Riset BLAJ

Korelasi Tradisi Nebus Weteng dan Naskah Serat Murtasiyah Cirebon 

Sen, 14 Desember 2020 | 01:30 WIB

Korelasi Tradisi Nebus Weteng dan Naskah Serat Murtasiyah Cirebon 

(Foto: cirebonkab.go.id)

Dalam Naskah Murtasiyah Cirebon kandungan atau kehamilan disebut dengan bobotan, bobotan sira iku, den sering sira sidekah; selama kehamilanmu sering-seringlah beramal sedekah. Sedekah dalam konteks tradisi tentunya identik dengan memberikan makanan atau sejumlah uang kepada orang lain. Sedekah dalam konteks agama juga dianjurkan, yang manfaatnya agar terhindar dari bencana. Oleh karenanya, upacara tradisi yang berhubungan dengan kandungan, terutama Memitu, Nujuh Bulan, Nebus Weteng, dan Rujakan, identik dengan bagi-bagi sedikit rezeki.

 

Hal itu terungkap dalam laporan penelitian Nilai-nilai Karakter dalam Tradisi Keagamaan Nebus Weteng dan Naskah Serat Murtasiah Cirebon. Penelitian dilakukan oleh Reza Perwira, peneliti pada Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ).

 

Dalam laporan tersebut disebutkan dalam pupuh Kasamaran, Pupuh I, tembang keempat dan kelima nengena wahu syekh arif /inggih lawan ingkang garwa/agunem wahu karsane/wahu dateng ki pandita/syekh arif wahu ngandika/bobotan sira iku/den sering sira sidekah// //syekh arif ya mituturi/kang ora kiyeng sidekah/ngaturana donga bahe/lawan shalat rong rakaat/sukur sira linakonan/ingkang estu lan kang bagus/bari syuhud ing pandongan// 

 

Artinya, Diceritakan Syekh Arif sedang duduk bersama istrinya, mereka berdua sedang bercerita. Syekh Arif berkata, "Selama kehamilanmu, sering-seringlah beramal sedekah." Syekh Arif memberikan petuah, bagi yang malas sedekah hendaklah memanjatkan doa disertai dengan shalat dua rakaat. Syukur jika mau melakukan tindakan yang benar dan bagus dengan khusuk dalam berdoa (Naskah Murtasiyah, Pupuh I : 4-5).

 

Mitoni awalnya diucapkan dipitoni (tradisi Jawa) kemudian karena dianggap berat di lidah orang Cirebon sehingga diucapkan menjadi memitu. Memitu secara tradisi adalah serangkaian kegiatan ritual atau acara adat yang dilakukan atau diadakan oleh 'sepasang pengantin' yang telah memiliki kandungan pertama yang usia kandungannya mencapai tujuh bulan.

 

Oleh karenanya Memitu disebut nujuh bulan. Lebih jauh ikatan penyebutan pitu (dan Memitu berasal dari kata pitu) dengan berbagai aspek kehidupan orang Jawa, khususnya Cirebon, tidak semata-mata untuk mempermudah lisan, juga karena dalam rangkaian makna yang berhubungan dengan kata pitu memiliki banyak makna yang dapat dijadikan pelajaran dalam kehidupan.

 

Disebutkan, urutan ritual selamatan kandungan dalam berbagai tingkatan usia kandungan, disebut juga dengan bobotan, bobot berarti isi, berat, biji, dan kualitas, sebagian daerah menyebutnya dengan wetengan, dimulai sejak usia kandungan menginjak satu bulan hingga sembilan bulan. Pada pelaksanaan tradisi selamatan kandungan selain Memitu, nujuh bulan, atau Nebus Weteng, dilaksanakan dengan tidak melibatkan banyak orang. Perbedaan besar kecilnya pelaksanaan selamatan kandungan dalam berbagai tingkatan bulan kandungannya tampaknya jelas-jelas mengistimewakan di usia kandungan yang ke tujuh bulan. 


Artinya, semua acara selamatan kandungan (mendekati dengan arti Nebus Weteng membayar kandungan agar selamat) selain pada pelaksanaan tradisi Memitu, masyarakat Cirebon (sepasang pengantin) tidak mengundang banyak orang untuk melaksanakan selamatan kandungan. Tradisi Memitu yang berkembang di masyarakat Cirebon pada dasarnya adalah kegiatan masyarakat yang dilaksanakan ketika sepasang pengantin dalam mengarungi rumah tangganya telah dikaruniai anugerah seorang anak yang masih dalam kandungan yang usia kandungannya menginjak tujuh bulan, yang kandungan itu merupakan kandungan yang pertama (anak pertama) baginya.

 

Lalu bagaimana teks Murtasiyah menceritakan proporsi pelaksanaan tradisi bobotan yang Memitu atau Nebus Weteng itu adalah salah satu rangkaian darinya. Pertama, usia kehamilan mencapai satu bulan, maka sedekah Nasi Bogana dengan lauk telur goreng serta dibacakan doa Apinah. Kedua, usia kehamilan 39 mencapai dua bulan, maka sedekahnya berupa nasi ketan ponar dan kembang. Ketiga, usia kehamilan mencapai tiga bulan, maka bersedekah nasi tumpeng dengan membaca doa Tolak Bala (penolak marabahaya). 

 

Keempat, usia kehamilan mencapai empat bulan, maka sedekah Ketupat dengan lauk-pauk Pindang Ayam (masakan ayam dengan kuah). Kelima, usia kehamilan mencapai lima bulan, maka sedekah Sega Langgih, ialah beraneka macam dedaunan dicampurkan menjadi satu pada nasi itu serta dibacakan doa Arwah. Keenam, usia kehamilan mencapai enam bulan, maka sedekah Apem Domba.

