Seni Budaya

Tradisi Sedekah dan Kuliner Sya’ban Nusantara hingga Pakistan

Sen, 19 Februari 2024 | 21:00 WIB

Tradisi Sedekah dan Kuliner Sya’ban Nusantara hingga Pakistan

Ilustrasi: tradisi (3jawakers.wordpress.com)

Tradisi saling berbagi makanan di bulan Sya’ban sering dijumpai di tengah-tengah masyarakat. Jenis-jenis makanan tertentu saat Ruwahan atau Nyadran menjadi ciri khas tradisi Islami yang masih dilestarikan. Tidak hanya di Nusantara, tradisi ini juga ada di beberapa negara yang memiliki komunitas muslim dengan nama yang berbeda-beda.


 

Apabila ditelusuri, budaya sedekah dengan hidangan makanan pada bulan Sya’ban tidak lepas dari penghormatan masyarakat terhadap kemuliaan bulan ini. Bagaimana aktualisasi di tengah masyarakat muslim dalam mewujudkan tradisi itu? Adakah kaitan antara sedekah kuliner dengan ajaran para ulama untuk menyikapi bulan Sya’ban?

 

Dalam banyak kesempatan, para dai menyebutkan bahwa bulan Sya’ban adalah bulan ketika amal-amal tahunan manusia diangkat. Situasi semacam itu tentu merupakan kondisi yang sangat penting sehingga para ulama mengajarkan amalan pendamping. Amalan ini tentu sesuai dengan ajaran Islam melalui pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah.

 

Dalam hal ini, Imam An-Nawawi berkata:


وَقَالَ أَصْحَابُنَا: يُسْتَحَبُّ الإِكْثَارُمِنَ الصَّدَقَةِ عِنْدَ الْأُمُوْرِالْمُهِمَّةِ

 

Artinya: “Para ulama kami berkata: "Disunahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi urusan-urusan yang penting.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, juz IV, halaman 223).
 

Berdasarkan ajaran para ulama tersebut, masyarakat muslim di tanah air melakukan tradisi Ruwahan (memperbanyak sedekah) di Bulan Sya’ban. Sedekah yang lazim dilakukan oleh warga adalah dengan berbagi makanan sehingga muncul berbagai tradisi sesuai dengan adat setempat. Menariknya, tradisi Ruwahan tidak hanya ditemukan di Indonesia, tetapi juga ada di beberapa negara Asia Selatan.

 

Di Yogyakarta, tradisi Ruwahan identik dengan makan bersama. Masyarakat di Gunungkidul menamakan tradisi ini dengan Sedekahan. Kaum ibu memasak nasi dan lauk-pauk seperti mie, peyek/kerupuk, olahan tempe, sambal goreng dan urap di rumah masing-masing pada pagi hari dan siangnya masakan tersebut dikumpukan di balai dusun. Sebelum dibagikan atau dimakan bersama-sama, diadakan doa bersama yang ditujukan untuk para pendahulu.

 

Jenis makanan yang dibuat pada tradisi Ruwahan cukup beragam. Namun, di beberapa daerah masih ditemui bentuk dan jenis makanan khusus yang khas dalam tradisi itu. Contoh sajian khas bulan Sya’ban yang dapat dijumpai di Jawa adalah berbentuk tumpeng dan kue apem.

 

Tradisi apeman pada masyarakat Jawa berarti saling berbagi kue apem setelah berziarah ke makam para leluhur. Nama apem dianggap sebagai perlambang dari kata ‘afwan yang dalam 
bahasa Arab berarti permohonan maaf. Pemaknaan ini merupakan simbol permohonan ampun kepada Allah dan permohonan maaf kepada sesama manusia (Hariyanto, 2017, Revitalization and Signification of Kue Apem as an Indonesian Traditional Hors d’Oeuvre, The Social Sciences 12 (10), halaman 1795-1800).

 

Masyarakat membuat makanan tersebut dan melaksanakan tradisi Ruwahan dengan rasa gotong royong. Ada juga yang menyertai doa bersama dengan pembacaan Yasin dan tahlil. Bahkan, komunitas Keraton Yogyakarta telah mentradisikan Ruwahan sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. (desapampang.gunungkidulkab.go.id).


