Seni Budaya

Clash: Potret Psikologi Massa dan Fanatisme Golongan Era Revolusi Mesir

Ahad, 10 Maret 2024 | 11:00 WIB

Clash: Potret Psikologi Massa dan Fanatisme Golongan Era Revolusi Mesir

Poster film Clash. (Foto: dok. istimewa)

Clash atau Isytibak adalah film besutan Mohamed Diab yang rilis pada 2016. Film yang diproduseri oleh Moez Masoud, Mohamed Hefzy, dan Eric Lagesse ini tayang di dua negara, Mesir dan Prancis. Karya berdurasi 97 menit dibintangi oleh Nelly Kareem, Hany Adel, Mohamed Alaa dan dua bintang muda, May Al-Gheity dan Ahmed Dash.


Film hasil kolaborasi Film Clinic, Sampek Production, EMC Pictures, ARTE France Cinema, NIKo FILM ini berhasil menjadi film pembuka dalam sesi Uncertain Regard Cannes Film Festival 2016. Film ini juga berhasil menyabet kategori film terbaik dalam International Film Festival of Kerala 2016. Film ini mendapat pujian dari Tom Hanks. Aktor kawakan tersebut berpendapat bahwa film ini harusnya bisa mengubah cara pandang Barat mengenai demokrasi dan politik Timur-Tengah.


The Clash mengambil latar kejadian Revolusi Mesir pada Juni 2013. Pada saat itu, Presiden Mohamed Morsi yang diusung Ikhwanul Muslimin (IM) dikudeta pihak militer setelah hanya satu tahun menjabat. Rezim Morsi digugat karena dituding bersikap otoriter dan terlalu konservatif dalam menjalankan roda pemerintahan. Dampak dari kudeta militer ini adalah terjadinya bentrokan yang melibatkan pendukung kudeta militer dan simpatisan Ikhawanul Muslimin. Aparat juga bersikap beringas dalam menangani protes.


Fanatisme golongan

Film ini menampilkan beberapa demonstran dari kedua belah pihak ditangkap dan dimasukkan ke mobil tahanan. Uniknya, mereka datang dari latar belakang yang berbeda-beda. Adam A. Ramzy (Hany Adel) dan Zain (Mohamed El Sabaey) adalah wartawan dan fotografer Associated Perss (AP) yang sedang meliput dan menjadi dua orang pertama yang ditangkap aparat dan dimasukkan ke mobil van polisi. Mereka disusul rombongan pro-militer yang dianggap simpatisan IM karena melempari van polisi berisi Adam dan Ramzy yang sebenarnya minta tolong kepada rombongan tersebut namun keduanya dianggap anggota IM.


Di antara rombongan ini adalah Nagwa (Nelly Kareem) beserta anaknya, Fares (Ahmad Dash) dan suaminya, Husam (Tarek Abdel Aziz). Fisho (Hosny Sheta) dan Mans (Ahmed Malek) adalah dua pemuda sekular yang pro-militer. Fisho seorang pengemar Al-Ahli dan Mans adalah seorang Pramuirama/ DJ.


Dalam perjalanan ke penjara, mobil yang mereka tumpangi seringkali terganggu bentrokan antara polisi dan massa pro-IM yang terjadi di mana-mana. Di sinilah mereka mendapatkan teman-teman baru yang merupakan anggota dan simpatisan IM. Mereka adalah Aisha (May Al-Gheity) dan bapaknya yang sudah tua renta. Moadh (Mohamed Alaa) yang merupakan petinggi IM dan anak buahnya Tamer (Mohamed Gamal Kalbaz), Mohamed Hasem (Amr El Qady).


Kendati terjebak dalam situasi yang pelik, mereka masih sibuk berdebat satu sama lain, baik tentang masalah siapa yang benar antara IM atau militer, hingga ke masalah remeh-temeh seperti siapa yang paling hebat antara klub sepakbola Al-Ahli atau Zamalek. Bahkan mereka tak segan melakukan baku hantam kendati mereka sudah berada di kondisi yang memprihatinkan, terjebak di dalam mobil tahanan yang melintasi zona merah konflik.


Mereka seakan tak menghiraukan keselamatan bersama dan terus menjunjung fanatisme golongannya sendiri. Puncaknya adalah ketika kendali mobil van yang sudah berhasil diduduki seorang polisi yang pro-IM. Dua belah pihak yang ditahan di dalam van terbagi menjadi dua kubu. Kubu pro-militer ingin agar mobil van berhenti sehingga polisi bisa menemukan mereka dengan harapan mereka akan dibebaskan. Sementara kubu pro-IM ingin van terus melaju sehingga mereka bisa kabur dari polisi dan sesegera mungkin menemukan gerombolan massa pro-IM yang mereka harap bisa menolong mereka.


Psikologi massa

Faktor yang begitu memengaruhi plot cerita adalah bentrokan massa versus aparat yang digambarkan begitu brutal dan masif. Pihak polisi seringkali dihujani batu, bahkan pada satu daerah, polisi diberondong peluru oleh sekelompok penembak yang memosisikan diri di sebuah gedung yang tinggi. Bahkan pada akhir cerita, massa pro-IM tanpa pandang bulu menyerang van polisi yang sejatinya berisi rekan mereka sendiri. Tanpa memeriksa dulu siapa yang dihadapi, mereka dengan beringas mendobrak pintu van dan menghabisi siapa pun yang mereka temui.


Hal ini direspons oleh polisi dengan tindakan yang brutal juga. Tak terhitung berapa kali mereka melepaskan tembakan gas air mata dan memukulkan baton ke massa yang mengamuk. Nasib nahas harus diterima pendemo yang tertangkap. Selain dimasukkan ke mobil van polisi yang bak penjara, mereka seringkali mendapat bonus berupa bogem mentah.


Sifat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh seorang psikolog massa bernama Gustave Le Bon. Ia berpendapat bahwa segerombolan massa bisa dipengaruhi secara kolektif karena memiliki apa yang disebut unitas mental. Hal ini berbahaya karena segerombolan massa sangat gampang disugesti dan mudah tersinggung. Satu orang saja dari mereka mendapat provokasi, anggota massa yang lain akan ikut terprovokasi, dan kemudian bertindak brutal dan di luar nalar.


Rifqi Iman Salafi, alumnus Sastra Inggris UIN Jakarta, Pesantren Al-Hikmah 2 Brebes, dan Pesantren Darus-Sunnah Ciputat