Risalah Redaksi

Merindukan Kawasan Timur Tengah yang Damai

Sab, 11 Januari 2020 | 08:45 WIB

Merindukan Kawasan Timur Tengah yang Damai

Rakyat sipil, termasuk anak-anak, tak luput dari dampak buruk situasi perang di Timur Tengah. (Foto ilustrasi: Human Rights Watch)

Situasi di Timur Tengah tidak pernah berhenti dari konflik. Ketika kawasan lain memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk membangun negaranya, wilayah ini menghambur-hamburkan uangnya membeli atau membangun persenjataan guna menyerang atau mengancam satu sama lain. Upaya penyelesaian konflik atau membangun pengaruh di kawasan masih menggunakan pendekatan otot senjata. Padahal, model ini mulai ditinggalkan di wilayah-wilayah lainnya dengan pendekatan yang lebih lunak tapi efektif. 

Untungnya, dalam dua dekade terakhir mulai terdapat pendekatan baru yang lebih cerdas dalam membangun pengaruh sekaligus meningkatkan kesejahteraan, seperti yang dilakukan Uni Emirat Arab (UEA) dan Qatar. Dubai, yang sebelumnya wilayah padang pasir tak menarik, berhasil menjadi kota tujuan wisata kelas dunia dengan beragam wahana menarik dengan ikon Burj Khalifa yang merupakan gedung tertinggi di dunia. Kota ini juga menjadi pusat keuangan internasional di kawasan Timur Tengah. Dubai juga memiliki maskapai Emirates yang merupakan maskapai penerbangan terbaik di dunia. Inovasi-inovasi baru terus dilakukan. 

Doha, ibu kota Qatar, kini menjadi sebuah kota penting di kawasan Timur Tengah dengan beragam pertandingan olahraga kelas dunia serta inovasi-inovasi lainnya. Pada 2022, kota ini akan menjadi tuan rumah Piala Dunia. Jaringan TV Aljazeera yang berbasis di Doha mampu membangun pengaruh bukan hanya di Timur Tengah, tetapi juga di tingkatan dunia dengan perspektif berbeda dalam meliput berita-berita internasional yang sebelumnya didominasi oleh media-media Barat.

Sejumlah negara lainnya masih mengalami konflik berdarah seperti Suriah, Yaman, Irak, Libya yang menyebabkan penderitaan bagi jutaan penduduk. Mesir dan Tunisia belum sepenuhnya pulih dari dampak Revolusi Musim Semi yang melanda negara tersebut beberapa waktu lalu. Konflik masih di selesaikan dengan cara membunuh satu sama lain. 

Perang saat ini menimbulkan ongkos yang sangat mahal dengan hasil minimal. Pada zaman dahulu, perang untuk merebut wilayah negara lain menghasilkan harta rampasan berupa emas, hasil tambang, atau barang berharga lain bagi pemenangnya. Mereka yang kalah dijadikan budak atau harus menjalani kerja paksa. Situasi kini sudah sangat jauh berbeda karena kekayaan bukan lagi dalam bentuk benda fisik yang bisa direbut, melainkan kekayaan tak berwujud. Kekayaan dalam bentuk aset finansial dengan gampang bisa ditransfer ke negara lain. Kekayaan dalam bentuk merk, paten, atau harta tak berwujud lainnya tetap dapat diklaim dari lokasi mana pun. Dan para tenaga ahli yang menjadi motor penggerak perekonomian dengan gampang pindah ke negara lain yang bersedia memanfaatkan keahliannya. Kecanggihan senjata juga membuat daya rusak luar biasa atas aset kedua belah pihak yang berperang. 

Entah sudah berapa banyak uang milik negara-negara Timur Tengah yang dihabiskan untuk membeli persenjataan dan kemudian digunakan untuk saling membunuh dan merusak. Perang Irak-Iran, Perang Teluk I, Perang Teluk II, Konflik Yaman, Suriah, dan lain-lainnya. Tak ada hasil yang baik dalam peperangan tersebut. Semuanya kalah. Jutaan nyawa meninggal. Triliunan harta benda musnah. 

Jika kekayaan alam habis disedot habis untuk biaya perang atau munculnya energi baru yang lebih murah sementara tidak ada sumber penghasilan lainnya, negara-negara tersebut bisa bangkrut. Ada dua negara yang bisa menjadi contoh. Venezuela, pemilik cadangan minyak terbesar dunia, kini sangat menderita karena adanya salah kelola negara. Nauru, sebuah negeri kecil di Pasifik pernah sangat sejahtera karena adanya tambang fosfat. Namun, akibat eksploitasi berlebihan, akhirnya alamnya rusak dan ketika hasil tambangnya habis, hanya menyisakan hutang dan kerusakan alam yang mengakibatkan rakyatnya menderita. 