Selain di Yogyakarta, tradisi Ruwahan juga dapat ditemukan di Jawa Barat. Di Dusun Pahauran Desa Sindangsari Kabupaten Ciamis, tradisi Ruwahan atau Nyadran dilaksanakan di masjid dan area pemakaman. Selain doa bersama, kegiatan utama dalam acara tersebut juga sangat khas, yaitu makan bersama. Menariknya, lauk pauk dan sajian masakan yang dihidangkan ternyata sama dengan yang ditemui di Yogyakarta.
 

Selain di Nusantara, tradisi berbagai kuliner pada bulan Sya’ban juga dapat ditemui di India dan Pakistan. Di kedua negara kawasan Asia Selatan itu, masyarakatnya juga mentradisikan sedekah dalam bentuk makanan setempat pada bulan Sya’ban. Jumlah umat Islam di Pakistan dan India juga termasuk yang populasinya terbesar di dunia setelah Indonesia.
 

Di kedua negara Asia Selatan itu, malam Nisfu Sya’ban merupakan hari besar yang diperingati oleh masyarakat muslim dengan meriah. Istilah yang digunakan untuk perayaan pada malam itu masih menggunakan bahasa Persia yaitu Shab-i-Barat yang artinya malam ketentuan atau malam takdir Tuhan.
 

Pada praktiknya, selain memperbanyak membaca Al-Qur’an, masyarakat muslim di India dan Pakistan juga membagikan sedekah berupa makanan yang manis rasanya.
 

Sebenarnya sedekah yang dilakukan oleh masyarakat muslim India dan Pakistan pada momen Shab-i-Barat tidak hanya dalam bentuk makanan. Mereka juga bersedekah dalam bentuk uang untuk kaum fakir dan miskin. Namun, kekhasan yang muncul berdasarkan tradisi setempat adalah berbagi manisan atau makanan yang sejenis dengan itu.

Salah satu makanan khas dari India dan Pakistan pada acara Shab-i-Barat adalah manisan yang terbuat dari wortel bernama Carrot Halvah. Selain wortel, makanan tersebut terbuat dari campuran gula, susu, mentega, dan kacang-kacangan. Ketika dibagikan, anak-anak di India dan Pakistan dengan suka cita memakan manisan tersebut dan membuat perayaan Nisfu Sya’ban menjadi semakin berkesan (Gulevich, 2004, Understanding Islam and Muslim Traditions, Omnigraphic, Michigan, halaman 291-293). 

 

Begitu pentingnya urusan pengangkatan amal bagi masyarakat muslim sehingga mereka mendampinginya dengan sedekah kuliner. Tradisi yang berkembang di berbagai wilayah hanyalah adat berdasarkan budaya setempat. Namun, esensi dari pelaksanaan sedekah kuliner itu adalah pengamalan terhadap ajaran para ulama Ahlussunnah wal jJama’ah.

 

Pemaknaan tradisi sedekah kuliner semacam itu mungkin sudah terkikis seiring dengan perkembangan zaman. Banyak generasi muda muslim yang tidak lagi mengetahui ketinggian makna pada sajian-sajian makan bersama saat Ruwahan. Karena itu, sepatutnya para tokoh agama di daerah-daerah yang masyarakatnya masih melestarikan tradisi Ruwahan memberikan wawasan tentang pelaksanaan tradisi tersebut yang dikaitkan dengan nilai-nilai keislaman.

 

Apabila diterapkan pada masa sekarang, sedekah di bulan Sya’ban sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia. Di saat harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi, daya beli masyarakat khususnya yang kemampuan ekonominya kurang mampu mengalami penurunan. Untuk membeli bahan makanan pokok, saat ini banyak masyarakat yang merasa terbebani dari sisi mahalnya harga sembako. 
 

Sedekah di Bulan Sya’ban tidak harus dengan makanan, tetapi bisa juga dalam wujud yang praktis yaitu uang. Bulan Sya’ban hadir berdekatan dengan bulan Ramadhan, di mana kebutuhan masyarakat muslim juga meningkat.Karena itu, kepedulian dari masyarakat muslim yang mampu terhadap saudaranya yang kurang mampu perlu digalakkan dalam bentuk sedekah apapun di bulan Sya’ban.Wallah a'lam.

 

Fauzi Yunus, Pendamping PPH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pengajar Majelis Taklim Al Hidayah