Nasional

PBNU: Hentikan Persekusi dan Kerusuhan di India!

Ahad, 8 Maret 2020 | 13:30 WIB

PBNU: Hentikan Persekusi dan Kerusuhan di India!

PBNU mendesak pemerintah melakukan langkah diplomatis atas sikap diskriminatif atas umat Islam di India.

Jakarta, NU Online
Kerusuhan di Delhi, India pada pekan terakhir Februari lalu menambah daftar konflik yang terjadi selepas pemerintah di bawah pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi memutuskan adanya kebijakan baru yang mengesankan diskriminasi terhadap Muslim. Setidaknya 47 orang tewas dan ratusan orang luka-luka akibat persekusi dan penganiayaan.

Mencermati fakta itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendorong pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah diplomatis dan ikut andil dalam upaya menciptakan perdamaian di India. 

"Upaya ini penting dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab internasional yakni turut berperan dalam usaha menciptakan perdamaian dan keamanan dunia," tegas sikap PBNU yang ditandatangani oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan Sekjen PBNU H Ahmad Helmi Faishal Zaini pada Sabtu (7/3).

PBNU juga mendesak PBB untuk berinisiatif melakukan investigasi dan menindak segala pelanggaran HAM agar tercipta suatu keadaan yang kondusif di India. Hal itu juga dilakukan agar Negeri Bollywood itu tumbuh kembali sebagai negara yang berdaulat yang menyejehterahkan rakyat. 

Selain itu, PBNU juga mengajak masyarakat internasional untuk bersama-sama menggalang bantuan kemanusiaan dan upaya-upaya perdamiaman bagi masyarakat India.

Tentu, PBNU mengecam segala bentuk dan tindak kekerasan, termasuk di dalamnya adalah perilaku menyerang pihak-pihak yang dianggap berbeda. Perilaku kekerasan, menurut NU, bukanlah merupakan ciri Islam yang rahmatan lil alamin.

Perdamaian, kebebasan, dan juga toleransi, bagi NU, adalah prinsip utama dalam menjalankan kehidupan di samping prinsip maqasid syariah (tujuan utama agama) yang terdiri dari hifdhud din wal aql (menjaga agama dan akal), hifdhul nafs (menjaga jiwa), hifdhun nasl (menjaga keluarga), dan hifdhul mal (menjaga harta), dan hifdhul irdh (menjaga martabat). "Kelima prinsip tersebut merupakan prinsip utama yang harus ditegakkan di manapun bumi dipijak," tulisnya.

Dua Faktor Indonesia Belum Ambil Sikap
Indonesia sebagai anggota dewan keamanan PBB sekaligus negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini belum bersikap apa pun mengenai peristiwa tersebut. Pengamat India Yumni Al-Hilal melihat adanya kehati-hatian dari pemerintah Indonesia mengingat hal tersebut merupakan persoalan dalam negeri.

“Indonesia yang kita lihat belum menyatakan sikap resminya terkait isu ini. Tentu karena pemerintah berhati-hati dalam menyikapi isu ini, masih dalam posisi wait and see karena memandang masalah ini adalah masalah dalam negeri mereka,” katanya kepada NU Online pada Rabu (4/3).

Di samping itu, keakraban hubungan dua negara tersebut yang sudah terjalin sedari Soekarno memimpin negeri ini juga menjadi satu alasan lain pemerintah Indonesia belum menyikapinya.

“Dan Indonesia dan India adalah dua negara sahabat yang sudah sekian lama terjalin erat sejak lama. Sejak massa Soekarno Presiden RI pertama,” ujar akademisi yang menamatkan studi sarjana dan masternya di India itu.

Menurutnya, kerusuhan itu adalah dampak dari kebijakan politik yang arahnya mau menghindukan India dengan demokrasinya, tirani mayoritas terhadap minoritas. Mestinya dampak sudah bisa diantisipasi dengan perlindungan dan kehadiran negara di wilayah tempat kerusuhan. Namun, aparat keamanan juga kerap bersikap sektarian. “Jadi, harus diakui ada diskriminasi dalam law justice yang dilakukan oleh oknum aparat,” katanya.

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa Perdana Menteri Modi telah memutuskan memberi garansi terhadap minoritas non-Muslim di wilayah Asia Selatan. Hal ini mengundang demonstrasi ratusan orang yang diinisiasi oleh pelajar dan kelompok muslim sebagai bentuk protes terhadap kebijakan tersebut.
 
Pewarta: Syakir NF
Editor: Mahbib