 

Ketujuh, usia kehamilan mencapai tujuh bulan, maka bersedekah dengan beraneka ragam rujakan. Kedelapan, usia kehamilan mencapai delapan bulan, maka sedekah Bubur Lolos, ialah bubur berwarna merah dan putih. Bubur itu diwadahi dengan piring baru serta dibacakan doa Qunut, panggilah orang-orang yang utama.


Kesembilan, usia kehamilan mencapai sembilan bulan, maka sedekahnya minyak dengan membawa Endog Lumong (Telor Ayam Pertama) ditaruh di atas air dengan dialasi Daun Waru, serta ditumpangi Daun Waluh. Adapun doa yang dibacakan adalah doa Tabaruk (Naskah Murtasiyah, Pupuh I: 6-11). 


Dalam teks Murtasiyah selamatan kandungan bulan ketujuh atau Memitu adalah manifestasi dari sedekah rujak yang tentunya rujak itu dibuat lebih dari 7 rujak (buah). Tujuh macam buah tersebut merupakan jumlah minimal yang harus disiapkan sebagai bahan rujak. Proses pembuatan rujak biasanya dilakukan oleh ibu-ibu secara bersama. Secara tersurat dan tersirat dalam teks Murtasiyah, pelaksanaan Memitu atau Nebus Weteng tidak bicara sedekah selain rujak. 

 

Namun pelaksanaannya, di tengah masyarakat, sangatlah meriah dan sering seperti acara hajatan hingga mengundang banyak tamu dengan berbagai macam sajian dan kendurian. Dalam beberapa aspek terdapat kesamaan dalam pelaksanaan tradisi Nebus Weteng yang dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Desa Cirebon Girang dengan beberapa konsep yang terdapat dalam naskah Murtasiyah. Tradisi Nebus Weteng merupakan tradisi turun temurun yang dilaksanakan tidak hanya di Desa Cirebon Girang, akan tetapi juga di wilayah sekitar Cirebon.

 

Hal itu dimungkinkan karena Cirebon pada masa lalu terdapat sebuah kerajaan yang dalam melaksanakan adat/tradisi senantiasa merujuk pada raja. Tidak heran jika banyak 40 kesamaan pula dalam adat/tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat di wilayah Cirebon khususnya dengan tradisi kehamilan tersebut. 

 

Dalam aspek antropologis, perkembangan pemikiran masyarakat dan tingkat strata ekonomi yang berbeda berdampak pada pergeseran budaya yang tak dapat dihindari dari masa ke masa. Namun demikian, nilai-nilai karakter dari kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi Nebus Weteng memberikan kesan bahwa tradisi tersebut mengandung banyak manfaat positif bagi masyarakat, seperti rasa syukur terhadap Tuhan, solidaritas sosial, interaksi simbolik antar masyarakat, dan memadukan adat dengan agama sebagai hal yang positif. 

 

Sedangkan pada aspek sosiologis, masyarakat secara umum relatif sudah mengetahui tradisi Nebus Weteng meski pengetahuan yang dimiliki masyarakat berbeda, baik dari prosesinya maupun sejarah mengapa tradisi tersebut dilaksanakan. Pengetahuan individu didasari adanya informasi secara turun temurun. Sedangkan pengetahuan komunal didasari dengan tingkat kekerabatan yang kuat di wilayah pedesaan membentuk pola pikir yang sama sebagai bentuk pengetahuan pada adat/tradisi yang berkembang. 

 

Keterlibatan aktif dalam adat/tradisi yang dilaksanakan di pedesaan menjadi suatu keharusan karena akan merasakan satu sama lain. Perkembangan zaman yang memungkinkan adanya pergeseran pola dan struktur serta cara pandang yang justru menjadikan nilai positif di masyarakat. Terdapat beberapa individu di masyarakat mencoba mengkolaborasi antara muatan agama dengan budaya untuk melaksanakan tradisi Nebus Weteng tersebut. 

 

Perpaduan agama dan budaya melalui tradisi dilakukan dengan cara bijaksana dengan melibatkan peran-peran tokoh adat, paraji, dan tokoh agama, serta tokoh utama lainnya dalam prosesi Nebus Weteng. Bagi sebagian masyarakat ada yang melibatkan ketiganya sekaligus sebagai tokoh utama dengan mengatur waktu yang berbeda, ada pula yang hanya melibatkan salah satu dari beberapa tokoh sebagai tokoh utama. Pelibatan tokoh adat biasanya di mulai sejak penentuan waktu pelaksanaan acara sampai dengan rangkaian acara di dalamnya. 

 

Keluarga yang akan melaksanakan tradisi Nebus Weteng berkomunikasi dan meminta pertimbangan tokoh adat terkait hari, tanggal, bulan, tahun, kondisi yang tepat untuk 41 melaksanakan acara. Umumnya tradisi Nebus Weteng dilaksanakan pada 7, 17, atau 27 pada kalender Jawa atau Hijriyah. Metode penentuan tanggal tersebut dihitung bedasarkan hari lahir dan hari nikah yang kemudian dijumlah wetonnya untuk dihitung dan kemudian hasilnya ditentukan untuk menetapkan tanggal pelaksanaan tradisi Nebus Weteng. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadi sesuatu yang menghambat proses pelaksanaan pada saat acara berlangsung. Pada malam hari sampai dengan dini hari biasanya tokoh adat menyarankan untuk dilakukan kidungan atau macapatan. 

 

Editor: Kendi Setiawan