Risalah Redaksi

Lembaga-Lembaga NU sebagai Ujung Tombak Program Kerja Organisasi

Ahad, 13 Maret 2022 | 19:30 WIB

Lembaga-Lembaga NU sebagai Ujung Tombak Program Kerja Organisasi

Lembaga-Lembaga NU sebagai Ujung Tombak Program Kerja Organisasi

Ketua Umum PBNU KH Yahya C. Staquf telah menyampaikan susunan pengurus inti lembaga-lembaga NU dan tiga badan khusus dalam rapat gabungan syuriyah tanfidziyah di Kampus B Unusia di Parung Bogor pada Rabu, 9 Maret 2022. Selanjutnya mereka akan melakukan rapat kerja nasional pada 24-26 Maret di Pesantren Cipasung, Jawa Barat.

 

Lembaga-lembaga NU merupakan ujung tombak pelaksanaan program kerja. Untuk bidang pendidikan dasar dan menengah menjadi tanggung jawab Ma’arif NU, masalah pesantren ditangani Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMINU), pengembangan SDM dikelola oleh Lakpesdam NU, selanjutnya terdapat LAZISNU, LPNU, LFNU, LKKNU, LPPNU, dan lainnya yang mengelola masing-masing bidang. Capaian lembaga-lembaga tersebut menentukan kinerja Nahdlatul Ulama secara keseluruhan.

 

Terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan organisasi sosial keagamaan. Berbeda dengan di institusi pemerintahan atau korporasi yang mendapatkan anggaran untuk pengelolaan institusi dan karyawannya memperoleh gaji, organisasi sosial umumnya dikelola dengan pendekatan kerelawanan. Tidak ada gaji bagi para pengurus NU. Untuk menjalankan program atau kegiatan, mereka juga harus mencari dana sendiri. Bahkan mereka harus keluar dana pribadi untuk transportasi ke kantor, biaya menggelar rapat, atau untuk menjalankan program.

 

Dengan pendekatan kerelawanan tersebut, maka para pengurus mesti membagi waktunya untuk bekerja di tempat lain. Dalam situasi seperti ini, maka dibutuhkan komitmen kuat untuk menjalankan organisasi karena jika tidak, roda organisasi tidak berjalan dengan baik. Apalagi jika pengurus lembaga bekerja di tempat lain yang menuntut perhatian penuh seperti di korporasi swasta dengan standar kerja 8 jam sehari. Dalam situasi Jakarta yang penuh kemacetan, butuh perjuangan berat untuk aktif di organisasi sosial keagamaan.  

 

Karena dikelola dengan pendekatan kerelawanan, maka pengurus harian PBNU tidak dapat membuat target tinggi kepada pengurus lembaga NU. Komitmen dan kapasitas pengurus lembagalah yang menentukan kinerja lembaga. Terdapat lembaga yang memiliki kinerja sangat bagus dengan program kerja yang menjangkau seluruh Indonesia dan mampu menggerakkan lembaga-lembaga yang sama di tingkat PWNU dan PCNU.

 

Di sisi lain, ada pula lembaga yang tidak tampak kegiatannya karena kepengurusannya kurang aktif. Saat baru dilantik, mereka sangat bersemangat menjalankan berbagai program terkadang bahkan perencanaannya sangat ambisius. Namun, karena kesulitan mendapatkan dukungan dana, keterbatasan SDM, atau tantangan lain, pelan-pelan para pengurus tersebut tidak aktif lagi. Akhirnya, hanya beberapa pengurus inti saja yang aktif berorganisasi dengan kegiatan ala kadarnya.

 

Menjadi pengurus lembaga NU, terutama posisi ketua seperti seorang entrepreneur yang mampu menangani banyak hal sekaligus. Ia tidak seperti manajer yang hanya perlu menjalankan program kerja sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan serta memiliki anggota tim yang siap menerima perintah. Pembagian tugas dari para personel telah dilakukan berdasarkan surat keputusan (SK) PBNU, yaitu ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara dan wakil bendahara, atau posisi lainnya, tetapi operasionalnya di lapangan tidaklah mudah untuk memastikan setiap orang menjalankan peran yang telah diberikan.

 

Jika ada pengurus yang tidak aktif, sulit untuk menuntut mereka karena sifatnya kerelawanan. Pada akhirnya, ketua yang mengambil tanggung jawab terbesar dari mencari dana untuk menjalankan program, memotivasi tim, menggerakkan orang, serta melakukan monitoring dan evaluasi. Ini semua membutuhkan perhatian penuh. Karier yang sukses sebagai pejabat pemerintah atau profesional tidak menjamin kesuksesan mereka sebagai pengurus lembaga NU.

 

Sekalipun memiliki tantangan yang besar, NU memiliki modal sosial yang besar. Ada banyak pihak yang siap memberikan dukungan atas program-program yang dijalankan oleh NU mengingat posisinya sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia. Berbagai organisasi pemerintahan, LSM, lembaga internasional, perwakilan negara sahabat, hingga perusahaan swasta yang telah bermitra dengan NU. 

 

Usai muktamar ke-33 NU, sudah banyak kementerian yang menandatangani MoU kerja sama dengan NU. Para duta besar negara sahabat juga telah berkunjung ke kantor PBNU untuk berdialog dengan KH Yahya C. Staquf, beberapa pemimpin daerah juga telah menyatakan dukungan kerja sama dengan NU. Semua hal tersebut memerlukan tindak lanjut yang sifatnya teknis sehingga menjadi sesuatu yang konkret. Program-program kerja sama tersebut nanti akan didistribusikan ke lembaga, PWNU, dan PCNU untuk mengeksekusinya. Peluang besar tersebut mesti dimanfaatkan secara maksimal.

 

NU tidak kekurangan kader dengan berbagai keahlian dan keterampilan yang diperlukan untuk mengelola organisasi. Tinggal bagaimana memastikan bahwa mereka berada dalam posisi yang tepat. Manajemen organisasi yang baik dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, hingga evaluasi akan memastikan lembaga berada dalam relnya sesuai visi, misi, dan program organisasi.

 

Sebagai organisasi sosial keagamaan yang mengandalkan kerelawanan, maka nilai-nilai keikhlasan menjadi sesuatu yang penting yang mengisi sisi spiritualitas dalam berkarya. Nilai tersebut akan menjadi kekuatan luar biasa jika menumbuhkan komitmen luar biasa tanpa didasari pamrih material. Namun, hal tersebut akan menjadi kontraproduktif jika nilai keikhlasan dimaknai menjadi alasan untuk bertindak sekadarnya, sesenggangnya, selonggarnya, sementara ada banyak kerja-kerja besar NU kepada umat dan bangsa. (Achmad Mukafi Niam)