untuk diminum oleh si empunya hajat atau salah satu keluarganya seusai upacara Manaqiban selesai dengan maksud untuk mengambil berkah dari upacara tersebut.

 

Mengenai sajian bagi tamu undangan, menurut Ibu Yayah, seorang Ustadzah Betawi keturunan Sunda yang seringkali memimpin upacara Manaqiban ini, biasanya zaman dahulu para empunya hajat hampir selalu menyediakan roti tawar, gula batu, kopi, dan teh. Bahkan, juga tumpeng serta ayam bakakak. Akan tetapi, pada masa sekarang tidak lagi lantaran para empunya hajat cenderung menginginkan hal-hal yang lebih simpel dan praktis.

 

Adanya hidangan makanan dan minuman ini dimaksudkan agar menjadi daya tarik bagi para undangan agar lebih bersemangat dalam mengikuti upacara. Selain itu, juga dimaksudkan sebagai sedekah dan berbagi kepada tetangga sebagaimana terekam dalam kitab Manaqib Syekh Samman.

 

Editor: Kendi Setiawan