Risalah Redaksi

Menuntaskan Sengketa Pemilu di Depan Hukum

Ahad, 26 Mei 2019 | 12:30 WIB

Pasca pengumuman hasil pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Selasa, 21 Mei 2019, sejumlah partai politik menyatakan akan melakukan gugatan hasil pemilu di beberapa daerah ke Mahkamah Konstitusi. Pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo-Sandi yang sebelumnya menyatakan diri untuk tidak mengajukan sengketa pemilu di MK akhirnya berubah pikiran. Inilah jalan terbaik penyelesaian sengketa pemilu dibandingkan dengan melakukan tekanan massa yang menimbulkan kegaduhan serta korban jiwa dan harta benda. 

Sungguh disayangkan, demo yang menyatakan ketidakpuasan terhadap hasil pemilu yang berlangsung pada 22 Mei berlangsung rusuh dan memakan sejumlah korban jiwa. Aktivitas masyarakat terganggu berupa ditutupnya pusat bisnis Tanah Abang dan area seputar jalan Thamrin. Sejumlah fasilitas publik rusak. Para korban adalah rakyat kecil yang tak berdaya. Mereka yang berdemo di satu pihak adalah orang-orang yang diminta atau termotivasi turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi atas nama membela calonnya. Korban di pihak lainnya, orang yang tak ikut apa-apa, tetapi mengalami penjarahan. 

Kini saatnya membuktikan apakah tuduhan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) terbukti atau tidak di pengadilan. Masyarakat selama ini telah dihadapkan pada narasi-narasi bahwa pemilu penuh dengan kecurangan tanpa mengetahui dengan pasti tingkat dan besaran kecurangan tersebut apakah sudah memasuki kategori TSM. Kini para pihak yang bersengketa bisa beradu argumen di hadapan sembilan hakim MK. Dokumen-dokumen pendukung akan disampaikan sebagai bukti. Para saksi akan dihadirkan untuk memberikan kesaksian atas kecurangan-kecurangan yang disangkakan. 

Harus diakui bahwa kecurangan masih ada. Politik uang atau upaya manipulasi masih terjadi. Partai tertentu merasa suaranya diambil partai lain atau sesama kader dalam satu partai berusaha mengambil suara yang lain. Belum lagi adanya kesalahan hitung C1 dan persoalan lainnya. Keluhan terhadap kondisi ini telah dilaporkan ke Bawaslu dan beberapa di antaranya ditangani polisi. Ini tentunya merupakan puncak dari gunung es terhadap permasalahan penyelenggaraan pemilu di Indonesia. 

Namun jika dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN, penyelenggaraan pemilu di Indonesia dengan total jumlah pemilih 180 juta dinilai jauh lebih baik dilihat dari kompleksitasnya. Ada 800 ribu TPS lebih yang tersebar di berbagai lokasi geografis yang beragam di Indonesia. Tentu tak mudah melakukan semua hal ini. 

Sebagai sebuah sidang terbuka yang dapat dilihat oleh siapapun, maka publik nantinya dapat menilai sejauh mana kecurangan-kecurangan tersebut terjadi. Apakah sifatnya sporadis atau TSM. Para hakim akan memutuskan berdasarkan pertimbangan apakah bukti-bukti yang disampaikan cukup memadai untuk mendukung pernyataan tuduhan kecurangan. Mantan Ketua MK Mahfud MD menyatakan, pada masa kepemimpinannya, beberapa keputusan KPU diubah oleh MK karena adanya bukti-bukti kecurangan yang dianggap sah dan mengakibatkan hasil pemilu berubah.  

Namun demikian, jika tidak terbukti adanya kecurangan, maka pihak yang kalah harus legowo atau berbesar hari untuk menerima kepemimpinan yang ada karena ternyata pihak lain mendapat dukungan yang lebih besar dari masyarakat. Jangan sampai kemudian ketika kalah, maka balik menuduh MK bertindak curang. Jika bersikap seperti itu, maka tidak akan ada penyelesaian.

Sebelumnya KPU juga dituduh melakukan kecurangan melakukan pemihakan kepada salah satu paslon. KPU selalu dikritik oleh pihak-pihak yang kalah. Jangan sampai MK mengalami hal yang sama, yaitu dipersalahkan oleh pihak yang kalah. Jika hal tersebut terjadi, maka anak bangsa ini akan terus terfragmentasi antara dua kelompok yang saling tertentangan. 

Lembaga-lembaga seperti KPU, MK, Bawaslu dan lainnya dipilih melalui proses yang panjang, mulai dari pembentukan panitia seleksi sampai akhirnya diputuskan oleh DPR. Jadi profil masing-masing anggota terpilih sangat beragam. Karena dipilih DPR, maka sejumlah nama juga disetujui atau bahkan disokong oleh partai-partai pendukung paslon 01 ataupun 02. Dengan demikian, sangat sulit untuk mengajak semua anggota bersekongkol. Sejumlah regulasi dan pengawasan publik membuat KPU dapat menjalankan perannya secara independen, terbuka, dan akuntabel.   

Memilih pemimpin didasarkan pada sebuah idealitas bahwa calon yang menjadi preferensinya akan menjalankan sebuah visi besar, sebuah cita-cita besar yang akan membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Ada sisi rasional berdasarkan rekam jejak calon pemimpin, tetapi ada sisi subjektivitas personal seperti kecocokan karakter ataupun karena alasan primordial. Bahkan ketika seorang pemimpin dinarasikan sebagai pembawa panji-panji agama sedangkan yang lain diidentikkan sebaliknya, sebuah klaim yang layak dipertanyakan kelayakannya, maka kontestasi menjadi rumit. Maka, ketika calon yang didukung kalah, ada kekecewaan berat.

Jadi, yang perlu dipersiapkan bukan hanya bukti-bukti kecurangan, tapi juga kesiapan mental untuk menerima hasilnya, kalah atau menang dalam gugatan tersebut. Sikap para aktivis pendukung dan simpatisan sangat ditentukan oleh sikap para elitnya. Jika elit legowo, maka yang di bawah juga akan ikut. Mari kita sepakati bahwa proses di MK ini adalah proses terakhir sebelum pada akhirnya kita menyatu kembali sebagai sebuah bangsa. Tidak ada lagi identitas 01 atau 02. Saatnya bersama-sama membangun bangsa ini menyelesaikan sejumlah persoalan besar yang beberapa waktu ini tersingkirkan oleh hiruk-pikuk politik. 

Temuan-temuan dalam persidangan di MK sudah seharusnya menjadi catatan bagi perbaikan pemilu yang akan datang agar tidak terjadi kesalahan yang sama. Jika masih penasaran, jadwal berikutnya sudah menanti pada pemilu 2024. Energi yang ada lebih baik disiapkan untuk kontestasi selanjutnya. (Achmad Mukafi Niam)