Opini

Menjauhi Aksi Kekerasan Atas Nama Agama

Rab, 31 Maret 2021 | 06:35 WIB

Menjauhi Aksi Kekerasan Atas Nama Agama

Ilustrasi unjuk rasa menolak kekerasan atas nama agama. (Foto: dok. istimewa)

Akhlak mulia merupakan karakter yang diajarkan oleh berbagai agama, tak terkecuali Islam. Karena Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia, bukan mengedepankan kekerasan apalagi mencelakai orang lain. Bahkan seringkali aksi kekerasan berupa teror tersebut dilegitimasi atas keyakinan dalam berjihad di jalan Tuhan.


Dalam salah satu firman-Nya di dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan, “Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan alam semesta.” (QS. Al-Mâidah: 28).


Ayat ini mengajak kita untuk senantiasa menghindari kekerasan dan mengedepankan perdamaian. Ayat ini terkait dengan peristiwa ancaman pembunuhan pertama dalam kehidupan manusia yang melibatkan dua anak Nabi Adam As.: Qabil dan Habil. Menurut sebagian ulama, anak yang mengancam akan membunuh adalah Qabil. Sedangkan yang diancam adalah Habil, adik kandung Qabil.


Dalam kitab tafsir Mafatih Al-Ghayb, Imam Ar-Razi melansir satu pertanyaan menarik terkait dengan ayat di atas. Mengapa pihak yang diancam tidak menggerakkan tangannya untuk membela diri? Padahal membela diri dibolehkan? Tetapi mengapa, pihak yang terancam justru mengatakan, “Aku takut kepada Allah SWT”?

 


Menurut Imam Ar-Razi, ada beberapa jawaban terkait dengan pertanyaan di atas. Salah satunya adalah, bahwa tanda-tanda kesungguhan bagi ancaman pembunuhan tersebut sangatlah kuat. Dalam hal ini, pernyataan pihak yang diancam (sebagaimana dalam ayat) untuk mengingatkan pihak yang mengancam; bahwa pembunuhan adalah perbuatan yang sangat tercela; dan yang terpenting adalah bahwa Tuhan Maha Pengasih melarang keras tindakan kekerasan.


Jawaban lainnya adalah, masih menurut Imam Ar-Razi, bahwa “Aku tidak akan menggerakkan tanganku untuk tujuan membunuhmu”. Aku akan menggerakkan tanganku hanya sebatas melindungi diri dari ancamanmu. Sebagaimana ditetapkan dalam kaidah hukum, tindakan membela diri harus dimulai dari yang paling ringan dan steril dari maksud pembunuhan. Apabila sejauh itu pembunuhan masih tak dapat dihindari, maka orang yang membela diri terselamatkan dari dosa-dosa akibat pembunuhan.


Apa yang disampaikan ayat di atas sangat menarik untuk konteks kita saat ini. Di mana ancaman pembunuhan, ancaman terhadap kebebasan berkeyakinan dan kekerasan lainnya kerapkali terjadi. Cukup ironis, karena sejumlah tindakan kekerasan yang ada acapkali melibatkan simbol-simbol agama, bahkan atas nama agama tadi.


Dalam konteks ini, kandungan ayat di atas menjadi sangat menarik, karena ancaman kekerasan yang ada dihadapi dengan kelembutan. Padahal, ditinjau dari perspektif tata-nilai manapun, membela diri adalah tindakan yang diperbolehkan.

 


Sebagaimana kisah agama-agama samawi lainnya, Islam hadir pada saat masyarakat betul-betul membutuhkan "juru selamat" dari keterpurukan moral, sosial, ekonomi maupun politik. Melalui Nabi sebagai pembawa risalah Tuhan, agama hadir untuk melawan berbagai bentuk penindasan dan kedzaliman guna mewujudkan tatanan baru yang lebih berkeadilan, berkemanusiaan, dan berkeadaban.


Sebagaimana ditunjukkan dalam masa-masa awal Islam, Nabi Muhammad ditentang keras oleh kaum Quraisy Makkah, bukan semata-mata karena Nabi membawa agama baru yang sama sekali berbeda dengan kepercayaan sebelumnya, tetapi terutama karena ajaran yang dibawa Nabi dapat mengancam kepentingan kaum elite Quraisy yang begitu dominan menguasai berbagai sumber daya, baik ekonomi, sosial maupun politik. Sebagaimana kita lihat dalam sejarah, keberhasilan Nabi membangun tatanan ekonomi, sosial dan politik yang berkeadilan, berkemanusiaan dan berkeadaban lebih mengutamakan jalan damai melalui musyawarah ketimbang jalan kekerasan melalui perang.


Mengedepankan kasih sayang dan menjauhi kekerasan juga diteladankan oleh Nabi Muhammad ketika peristiwa pembebasan Kota Makkah (Fathu Makkah).


Selama di Madinah, Nabi membangun kekuatan umat di samping melakukan gerakan syiar Islam ke kabilah-kabilah atau suku bangsa secara luas hingga ke negeri-negeri lainnya. Langkah strategis ini dilakukan Nabi sambil mengatur cara untuk mengambil kembali Kota Makkah. Akhirnya, terjadilah sejarah Fathu Makkah atau pembebasan Kota Makkah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah bersama kaum Muslimin.


Pasukan Rasulullah penuh dengan kekuatan dalam sejarah Fathu Makkah. Hal ini dipahami betul oleh kafir Quraisy di Makkah yang saat itu di bawah komando Abu Sufyan. Namun, kasih sayang Nabi yang begitu tinggi membuat peristiwa Fathu Makkah terjadi tanpa setetes pun darah yang tertumpah.

 

​​​​​​​Baca juga: Moderasi Beragama: Islam sebagai Etika Sosial


Revolusi besar tersebut bukan hanya membebaskan Kota Makkah, tetapi juga membebaskan seluruh kaum kafir untuk masuk ke dalam lindungan Nabi sehingga mereka serta merta masuk Islam.


Dijelaskan oleh Pakar bidang Tafsir Prof KH Nasaruddin Umar dalam buku Khutbah-khutbah Imam Besar (2018), di tengah kemenangan Nabi dan kaum Muslimin, ada satu peristiwa ketika Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy akhirnya menyerah dan bersedia mengikuti petunjuk Nabi Muhammad. Kemudian Nabi meminta kepada para pimpinan pasukannya untuk menyatakan, al-yaum yaumal marhamah (hari ini hari kasih sayang).


Penyelesaian Fathu Makkah berjalan sangat manusiawi meskipun menyalahi tradisi perang Arab yang penuh dengan pertumpahan darah, perampasan, dan lain-lain. Namun kasih sayang Nabi Muhammad lebih besar dalam hal ini sehingga betul-betul tidak ada balas dendam.


Revolusi tanpa setetes darah ini melahirkan keutuhan dan kedamaian monumental serta kemenangan Nabi Muhammad. Era baru di Makkah betul-betul hadir. Era di mana Islam hadir untuk memenuhi kebutuhan lahir dan batin umat Islam. Era penuh dengan kasih sayang dan roda kehidupan yang sesuai nilai-nilai luhur ajaran Islam.


Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online