Riset BLAJ

Delapan Wasiat Leluhur Masyarakat Cisungsang Banten

Jum, 17 Desember 2021 | 14:45 WIB

Delapan Wasiat Leluhur Masyarakat Cisungsang Banten

Masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang Banten dalam sebuah acara. (Foto: puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id)

Masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang di Provinsi Banten mengenal istilah titisan, tetesan, dan teretesan sebagai filosifi pendidikan mereka. Hal itu terungkap dalam penelilitan oleh Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ).


Titisan dimaknai sebagai keturunan asli, seperti Abah Usep sebagai titisan karuhun. "Meskipun tidak mempelajari tata cara adat Kasepuhan Cisungsang, titisan akan langsung memiliki ilmu setelah menjabat sebagai ketua adat," tulis peneliti dalam laporannya.

 

Sementera itu, tetesan dimaknai sebagai keturunan para incu putu yang memiliki jabatan sebagai perangkat adat. Mereka suatu saat akan menggantikan orang tuanya yang menjabat sebagai perangkat adat. "Pembelajaran dilakukan selama mendampingi orang tua atau pamannya dalam melaksanakan tugasnya," imbuh peneliti.

 

Adapun teretesan dimaknai sebagai cipratan atau percikan. Orang-orang yang tergolong teretesan dapat mempelajari tradisi secara otodidak. Dalam penelitian tersebut, narasumber yakni Jaro Deris pernah dinasihati oleh sesepuhnya, bila akan mencari ilmu harus ke hulu bukan di hilir. Jaro menangkap bahwa mempelajari ilmu harus ke daerah pegunungan, seperti halnya posisi Cisungsang yang berada di lereng Gunung Halimun-Salak.

 

"Hulu dan hilir dapat diartikan sebagai sebuah simbol yang biasa digunakan dalam menyampaikan pesan para leluhur. Hulu dapat dimaknai sebagai tempat mata air, kemurnian sebelum terkontaminasi oleh budaya," lanjut peneliti.  

 

Pesan leluhur

Masyarakat Cisungsang diharuskan memegang tiga pesan leluhur yaitu Syara, Nagara, dan Mukoha. Narasumber penelitian Rendangan Ewang mengatakan Syara berarti agama Islam. Nagara diartikan patuh terhadap negara, dan mukoha diartikan tertib mematuhi tradisi melalui ketua adat. Apabila masyarakat tidak mematuhi segala ketertiban dalam tradisi maka akan mendapatkan pamali. 


Pamali dimaknai sebagai mendapatkan kualat atau balasan langsung apabila melakukan pelanggaran terhadap tradisi leluhur. Berikut adalah contoh keanehan-keanehan (hal yang tidak masuk akal) yang terjadi bila incu putu melanggar 'pamali'.

 

Masyarakat juga masih memegang wasiat atau pesan-pesan leluhur yaitu:

 

Nyucrug galur mapay wahangan nete taraje nincak hambatan artinya hidup harus tertib 

 

Mipit kudu Amit, Ngala Kudu Menta, Nganggo kudu suci, ngadahar anu halal, ngecap sabenerna, nganjuk kudu naur, ngahutang kudu mayar, nginjem kudu mulangkeun, sing tigin kana janji, iman ka diri sorangan. Artinya, menceritakan maksud dan tujuan kepada sesepuh, minta restu kepada yang dituakan, makan makanan halal, jujur, hutang harus bayar, meminjam harus mengembalikan, menepati janji dan iman yang kuat dalam diri.

 

Sing sarua cangkang jeung eusina bisi pahili adina, patuker lanceukna bisi jadi kawih mamaruhan. (Tindakan incu putu harus seimbang, tidak semena-mena, bila terkena musibah adalah atas perbuatannya sendiri).

 

Bisi jadi genteng kukadekna, legok ku amal perbuatan nana (Tergantung oleh perbuatan sendiri).

 

Moal diduduka ku batur mun urang teu ngaduduka batur; Moal dicabok batur, mun urang teu nyabok batur. Moal dikadek batur mun urang teu ngadek batur (Kita tak akan disakiti bila kita tidak menyakiti yang lain. Tidak ditempeleng orang bila kita tidak menempeleg lainnya. Tidak akan ditebas orang bila kita tidak menebas orang lain).


Ka cai kudu saleuwi, ka darat kudu aigeul, sa bobok sa pinahean (Harus bekerjsama dan berbagi kebaikan terhadap sesama).


Lamun lelemburan kumaha batur salembur, mun makaya kumaha batur socatihan. (Dalam bermasyarakat harus mengikuti kedendak orang banyak, jangan ingin mendapatkan yang paling banyak, harus memikirkan orang lain).


Dug hulu pet nyawa, cangeang balik aseupan (Belahan jiwa adalah kemanfaatan kesuburan dan kemakmuran seluruh keluarga).

 

Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori