Risalah Redaksi

Menghargai Ekspresi Berpakaian Masing-masing Agama

Ahad, 24 Januari 2021 | 14:00 WIB

Menghargai Ekspresi Berpakaian Masing-masing Agama

Apa pun alasannya, pembatasan atau pemaksaan ekspresi nilai-nilai keagamaan kepada kelompok lain yang tidak sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya tidak dapat dibenarkan.

Persoalan penggunaan pakaian yang terkait dengan simbol agama dari waktu ke waktu terus memunculkan kontroversi. Pada masa Orde Baru, pemerintah melarang penggunaan jilbab di sekolah-sekolah negeri. Para siswi yang teguh untuk tetap menggunakannya terpaksa pindah ke sekolah swasta yang mengizinkan penggunaan jilbab. Larangan tersebut kini sudah ditiadakan seiring dengan perubahan zaman dan perubahan pandangan. Namun, persoalan lain muncul yang bahkan berkebalikan dengan aturan sebelumnya, yaitu adanya aturan berjilbab bagi semua siswa, baik Muslim atau non-Muslim seperti kasus di SMKN Padang 2 yang kemudian viral di media sosial.

 

Sebagai pakaian yang diidentikkan dengan pakaian Muslimah, tentu saja non-Muslim enggan ketika diminta untuk menggunakan pakaian yang menjadi identitas agama lainnya karena bertentangan dengan keyakinan pribadinya. Mungkin, para siswi non-Muslim tetap mamakai jilbab karena takut mendapatkan kesulitan dalam proses pembelajaran di sekolah. Jika ada pilihan, mereka bebas menentukan cara berpakaian yang sesuai dengan keinginan atau keyakinannya tanpa menimbulkan gejolak.  

 

Persoalan ini dengan cepat ditanggapi oleh para pejabat publik karena viral di media sosial dan menjadi pemberitaan di media arus utama. Kepala Sekolah SMKN Padang 2 akhirnya meminta maaf atas kejadian tersebut. Namun demikian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu melakukan penelitian atas kemungkinan tindakan pemaksaan atau hambatan ekspresi keagamaan di sekolah-sekolah lain mengingat wewenang mengatur pendidikan saat ini berada di tingkat provinsi.

 

Pada daerah mayoritas Muslim, ada kemungkinan terjadinya pemaksaan semua siswa menggunakan pakaian yang sama, termasuk bagi non-Muslim atau kebijakan yang tidak mengakomodasi kebutuhan keagamaan siswa non-Musim. Namun, di daerah di mana penduduk mayoritas non-Muslim, bisa saja terjadi hal yang sebaliknya. Siswa Muslim mendapatkan diskriminasi dalam mengekspresikan keyakinan agamanya atau kesulitan memperoleh layanan keagamaan.

 

Relasi kuasa yang tidak seimbang mempengaruhi cara mengekspresikan agama masyarakat. Urusan pakaian juga pernah ramai ketika sejumlah karyawan Muslim protes atas kewajiban menggunakan topi santa saat menjelang peringatan Natal. Secara psikologis, perasaan yang dialami juga sama bahwa mereka harus mengenakan pakaian yang dinilainya sebagai simbol agama lain yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Mereka tidak berani menolak karena terancam sanksi dari atasan atau pemilik perusahaan yang telah mempekerjakannya. Persoalan tersebut juga baru mereda ketika muncul tekanan publik bagi perusahaan-perusahaan untuk tidak memaksakan penggunaan topi santa kepada karyawan Muslim.

 

Bukan hanya di Indonesia, pakaian dan berbagai atribut yang mencerminkan simbol agama kerap menjadi perdebatan di berbagai belahan dunia. Agama atau penguasa mayoritas seringkali memaksakan pandangan agamanya kepada kelompok minoritas. Di Turki, jilbab pernah dilarang di institusi publik ketika pemerintah yang berkuasa menggunakan tafsir sekularisme yang kaku. Di Perancis kini pun, penggunaan jilbab masih dilarang di sekolah-sekolah negeri dengan alasan sekularisme.

 

Pada masyarakat yang mengalami islamofobia, pemakaian jilbab menjadi simbol paling nyata akan identitas Islam. Dengan demikian, para pemakainya akan mengalami sejumlah persoalan sosial seperti diskriminasi dan pelecehan.

 

Ada banyak motif baik pemaksaan atau pelarangan penggunaan pakaian tertentu yang menjadi simbol suatu agama. Bagi kelompok sekuler yang memang ingin memisahkan agama dengan politik, negara, dan institusi publik lainnya agama adalah urusan privat yang tidak boleh digunakan di ruang publik. Nilai-nilai agama dan  ekspresinya di depan publik dibatasi. Namun, banyak juga negara yang mengizinkan penduduknya mengekspresikan nilai-nilai keagamaan karena hal tersebut dianggap sebagai bagian dari kebebasan. Di Inggris dan Amerika Serikat, warganya diizinkan menggunakan jilbab di sekolah publik. Sikap publik dan politisi menentukan mana saja kebebasan berekspresi yang diizinkan dan dilarang.

 

Para pebisnis mungkin tak terlalu peduli dengan simbol-simbol agama. Mereka hanya memanfaatkan momentum setiap peringatan hari besar agama atau hari besar nasional untuk meraih keuntungan. Mereka menyesuaikan diri dengan simbol yang ada, baik Idul Fitri, Natal, Imlek, Agustusan atau hari besar lainnya yang dianggapnya mampu menarik pembeli lebih banyak. Semua karyawan harus mengikutinya.

 

Bagi golongan tertentu dalam Islam yang berpendapat bahwa tata cara hidup Islam harus diikuti oleh semua orang, mereka berusaha menerapkan aturan tersebut dengan kekuasaan yang dimilikinya. Mereka beralasan, kelompok minoritas harus menghormati nilai-nilai lokal yang diyakini, termasuk dalam hal tata cara berpakaian. Sementara pemeluk fanatik non-Muslim, ketika berkuasa di daerahnya, mereka menggunakan wewenangnya untuk menghambat ekspresi di luar agama yang dipeluknya.

 

Apa pun alasannya, pembatasan atau pemaksaan ekspresi nilai-nilai keagamaan kepada kelompok lain yang tidak sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya tidak dapat dibenarkan. Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang religius, baik pemeluk Islam ataupun pemeluk agama lainnya. Karena itu, persoalan agama menjadi sensitif dan harus hati-hati menanggapinya mengingat hal ini menyangkut nilai-nilai yang diyakini oleh masing-masing pemeluk. Penghargaan dan penghormatan terhadap keyakinan agama lain mutlak dilakukan. Jika hubungan agama terganggu, maka hal tersebut dapat menimbulkan persoalan bidang lainnya.

 

Pancasila telah menjadi dasar yang mengatur hubungan bersama antarberbagai agama. Pemerintah dalam hal ini memiliki peran penting untuk mengatur agar hubungan antaragama ini berlangsung harmonis. Aturan yang jelas dapat menjadi panduan bersama dalam mengatasi perbedaan tafsir. Dengan demikian, hubungan intraagama dan antaragama dapat berjalan dengan harmonis. (Achmad Mukafi Niam)