Risalah Redaksi

Meneguhkan Supremasi Dewan Syuriyah atas Tanfidziyah

Ahad, 27 Maret 2022 | 19:00 WIB

Meneguhkan Supremasi Dewan Syuriyah atas Tanfidziyah

Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dan Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf. (Foto: NU Online/Suwitno)

Ketua Umum PBNU KH Yahya C. Staquf dalam acara pengukuhan lembaga dan badan khusus NU serta rapat kerja nasional menyatakan bahwa syuriyah adalah pemimpin tertinggi sekaligus pemegang hak milik atas NU, sedangkan tanfidziyah hanya orang-orang yang dipekerjakan saja. Implementasi dari hal tersebut adalah, para pengurus tanfidziyah diminta kesiapannya untuk bekerja melaksanakan kebijakan dan program NU.

 

Sejak Nahdlatul Ulama berdiri tahun 1926 hingga saat ini, syuriyah menduduki posisi tertinggi. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal tersebut. Sekalipun begitu, dalam tataran praktisnya hubungan antara syuriyah dan tanfidziyah cukup dinamis. Dalam beberapa periode kepengurusan NU belakangan, kepengurusan tanfidziyah tampak menonjol di ruang publik karena posisinya sebagai pelaksana. Ketua umum PBNU bertemu dengan presiden, menteri, diplomat, dan berbagai figur penting untuk berdiskusi dan menjalin kerja sama. Posisi tanfidziyah semakin kokoh karena dipilih oleh muktamirin sehingga memiliki legitimasi kuat. Ketua umum PBNU pertama Hasan Gipo ditunjuk, bukan dipilih oleh muktamirin sebagaimana saat ini.

 

Pemisahan wewenang merupakan hal yang jamak dalam organisasi, baik di pemerintahan, organisasi bisnis, ataupun organisasi nirlaba. Di pemerintahan terdapat lembaga eksekutif dan legislatif; dalam organisasi bisnis terdapat komisaris dan direksi; dalam organisasi nirlaba terdapat dewan pembina dan pengurus harian. Pemisahan ini penting untuk menjaga adanya check and balance atau saling mengontrol dan menjaga keseimbangan.

  

Pemisahan fungsi ini akhirnya memunculkan masalah keagenan karena adanya informasi asimetris. Informasi-informasi detail dimiliki oleh para pelaksana. Pada organisasi bisnis, diasumsikan bahwa direksi akan memaksimalkan keuntungan pribadinya dibandingkan dengan kepentingan para pemegang saham yang telah mengangkat mereka. Direksi akan menuntut gaji besar, bonus yang tinggi, serta fasilitas yang mewah, sementara kepentingan pemegang saham sebagai pemilik perusahaan mendapat prioritas setelahnya.

 

Untuk mengatasi masalah keagenan ini, maka dikembangkan konsep good corporate governance (GCG) guna memastikan adanya tata kelola perusahaan yang baik yang memperhatikan kepentingan para pihak, termasuk kepentingan pemegang saham yang telah menginvestasikan uangnya.

 

Sekalipun tidak seperti organisasi bisnis yang berusaha memperoleh keuntungan material, informasi asimetris juga merupakan tantangan yang dihadapi organisasi nirlaba, termasuk ormas keagamaan. Di beberapa wilayah atau cabang NU, hubungan antara rais syuriyah dan ketua tanfidziyah berjalan tidak sebagaimana yang diharapkan. Hal ini mengakibatkan program-program organisasi kurang maksimal.

 

Pada organisasi bisnis yang bertujuan untuk meraih laba sebagaimana ditunjukkan melalui laporan keuangan, laporan tersebut diaudit oleh pihak ketiga, yaitu auditor independen untuk memastikan independensi penyampaian laporan. Sementara dalam lingkungan pemerintahan, terdapat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memeriksa pengelolaan keuangan negara di tingkat pusat sampai daerah.

 

Pada ormas Islam seperti NU yang juga mendapatkan dana dari masyarakat, laporan keuangan yang diaudit oleh lembaga independen penting untuk menjaga bahwa dana yang dipercayakan kepada organisasi telah dikeluarkan sesuai peruntukan. Namun demikian, hal tersebut tidaklah cukup. Ada banyak program atau kegiatan organisasi yang tidak dapat diukur dampaknya secara kuantitatif atau keberhasilannya baru dapat diukur dalam jangka panjang.  

 

Laporan pertanggungjawaban kepengurusan NU dilakukan melalui mekanisme rapat pleno, konferensi besar, dan muktamar. Pada momen seperti itu, pengurus NU, lembaga, badan otonom menyampaikan laporan perkembangan organisasi di hadapan pengurus wilayah, cabang, mustasyar, dan a’wan. Mengingat banyaknya lembaga dan badan otonom yang menyampaikan laporan, pembahasannya kadang kurang maksimal.

 

Prinsip good governance yang meliputi transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran dan kesetaraan merupakan prinsip yang dapat diterapkan dalam organisasi yang berorientasi laba atau nirlaba. Namun dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian mengingat adanya perbedaan tujuan. Organisasi nirlaba bertujuan untuk melakukan perubahan masyarakat menjadi lebih baik sesuai dengan bidang yang ditekuni. Ukuran keberhasilan tidak berupa keuntungan uang, melainkan perubahan yang dikehendaki.

 

Aspek transparansi menyangkut keterbukaan informasi keuangan dan non-keuangan. Secara umum, belum banyak organisasi nirlaba yang laporan keuangannya diaudit secara independen dan disampaikan ke publik, walaupun hal tersebut dapat menambah kepercayaan masyarakat. Transparansi juga menyangkut ketepatan waktu dalam menyampaikan informasi.

 

Akuntabilitas menyangkut penetapan wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang jelas kepada setiap pihak dalam organisasi sesuai dengan aturan dan pedoman organisasi. Guna memastikan kinerja yang baik dan terukur, dalam hal ini penting ditetapkan indikator kinerja utama (IKU) untuk penentuan kinerja secara objektif dan terukur.

 

Aspek pertanggungjawaban menyangkut kepatuhan pelaksanaan undang-undang dan peraturan; aspek independensi bermakna bahwa organisasi dikelola secara independen sesuai dengan visi, misi, dan nilai yang ditetapkan; aspek kewajaran berarti organisasi dikelola dengan memperhatikan kepentingan para pemangku kepentingan sesuai dengan peran dan posisinya.

 

Penguatan good governance di lingkungan organisasi nirlaba, termasuk organisasi keagamaan seperti NU dapat meningkatkan kinerja organisasi. Secara umum, prinsip-prinsip good governance sudah diadopsi NU, tinggal bagaimana meningkatkannya secara terus-menerus, dari periode ke periode selanjutnya. Jika good governance bagus, maka otoritas syuriyah sebagai penguasa tertinggi NU juga akan semakin kokoh.

 

Kepatuhan kepada otoritas kiai merupakan sesuatu yang sudah melekat yang diajarkan di pesantren. Ini menjadi modal penting dalam berorganisasi. Pola-pola baru dalam berorganisasi yang telah berhasil diterapkan di tempat lain atau telah dikembangkan berbasis riset yang baik sangat layak diterapkan di lingkungan NU untuk melengkapi modal kultural tersebut. Kemampuan NU untuk terus bertahan dan berkembang di tengah perubahan zaman adalah karena adaptasinya terhadap perubahan zaman, termasuk dalam model pengelolaan organisasi. (Achmad Mukafi Niam)