Keruntuhan Uni Soviet menunjukkan bahwa kekalahan militer bukan menjadi penyebabnya, melainkan faktor ekonomi. Secara militer, Uni Soviet dan Amerika Serikat bersaing menjadi nomor satu atau dua dalam perlombaan senjata pemusnah massal. Sumber daya yang dimiliki difokuskan untuk membangun persenjataan. Akibatnya, kondisi ekonomi terpuruk dan berakhir dengan keruntuhan negara tersebut menjadi sejumlah negara kecil. 

Situasi di Korea Selatan dan Korea Utara dapat memberi gambaran yang sama. Korea Selatan rajin membangun ekonominya dan memperbaiki kualitas sumber daya manusia. Kini negari gingseng tersebut menjadi salah satu industri maju yang produk-produknya menyebar ke seluruh dunia. Di sisi lain, Korea Utara, yang pendapatannya digunakan untuk memperkuat militer, tetap sebagai negeri miskin yang rakyatnya rentan mengalami kelaparan. Satu wilayah yang kondisinya sama usai Perang Dunia kondisinya kini bagai langit dan bumi. 

Saudi Arabia mulai mencoba mengambil langkah baru dengan meluncurkan Visi 2030 untuk menggantikan energi minyak yang menjadi sumber utama penghasilannya, yang terancam dengan munculnya energi alternatif. Namun, Saudi harus bekerja keras untuk mendorong kemajuan ekonomi yang tidak berbasis pada minyak. Putra Mahkota Muhammad bin Salman berusaha mereformasi sejumlah aturan yang terlalu konservatif seperti larangan menyetir mobil bagi perempuan. Ia mencanangkan sebuah kota baru bernama Neom yang digadang-gadang menjadi pusat ekonomi Saudi Arabia dengan dana pembangunan sekitar 7 ribu triliun rupiah. 

Iran dengan ambisi nuklirnya menyebabkan negara-negara tetangganya merasa terancam. Akhirnya, negeri para mullah tersebut mendapatkan embargo dunia internasional. Ongkos yang muncul adalah perekonomian yang terpuruk dengan tingkat pengangguran dan inflasi yang tinggi serta permasalahan sosial politik lainnya. 

Bukan berarti kekuatan militer tidak penting lagi, hal ini tetap diperlukan untuk menjaga kedaulatan dan keamanan. Kekuatan militer penting untuk menunjukkan nilai tawar dalam negosiasi, tetapi bukan untuk menyerang negara lain atau melakukan perang proxy. Anggaran yang terlalu besar untuk belanja militer, berarti mengurangi proporsi bidang lain seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan atau bidang penting lainnya. 

Timur Tengah menjadi lokasi strategis secara geopolitik karena sumber minyak dan gas yang melimpah di wilayah tersebut. Kekuatan besar dunia berebut mengamankan pengaruhnya sementara penguasa lokal mencari perlindungan internasional yang mempertemukan kepentingan dua pihak ini. Saudi dan Iran berebut pengaruh regional. Juga terdapat Israel yang jadi musuh bersama di Timur Tengah tetapi sekutu utama Amerika Serikat. Tak ketinggalan, Rusia juga berusaha merebut kembali pengaruhnya yang sempat pudar setelah keruntuhan Uni Soviet. Perbedaan kepentingan atau kompetisi antar berbagai kekuatan menjadikan konflik rentan terjadi. Namun, hal tersebut tidak dapat menjadi alasan untuk pembenaran untuk membiarkan hal tersebut terus berlangsung karena rakyat yang menjadi korban dari perang. 

Saatnya negara-negara di Timur Tengah bersaing secara sehat untuk menunjukkan pengaruhnya. Tetapi pendekatan konvensional dengan senjata sudah harus diakhiri. Pendekatan kreatif yang mampu memberi kesejahteraan bagi banyak pihak, bukan malah menghancurkan, mesti dikedepankan. Dubai dan Qatar telah memulainya. Sekalipun mereka negara kecil, tapi telah mampu menunjukkan eksistensinya di peta dunia. Negara lain seharusnya dapat mengembangkan kreativitasnya untuk dapat tampil di panggung dunia. Jika itu yang dikedepankan, semuanya akan gembira. Tak perlu ada yang menderita karena perang. (Achmad Mukafi Niam)